Mengapa banyak perempuan memilih menjadi ani-ani? Pertanyaan tersebut menghantui pikiran saya beberapa bulan belakangan ini. Setiap kali melihat media sosial, saya menemukan konten-konten kehidupan mewah perempuan yang menjadi ani-ani. Ani-ani digambarkan memiliki barang-barang mahal, mampu jalan-jalan ke luar negeri, dan bahkan bisa menyelesaikan pendidikan sarjananya dengan lancar. Fenomena ini kemudian mengundang pertanyaan dalam benak saya, apakah menjadi ani-ani merupakan dorongan keinginan pribadi atau ada faktor lebih besar di balik itu?
Ani-ani sering kali dipersepsikan sebagai perempuan murahan, figur yang ambigu, serta berada dalam ambang kebebasan dan penindasan. Akan tetapi, fenomena ani-ani jauh melampaui stigma yang berkembang. Fenomena ini mengungkap kompleksitas dinamika sosial dan ketimpangan yang memengaruhi identitas perempuan di masyarakat.
Problem Sistemik
Rasionalitas manusia dibentuk berdasarkan keadaan di sekitarnya. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan akan sangat dipengaruhi oleh situasi di dalam dan luar diri manusia. Setelah melihat konten tentang kehidupan ani-ani di media sosial, saya bisa menemukan adanya motif pasti yang menjadi pendorong kuat seseorang untuk memutuskan menjadi ani-ani.
Baca juga:
Kehidupan mewah dan barang-barang mahal menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan gaya hidup menjadi motif kuat seorang perempuan menjadi ani-ani. Selain itu, faktor afektif juga bisa menjadi alasan. Dalam kehidupan seorang ani-ani, ada sosok laki-laki yang kerap disebut daddy. Ia digambarkan sebagai sosok yang mampu memberikan kasih sayang dan afeksi yang tidak pernah didapatkan oleh ani-aninya. Meski kadang sosok daddy telah berkeluarga, ia sangat loyal dan penuh dengan romansa terhadap ani-aninya. Bahkan di beberapan konten, sering dijumpai sosok daddy yang membela ani-aninya dari rundungan lingkungan maupun keluarga sahnya.
Meski demikian, hasrat individu tidak bisa menjadi kesimpulan tunggal dalam fenomena ani-ani ini. Perlu ada pembacaan struktural atas fenomena ini. Keputusan perempuan menjadi ani-ani tak bisa dilepaskan dari sistem yang berlaku di kehidupan perempuan tersebut. Meski Indonesia adalah negara demokratis, di negara ini perempuan masih dipandang sebagai manusia kelas dua yang lebih rendah dari laki-laki. Penyematan kelas dua tersebut tergambar dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang belum berbasis keadilan gender.
Laporan Global Gender Gap Report 2023 yang dirilis World Economic Forum (WEF) menunjukkan adanya penurunan partisipasi perempuan dalam perekonomian Indonesia. Dari peringkat 80 pada 2022 menjadi peringkat 87 pada tahun 2023. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa indeks ketimpangan gender di Indonesia berada di poin 0,697. Angka ini stagnan paling tidak selama empat tahun terakhir.
Sementara itu, Survei Angkatan Kerja Nasional dari BPS menunjukkan rata-rata upah perempuan masih lebih rendah dibanding laki-laki. Tak hanya itu, riset tersebut juga memperlihatkan kurangnya akses terhadap peluang karier yang setara dan adanya diskriminasi gender, khususnya terhadap para ibu.
Baca juga:
Peluang partisipasi perempuan perlu dilihat dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply, perempuan masih terjebak dalam norma tradisional yang membatasi pilihan karier dan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Sedangkan dari sisi demand, perempuan masih mengalami diskriminasi gaji dan beban ganda mengurus rumah tangga.
Negara Fatherless
Selain menghadapi kesenjangan akses untuk bisa sejahtera, perempuan harus menghadapi pasar yang membentuk mereka menjadi konsumtif. Pasar menciptakan standar kecantikan bagi perempuan sehingga mereka “harus” mengonsumsi produk-produk yang beredar di pasar.
Ketimpangan ekonomi dan penciptaan watak konsumerisme oleh pasar menciptakan efek domino dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kesenjangan sosial semakin terlihat. Keluarga dari kelas menengah ke atas akan lebih mampu menciptakan kondisi lingkungan yang ideal untuk anaknya dibandingkan keluarga kelas menengah dan menengah ke bawah.
Keluarga kelas menengah dan menengah ke bawah tidak memiliki kemampuan yang cukup baik untuk menjalankan peran orang tua yang ideal. Hal ini bisa dilihat dari Indonesia yang menjadi negara nomor tiga di dunia sebagai negara fatherless. Artinya, masyarakat di negara ini cenderung tidak merasakan keterlibatan sosok atau peran ayah dalam kehidupan anaknya. Ini berdampak terhadap psikologi anak selama masa perkembangannya.
Baca juga:
Dalam kasus ani-ani ini, penggambaran daddy sebagai laki-laki penuh romansa, gairah, dan penuh perhatian mampu memberikan afeksi yang selama ini tidak didapatkan banyak perempuan di keluarga maupun lingkungan lainnya. Saya kemudian memandang bahwa selain faktor ekonomi, faktor psikologis juga sangat memengaruhi keputusan seorang perempuan saat memilih menjadi ani-ani.
Pada akhirnya, fenomena ani-ani jauh melampaui persoalan moral dan identitas. Perempuan dipaksa untuk mencari cara agar selamat dari sistem yang membawa mereka pada nestapa. Keputusan menjadi ani-ani tidak serta-merta didorong oleh nafsu seksual maupun gaya hidup, melainkan juga akibat dari akumulasi kebijakan yang tidak memperhatikan keadilan gender. Ketimpangan gender kemudian menciptakan lingkungan tidak ideal yang mendesak perempuan hingga akhirnya memutuskan menjadi ani-ani.