TikTok menjadi salah satu bukti bahwa orang-orang pada masa kini cenderung memilih sumber informasi yang cepat dan instan. Saat ini, banyak fenomena viral berasal dari TikTok. Bagaimana bisa video berdurasi kurang dari satu menit menjadi sumber informasi bahkan tak jarang menjadi rujukan ilmu pengetahuan?
Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok menjadi platform yang mengalami perkembangan sangat pesat. Bayangkan saja, dalam tujuh tahun terakhir sejak perilisannya pada tahun 2016, platform ini terus mengalami peningkatan pengguna setiap tahunnya. Pada tahun 2021, TikTok bahkan dinobatkan sebagai platform dengan pengguna terbanyak di dunia. Tidak main-main, angkanya berada di sekitar 656 juta pengguna. Platform ini mengambil alih tahta yang sebelumnya diduduki oleh Instagram.
Jumlah pengguna tersebut tentu berbanding lurus dengan popularitasnya. zaman sekarang siapa yang tak kenal TikTok? hampir semua pengguna smartphone, baik langsung maupun tidak langsung pasti pernah menikmati konten-konten dari platform ini. Segmen pasar penggunanya juga tak pandang usia, mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang dewasa. Selain itu, TikTok juga sering ikut menyumbangkan lahirnya gejala-gejala kebudayaan di masyarakat, seperti lagu-lagu trending yang kemudian banyak digemari orang banyak.
Menarik rasanya memperhatikan bagaimana sepak terjang TikTok yang masih tergolong platform baru mampu mengalahkan platform-platform raksasa lain yang sudah lebih lama eksis seperti Instagram, Twitter, Facebook, hingga YouTube. Perkembangan pesat TikTok ini tentu tidak dapat direduksi hanya pada kesuksesan promosi dan pemasarannya, melainkan juga perlu dilihat dari realitas kebudayaan yang mulai berkembang dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Realitas kebudayaan inilah yang berkontribusi besar dalam membentuk selera, minat, dan penerimaan masyarakat pada konten-konten yang ditawarkan oleh TikTok.
Melihat realitas kebudayaan masyarakat saat ini, banyak pemikir sepakat bahwa kehidupan masyarakat sekarang telah bergeser memasuki suatu gelombang kehidupan yang sama sekali baru, Lyotard menyebutnya sebagai era posmodern. Zaman ini melampaui realitas-realitas modern, di mana kita terjerumus pada sebuah panorama realitas penuh citraan dan simbol-simbol yang dipertontonkan. Pada zaman inilah TikTok mendapatkan posisi nyaman untuk mengukuhkan posisinya dalam persaingan pasar platform dunia.
Fenomena Masyarakat Tontonan
Saat ini kita berada di dunia di mana segala simbol-simbol dipertontonkan. Guy Debord (1967) menyebut realitas kebudayaan saat ini sebagai era masyarakat tontonan. Dalam masyarakat tontonan, segalanya harus dipertontonkan, baik kegiatan produksi maupun konsumsi. Tidak ada produksi tanpa tontonan, dan tidak ada konsumsi tanpa tontonan.
TikTok hadir tepat pada era ini, era di mana semuanya telah telanjang dipertontonkan, dan TikTok menyediakan ruang untuk itu. Seperti yang kita tahu, konten TikTok hampir sepenuhnya mengikuti logika tontonan, menampilkan citraan serta menyuguhkan representasi kehidupan sosial lewat gambar dan suara.
Everything that was directly lived has receded into a representation – (Debord, 1967).
Jika kita perhatikan, Konten TikTok seakan mampu merepresentasikan banyak hal, mulai dari kehidupan politik, sosial, budaya, hingga ilmu pengetahuan. Mungkin, kita pernah mendengar teman atau bahkan diri kita sendiri berargumen tentang suatu isu yang bersumber dari TikTok. Saya pribadi pernah mendengar salah satu teman berdebat dengan teman lainnya tentang isu politik melalui rujukan TikTok. Memang terdengar cukup aneh ketika video berdurasi pendek dijadikan rujukan utama dalam berdebat, tetapi harus diakui, inilah yang terjadi saat ini. Segalanya telah direpresentasikan, jika dulu ilmu pengetahuan didapat melalui proses belajar yang panjang, saat ini ilmu dapat diperoleh hanya melalui video dengan durasi kurang dari satu menit.
Jika merujuk dari logika masyarakat tontonan ini, TikTok sebagai platform sendiri adalah sebuah tontonan (spectacle). Artinya, para pengguna, baik yang aktif sebagai konten kreator maupun yang hanya membatasi diri sebagai penonton, adalah objek tontonan itu sendiri. Mereka adalah komoditas tontonan yang mencapai pemenuhan atas nikmat tertingginya melalui kegiatan menonton dan ditonton.
Baca juga:
Tontonan dan Percepatan
Satu gejala masyarakat kontemporer lainnya yang banyak dibahas oleh para pemikir Barat adalah fenomena percepatan (dromologi). Konsep ini dipopulerkan oleh filsuf Prancis, Paul Virilio. Intinya, Virilio mengatakan bahwa semua aspek dalam masyarakat saat ini berjalan melalui logika percepatan. Dromologi telah menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga kehidupan masyarakat kontemporer.
Lenyapnya ruang materi, menggiring kita ke arah penguasaan waktu semata – (Virilio, 1987).
Mungkin, inilah aspek yang menjadi “kartu as” TikTok. Penguasaan waktu membuat TikTok satu langkah di depan dibandingkan para pesaingnya. Jika berbicara tentang platform yang menawarkan tontonan, banyak platform lain yang jauh lebih besar dibandingkan TikTok, YouTube misalnya. Bahkan, sejak dulu YouTube telah menjadi platform paling populer dalam hal ini. Namun, sejak kehadiran TikTok kepopuleran tersebut perlahan mulai luntur.
Tiktok sejak awal menawarkan konsep video pendek bagi penggunanya, semua konten dikemas dengan durasi waktu yang tak begitu lama, bahkan hanya beberapa detik. Kenapa konsep durasi ini sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat? Menurut Virilio, kita hidup pada era di mana segalanya harus serba cepat, sebab kecepatan berkaitan erat dengan efesiensi. Manusia saat ini tengah berpacu dengan waktu, jika dulu ada istilah “time is money”, barangkali saat ini telah berkembang menjadi “time is everything”.
Semua hal harus serba cepat, termasuk dalam memperoleh informasi. TikTok menfasilitasi hal ini. Hanya dengan durasi beberapa detik, seseorang bisa mendapatkan informasi bahkan pengetahuan dari sebuah konten. Logika sederhananya, lebih baik mencari informasi dan pengetahuan di TikTok dengan durasi cepat dibandingkan menghabiskan waktu berjam-jam menonton video kuliah umum yang ada di YouTube. Lagi-lagi, hal ini terdengar cukup aneh, tapi inilah kenyataannya. Kegiatan menonton yang cepat adalah kunci kesuksesan TikTok dan sekaligus menjadi realitas kebudayaan saat ini, yakni kebudayaan tontonan dan percepatan.
Uniknya, hal ini baru disadari oleh para kompetitor seperti Instagram dan YouTube dalam beberapa tahun terakhir. Seperti yang kita tahu, dua platform ini mulai melakukan pengembangan fitur mirip TikTok, fitur yang menyediakan pengembangan video pendek bagi penggunanya. Di Instagram, fitur ini disebut Reels, sedangkan Youtube menamakannya Shorts. Fitur-fitur yang meniru TikTok ini muncul entah karena telah menyadari realitas kebudayaan tersebut, atau hanya sebagai tindakan reaksioner agar penggunanya tetap bertahan.
Editor: Prihandini N