Menyelesaikan Dilema Benar dan Salah dalam Mengkaji Gender

Raisa Rahima

2 min read

Perbincangan tentang gender tidak bisa dipisahkan dari dua kubu mainstream: konstruksi sosial versus konstruksi alam. Carilah kata kunci gender di mesin pencarian mana pun, mulai dari Google Scholar sampai X, yang keluar adalah orang-orang dengan argumen pro-kontra. Yang satu beranggapan bahwa gender tidak perlu dijustifikasi secara ilmiah sebab gender adalah konstruksi sosial (pro gender), yang satunya beranggapan bahwa gender tidak bisa dipisahkan dari kaidah-kaidah ilmiah sehingga gender itu tidak ada (kontra gender).

Kedua argumen itu memberi kita dua jenis kebenaran bagi wacana gender, yakni gender benar atau gender salah. Dalam logika, kalimat ini mengandung dilema bivalensi atau dilema benar-salah. Kita tidak tahu mana pernyataan yang benar dan mana yang salah—apakah gender benar atau gender salah?

Biasanya, orang-orang yang pro konstruksi sosial akan beranggapan bahwa kubu alam mengalami sesat pikir seperti definist fallacy (definisi dari gender berbeda dengan sex), sedangkan orang-orang yang pro alam akan beranggapan bahwa kubu sosial tidaklah ilmiah atau saintifik.

Kerap kita saksikan orang-orang dalam perdebatan gender menggunakan senjata argumen bernama “logika” dan “pembenaran ilmiah” untuk menguatkan masing-masing argumennya. Keduanya biasanya bertentangan karena argumen logis adalah argumen yang bisa benar penyimpulannya tanpa suatu pembuktian empiris. Di sisi lain, argumen ilmiah membutuhkan pembuktian empiris dalam penyimpulan kebenarannya.

Dalam meresponsnya, kita mungkin menalar bahwa kedua kubu memiliki dasar kebenaran yang bertentangan. Yang satu mengandung kebenaran karena gender sudah didefinisikan sendiri, yang satu mengandung kebenaran karena gender tidak sesuai dengan dunia alam atau empiris.

Perdebatan ini membikin sakit kepala karena bahkan kebenaran-kebenaran ini masih diperdebatkan di jurnal-jurnal filsafat yang mumetin banget. Lalu, saya pikir, tidak ada yang benar-benar terpisah dari argumen logika dan empiris—keduanya membutuhkan satu sama lain.

Opini ini merefleksikan bahwa nilai bivalensi gender (antara gender benar atau gender salah) yang memusingkan ini seharusnya kita hilangkan saja. Gender hanya memiliki satu nilai kebenaran: ia benar adanya.

Bagaimana bisa begitu? Alasannya saintifik. Bingung? Sama. Saya awalnya bingung, tapi mari langsung saja baca pembahasannya dan menemukan plot-twist-nya.

Artikulasi Sains

Semua berawal dari filsuf yang bernama Karl Popper. Sederhananya, Popper mengatakan bahwa pernyataan sains yang benar adalah yang selalu bisa difalsifikasi atau disalahkan oleh fakta alam. Alam, atau dunia ini, terus berubah. Dulu, kita mengenal hanya 4 unsur kimia, tetapi sekarang kita menemukan 118 unsur kimia.

Semenjak Popper, banyak orang yang memisahkan pernyataan sains dengan yang non sains. Kenapa? Sebab, sains selalu harus salah supaya dia benar, sedangkan non sains biasanya bersikukuh bahwa pernyataannya benar. Ambil contoh, Psikologi—ya, Popper memang mengatakan bahwa psikologi adalah contoh dari pseudosains. Artikulasi sains menurut Popper seakan-akan membuat ilmu-ilmu terpecah-belah dan mengatakan bahwa justifikasi ilmu sosial tidaklah ketat.

Setelah Popper, ada filsuf bernama W.V.O. Quine yang mengatakan bahwa tujuan sains bukanlah untuk membeda-bedakan diri dari non sains. Tujuan sains, sebaliknya, adalah membuat apa yang tampak non sains, sains. Mengapa begitu? Bagi Quine, tujuan dari sains bukanlah untuk dibedakan dari ilmu-ilmu lainnya. Tujuan dari sains adalah memungkinkan penjelasan atas seluruh fenomena yang terjadi di dunia ini. Dari artikulasi sains Quine, dapat diketahui bagaimana fenomena gender merupakan fenomena ilmiah karena ia terjadi di dunia ini sehingga ia harus dijelaskan.

Dengan begitu, baik konstruksi sosial maupun konstruksi alam dapat menjelaskan eksistensi gender. Dalam konstruksi sosial, misalnya, gender didefinisikan sebagai orientasi seksual yang tidak hanya hetero. Di situ, gender bisa dijelaskan dengan keberadaan konsepsi gender sendiri, yaitu orientasi seksual manusia yang lepas dari fungsi kelaminnya. Lalu, dalam eksplanasi ilmiah, gender dapat dijelaskan dengan banyaknya organisme yang tidak hanya bereproduksi secara hetero, tetapi juga aseksual seperti amoeba.

Seluruh penjelasan ini menjadikan gender saintifik. Namun, saintifik di sini tidak bivalen (gender salah atau gender benar). Saintifik di sini membuat nilai kebenaran dari gender menjadi satu, yaitu benar. Sebab, apa pun itu eksplanasinya, ia mengandaikan gender ada, dan, dengan demikian, benar.

Baca juga:

Problem gender salah dan benar sesungguhnya bisa diselesaikan dengan cara mengartikulasikan sains dengan pemaknaan baru. Sejalan dengan Quine, tujuan ilmu bukan hanya untuk difalsifikasi, melainkan disatukan menjadi suatu teori holistis untuk menjelaskan suatu fenomena.

Kalau mengikuti artikulasi sains menurut Quine, gender merupakan suatu hal yang benar karena ia adalah fenomena yang harus dieksplanasi. Tidak ada pembedaan antara fenomena sosial dengan fenomena alam, sebab semua fenomena merupakan fenomena alamiah yang terjadi di dunia ini dan harus dieksplanasi untuk kesejahteraan bersama.

 

Editor: Emma Amelia

Raisa Rahima

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email