Kebenaran identik dengan sesuatu yang diyakini atau dianggap benar di masyarakat. Misalnya saja agama, norma-norma sosial, budaya, dan lainnya. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang kita anggap benar secara mutlak.
Kebenaran yang kita lihat di masyarakat itu bukan barang baru. Alih-alih baru, kebenaran itu terus diwariskan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Tidak sedikit pula di antara mereka yang mempertahankan atau meyakini kebenaran yang mereka terima hanya karena tradisi atau warisan dari para leluhur.
Kebenaran ibarat berlian yang selalu dicari oleh para filsuf. Dari zaman Yunani Kuno hingga zaman modern, para filsuf selalu mencari eksistensi sekaligus esensi kebenaran menggunakan berbagai cara pikir.
Baca juga:
Kebenaran ibarat pedang. Banyak orang menjadikan kebenaran yang mereka yakini sebagai pedang untuk menebas kepala-kepala dari kebenaran-kebenaran yang orang lain yakini atau kebenaran yang berbeda dari kebenaran versi diri mereka. Dengan kata lain, banyak orang orang yang selalu memaksakan kebenarannya kepada orang lain di luar sana.
Orang-orang itu merasa bahwa kebenaran versi mereka itu absolut dan cukup kuasa untuk memvonis salah kebenaran yang orang lain yakini. Dengan dalih seperti ini, banyak orang melakukan tindakan diskriminatif, atau bahkan tindakan yang melanggar hak asasi manusia untuk melempar kebenaran yang diyakininya. Alhasil, nilai-nilai kemanusiaan pun pudar hanya demi membuktikan “kebenaran” suatu kebenaran.
Tidak Ada Kebenaran Absolut
Saya ingin menunjukkan ilustrasi tentang pembentukan kebenaran. Ada orang bernama Wildan dan Kefvin; mereka berdiri berhadap-hadapan dan pada lantai yang mereka injak ada sebuah angka. Menurut sudut pandang Kefvin, angka di lantai itu adalah angka enam. Namun, menurut sudut pandang Wildan, angka itu adalah angka sembilan.
Menurut Wildan, angka di lantai adalah angka sembilan. Anggapan Wildan ini berdasarkan sudut pandang empirisnya. Namun, Kefvin pun menggunakan sudut pandang empiris hingga dapat beranggapan bahwa angka di lantai adalah angka enam. Disinilah poinnya, yakni kebenaran yang kita yakini itu belum tentu benar bagi orang lain. Sebaliknya, kebenaran yang diyakini oleh orang lain belum tentu benar bagi kita.
Dengan begitu, boleh dikatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, bukan absolut. Sebab, kebenaran memiliki banyak versi. Di antara banyaknya versi kebenaran tersebut, tidak ada kebenaran yang universal atau yang benar-benar kebenaran, kecuali asumsi yang bersifat relatif saja. Bahkan, kalau mau mengambil posisi ekstrem soal kebenaran, kita bisa bersepakat dengan Friedrich Nietzsche yang getol menyiarkan bahwa tidak ada yang namanya kebenaran.
Baca juga:
Kebenaran berasal dari persepsi manusia akan sesuatu. Manusia dapat menyatakan sesuatu itu sebagai kebenaran karena mereka dapat mencerna, merenungkan, menalar, dan meneliti suatu realitas sehingga lahirlah kebenaran yang ia olah dari semua itu.
Meskipun begitu, cara seseorang mengolah itu semua pun berbeda-beda. Ada orang yang mengolah kebenaran menggunakan hati atau kalbu, ada juga yang mengolah kebenaran menggunakan akal. Maka dari itu, janganlah merasa bahwa kita sudah mendapatkan kebenaran yang absolut sampai-sampai kita cenderung memaksakan kebenaran itu kepada orang lain. Sebab, boleh jadi kebenaran yang kita yakini itu hanyalah bualan belaka bagi orang lain.
Editor: Emma Amelia