Ada gejala menggelikan dalam kehidupan perkuliahan, yaitu banyaknya mahasiswa yang jadi pemateri atau pembicara diskusi. Ironis, beberapa di antara mahasiswa-mahasiswa ini masih belum jelas kedalaman pengetahuannya mengenai hal yang didiskusikan.
Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan mahasiswa yang menjadi pemateri dalam suatu acara diskusi. Namun, fenomena seperti ini patut dipertanyakan—mengingat tidak semua mahasiswa yang menjadi pembicara dibekali dengan kedalaman keilmuan yang mumpuni terkait hal yang dibicarakan. Biasanya, mereka ditunjuk sebagai pembicara, atau minimal pemantik, hanya karena posisi sebagai senior dalam organisasi yang digelutinya.
Satu keganjilan dari fenomena mahasiswa pembicara ini adalah ragam topik yang mereka sanggupi untuk membahas. Mahasiswa yang bersangkutan bisa nongol sebagai pembicara di acara diskusi isu sosial-politik, hukum, budaya, dan masih banyak lagi. Saya pun jadi bertanya-tanya, apa benar si pemateri telah memiliki inventaris pengetahuan yang cukup untuk membicarakan isu ini? Bagaimana diskursus yang bakal terbangun dalam diskusi tersebut? Kenapa tidak mengundang pembicara lain yang lebih kompeten?
Baca juga:
Pertanyaan-pertanyaan itu juga muncul mengingat saya pribadi, yang juga masih berstatus mahasiswa pada saat itu, merasa belum mampu untuk membicarakan isu-isu tersebut secara komprehensif. Saya pun pernah diminta untuk jadi pemateri dalam sebuah diskusi karena posisi saya sebagai senior dalam organisasi. Namun, saya menolak dengan alasan ketidakcukupan pengetahuan dan merekomendasikan mereka untuk mengundang pembicara yang lebih kompeten dari kalangan dosen.
Menjamurnya mahasiswa yang menjadikan acara diskusi sebagai ajang gagah-gagahan ini meresahkan. Lebih mirisnya, pandangan yang menganggap bahwa sekadar berbicara dan menjadi pembicara di depan umum adalah hal yang keren belum tampak akan hilang dalam waktu dekat.
Fenomena itu membuat saya berpikiran bahwa kultur diskusi di kalangan mahasiswa kita tengah mengalami sindrom fonosentrisme. Fonosentrisme adalah anggapan bahwa berbicara itu sangat penting, sampai-sampai tumbuh keyakinan bahwa segala gagasan dan pandangan lebih dapat diterima oleh publik jika disampaikan secara lisan.
Hubungan fonosentrisme dengan fenomena itu terletak pada absennya karya tulis (ilmiah) si mahasiswa. Inilah soal yang saya singgung di awal, yakni beberapa mahasiswa yang jadi pembicara belum jelas kedalaman keilmuannya. Banyak di antara mereka yang enggan dan terkesan malas menulis. Padahal, sistematika keilmuan dapat dirunut dari kegiatan membaca, menulis, lalu berbicara. Tanpa jejak tertulis, kita tidak tahu bagaimana proses pembacaan dan kedalaman pemahaman mahasiswa tersebut terhadap isu yang sedang ia bicarakan.
Baca juga:
Kritik terhadap Fonosentrisme
Anggapan bahwa berbicara dan menjadi pembicara adalah hal yang keren dapat ditelisik dari akar kebudayaan modern, yakni kecenderungan fonosentrisme yang menjangkiti masyarakat kontemporer. Kecenderungan ini menganggap bahwa menulis tidak jauh lebih penting daripada berbicara.
Dalam kajian linguistiknya, Saussure memposisikan bunyi (phone) lebih utama daripada aksara. Bunyi dianggap lebih spontan dan merepresentasikan kemampuan si penutur. Selain itu, bunyi juga menandakan kehadiran si penutur. Dalam kegiatan berbicara, kehadiran pembicara terbangun secara psikis, fisiologis, dan fisik. Dengan begitu, perkataan lisan dianggap lebih jujur menampilkan kemampuan seseorang. Sebaliknya, tulisan dianggap tirani yang sama sekali tidak dapat dipercaya.
Upaya mendiskreditkan tulisan juga dapat dilacak dari sejarah metafisika Barat. Plato menganggap bahwa tulisan merupakan “kekerasan arketipal” terhadap jiwa. Menurutnya, tulisan hanya sebuah upaya mematerialisasikan ingatan. Baginya, manusia cenderung malas untuk mengingat dan memilih menaruhnya dalam sebuah tulisan. Dapat dikatakan, Plato adalah seorang anti tulisan yang menganggap bahwa perkataan lisan adalah jelmaan kebenaran yang absolut.
Derrida mengkritik anggapan superioritas perkataan lisan atas tulisan tersebut. Menurutnya, bahasa menyimpan ambiguitas yang hanya dapat ditelusuri kebenarannya melalui tulisan. Ia kemudian memperkenalkan konsep differance—yang secara tuturan menyerupai kata difference. Perbedaan kedua kata itu tidak dapat ditemukan dalam tuturan, tapi hanya dapat dilihat melalui tulisan. Konsep differance inilah yang kemudian dipakai oleh Derrida untuk mengubur arogansi fonosentrisme.
Selain itu, kegiatan menulis juga menyingkap proses pembacaan yang telah dilalui oleh seseorang. Tulisan cenderung lebih detail dibandingkan tuturan sehingga kegiatan menulis dapat menyingkap kedalaman pengetahuan seseorang.
Tulisan lain oleh Puzairi:
Sederhananya, seseorang dapat menampilkan citra sedemikian rupa agar terlihat paham mengenai suatu hal melalui tuturan, tapi tidak dengan tulisan. Hasil tulisan seseorang akan menyingkap kebenaran mengenai pemahaman orang tersebut. Pada titik inilah pembalikan pandangan Saussure terjadi; tulisan menyingkap kebenaran yang dapat dipercaya, sedangkan tuturan hanya menampilkan representasi artifisial.
Di samping itu, melalui konsep ambiguitas bahasa, Derrida sekaligus mendekonstruksi kecenderungan mahasiswa yang berambisi jadi pembicara. Melalui tutran, barangkali beberapa mahasiswa ini hanya ingin terlihat keren sembari mengaburkan kedangkalan pengetahuannya melalui bahasa akademik yang ndakik-ndakik.
Menyampaikan gagasan menyimpan beban tanggung jawab besar. Untuk itu, kedalaman pengetahuan tentang hal yang dibicarakan sangat dibutuhkan. Menulis adalah cara menjembatani penyampaian gagasan secara lebih mendetail dan terstruktur kalau dibandingkan dengan bertutur yang kadang kala “licin” dan rawan disalahpahami.
Editor: Emma Amelia