Tiga novela dalam satu buku berjudul Batu Sandung menghadirkan kompleksitas kehidupan tiga tokoh perempuan di tiga keluarga dan tahapan usia yang berbeda.
Penulisnya, Ratna Indraswari Ibrahim, mengajak pembaca untuk memahami bagaimana jalan pikiran perempuan yang tidak menyerah dengan keadaan fisik maupun situasi sosial untuk dapat menentukan sikap dan pilihannya. Ratna menyuarakan dengan lantang bahwa perempuan juga punya hak memilih dunianya. Perempuan juga manusia merdeka.
Menggunakan sudut pandang orang pertama, Ratna menghadirkan susunan konflik yang dinamis dan sulit ditebak. Membaca tiap halamannya seperti ikut masuk dalam situasi yang kita pun akan sulit menentukan bagaimana harus bersikap ketika berada di posisi yang sama. Setiap tokoh dalam cerita-cerita Ratna memberi kekuatan karakter pada tokoh utama yang membawa benang merah keberanian perempuan dalam menghadapi hidupnya.
Baca juga:
Pada cerita pertama berjudul Batu Sandung, yang juga menjadi judul dari buku ini, Ratna menghadirkan tokoh Irina, seorang perempuan disabilitas fisik berusia awal dua puluhan yang berjuang menyelesaikan kuliah sekaligus bersiap melanjutkan tugas mengelola perusahaan ayahnya yang mulai sakit-sakitan. Dengan kondisinya yang terbatas dan rangkap tanggung jawab kerja dan kuliah, Irina masih dipusingkan dengan konflik pertemanan dan keluarga yang rumit dan penuh liku.
Ratna berhasil memunculkan konflik batin yang rumit dalam dunia Irina ketika satu-satunya teman baiknya di kampus, Rukmini, mulai tertarik dengan Oliver, saudara angkat Rukmini. Rukmini merasa hubungan mereka justru akan membuat Irina kehilangan mereka, dua orang yang memberi sedikit kehangatan dalam dunia Irina yang tidak banyak memiliki teman. Di sisi lain, Irina juga masih ragu terhadap Adis yang ingin dekat dengannya dengan berbagai cara yang justru membuat Irina berkonflik dengan Ibunya.
Cerita kedua berjudul Garis Ibu. Ratna menghadirkan tokoh Nur, seorang ibu paruh baya, istri pemilik toko, yang mempunyai dua anak laki-laki usia dewasa awal. Nur ingin menjadi sosok ibu yang mencintai semua anggota keluarganya dengan memberikan perhatian sekaligus kebebasan untuk dapat bertumbuh sesuai dengan tipikalnya masing-masing.
Konflik mulai muncul ketika teman lama Nur dari luar kota menitipkan putrinya, Murni, di rumah Nur untuk siap-siap masuk kuliah di sebuah kampus. Pada awalnya, Nur senang karena mempunyai teman ngobrol sesama perempuan di rumah dan kedua anaknya mulai hidup lebih teratur sejak kedatangan Murni. Namun, Nur agak terlambat menyadari bahwa kedua anaknya menyukai satu perempuan yang sama, yaitu Murni.
Mengetahui kehadirannya membuat konflik di keluarga tersebut, Murni pamit mencari tempat kost mandiri. Kepergian Murni tidak serta merta meredakan konflik di keluarga Nur. Dengan segala cara, Nur mencoba menjadi ibu yang lebih memahami kedua anaknya agar ia dapat lebih bijak dalam menyikapi konflik yang tak ia sangka-sangka bakal jadi seheboh itu.
Pada cerita ketiga berjudul Hari-Hari yang Tercecer, Ratna menghadirkan tokoh Maya, ibu dua anak yang nasib pernikahannya di ujung tanduk. Hubungan Maya dengan suaminya, Bono, retak setelah terjadi beberapa konflik yang membuat Bono memilih meninggalkan rumah beberapa hari dengan tidur di rumah dinasnya untuk menenangkan diri. Maya merasa Bono sangat dominan, kaku, dan tanpa cinta dalam menjalani rumah tangga. Ajakan Bono untuk rujuk diragukan oleh Maya karena ia merasa Bono belum berubah, yakni menganggap Maya sebagai objek yang mudah diatur karena Bono merasa ia selalu mencukupi segala keperluan finansial Maya.
Maya semakin terpuruk ketika saudara kembar sekaligus saudara kandung satu-satunya, Marta, meninggal dunia. Perceraian yang tidak terhindarkan itu bukanlah akhir dari konflik batin Maya. Kini, ia dihadapkan pada rasa rindu yang sangat dalam pada anak pertamanya yang ikut ayahnya yang kini memusuhinya dan menganggapnya jahat. Dengan segenap tenaga dan segala keterbatasannya, Maya berjuang untuk selalu meyakinkan anak sulung perempuannya bahwa keputusan yang diambilnya bukanlah karena ego pribadinya, tapi sebaliknya, memang tidak ada pilihan yang lebih baik dari itu.
Topeng Patriarki
Membaca tiga novela Ratna dalam buku terbitan LKiS tahun 2007 ini menyadarkan kita bahwa perempuan masih sangat diatur dan dibatasi. Ratna mengajak kita menyisir budaya patriarki yang menyisip di setiap aspek kehidupan sehingga sering kali dianggap sebagai suatu kewajaran hanya karena itu sering terjadi.
Tokoh utama cerita pertama menggambarkan kesulitan seorang perempuan disabilitas yang selalu dipandang sebelah mata karena gender dan kondisi tubuhnya. Pembaca akan menyelami batin seorang Irina yang harus menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang sulit karena lingkungan sosial yang meragukan kemampuannya. Irina sering kali menerima perasaan iba yang tidak ia harapkan, alih-alih mendapatkan kesempatan yang sama dalam kehidupan. Irina berulang kali berusaha meyakinkan lingkungan sekitarnya bahwa ia mampu mengurus dirinya sendiri dan hidup mandiri.
Dalam dunia yang patriarkis, perempuan harus lebih bertanggung jawab dengan semua urusan domestik dibandingkan laki-laki. Hal itu tergambar dalam cerita kedua lewat tokoh ayah yang tidak terlalu pusing dengan konflik yang dihadapi kedua anaknya. Di sini, justru Nur yang banyak berusaha mendamaikan kedua anaknya. Dari kehidupan mereka, pembaca diajak merasakan pembagian tugas yang bias gender dalam rumah tangga.
Cerita tentang perceraian juga sarat bias gender. Persepsi masyarakat terhadap perceraian masih menitikberatkan kesalahan pada perempuan yang dianggap tidak mampu mengendalikan ego pribadinya. Terlebih lagi, seorang perempuan yang bercerai lebih mendapatkan stigma dari masyarakat dibandingkan laki-laki yang bercerai. Perempuan dianggap sebagai biang perpecahan rumah tangga. Pada cerita ketiga, Ratna mengemas realitas ini dalam sebuah cerita fiksi yang penuh kejutan dengan ending yang tidak bisa ditebak.
Tulisan lain oleh Kukuh Basuki:
Buku Batu Sandung ini adalah artefak perlawanan Ratna terhadap unsur-unsur patriarki yang berkelit-kelindan dalam budaya dan tradisi. Ratna secara cerdik menguak ketidaksetaraan gender dan penindasan kultural terhadap perempuan yang dianggap wajar hanya karena tidak ada yang berani mempertanyakannya. Buku Batu Sandung mengukuhkan eksistensi Ratna Indraswari Ibrahim sebagai salah satu penulis perempuan yang konsisten dan berani membuka topeng-topeng patriarki melalui jalan sastra.
Editor: Emma Amelia