Redaksi Omong-Omong (Twitter: @ailemamme)

Terasing di Menara Gading: Susahnya Mahasiswa Menulis dalam Bahasa Indonesia

Emma Amelia

3 min read

Beberapa waktu lalu, Ulil Abshar Abdalla melalui akun Twitter mencuit foto tangkapan layar percakapan WhatsApp dengan seorang dosen perguruan tinggi Indonesia. Di percakapan tersebut, sang dosen tampak mengeluhkan preferensi dan kemampuan berbahasa mahasiswanya dalam hal penulisan akademik.

“Mahasiswa itu banyak yang memilih menjawab soal ujian dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Yang bikin saya heran: bahasa Inggris mereka cukup bagus, tata bahasanya benar. Mengapa kemudian kalau mereka menulis dalam bahasa Indonesia menjadi sangat buruk ya, dengan tata bahasa yang amburadul?”

Masih di percakapan yang sama, sang dosen mencoba mencari sumber dari permasalahan tersebut. Ia menduga, akar masalahnya ada pada pelajaran bahasa Indonesia yang tidak memberikan materi penulisan menggunakan tata bahasa Indonesia yang “baik dan benar”. Pelajaran bahasa Indonesia sangat kontras dengan pelajaran bahasa Inggris yang sedari awal menekankan pada pentingnya ketepatan tata bahasa atau grammar.

“Ini salahnya di mana? Padahal mereka dibesarkan di Indonesia ini. Apa karena pengajaran bahasa Indonesia mereka tidak benar, tidak pernah diajarkan menulis dalam tata bahasa Indonesia yang baik? Heran saya… Sementara kalau belajar bahasa Inggris kan, harus belajar tata bahasa dengan benar.”

Cuitan itu menarik minat banyak orang untuk ikut menanggapi. Salah satunya adalah pakar bahasa Indonesia Ivan Lanin. Menurutnya, penyebab mahasiswa tidak mahir menggunakan bahasa Indonesia dengan “baik dan benar” dalam tulisan akademik adalah adanya perbedaan signifikan antara ragam formal dan informal pada bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Ivan sepakat dengan sang dosen bahwa pelajaran bahasa Inggris memang lebih sistematis, utamanya perihal teknis penulisan. Sudah begitu, menurut Ivan, penulisan akademik dalam bahasa Inggris dimudahkan oleh kehadiran alat pemeriksa tata bahasa seperti Grammarly. Tidak hanya memeriksa tata bahasa, alat tersebut bahkan bisa memberi usulan kosakata agar penyampaian tulisan lebih sesuai dengan konteks yang diinginkan oleh penulisnya.

Baku dan Tidak Baku

Bahasa Indonesia yang digunakan dalam percakapan sehari-hari—juga disebut ragam informal atau nonbaku—lahir dari bahasa Melayu Pasar. Keduanya memiliki persamaan, yakni tidak menganut tata bahasa yang kaku, serta banyak meminjam dan menyerap kosakata dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Penggunanya bisa dengan mudah menyelipkan kata-kata dari bahasa daerah, bahasa asing, maupun slang. Susunan kalimatnya pun lebih cair. Dengan kata lain, tata bahasa “amburadul” tidak jadi soal sepanjang gagasan yang ingin disampaikan masih bisa dipahami oleh lawan bicara atau pembaca.

Baca juga: Jujurly, Ada Apa dengan Bahasa Anak Sekarang?

Sementara itu, bahasa Indonesia ragam formal atau baku baru muncul belakangan ketika kalangan elit dan intelektual menghendaki adanya aturan yang ketat dalam berbahasa. Penggunaan bahasa Indonesia ragam formal sangat terbatas, misalnya untuk penulisan akademik dan keperluan surat-menyurat resmi. Jarang ada yang menggunakan bahasa Indonesia ragam formal dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, bahasa Indonesia ragam formal tidak seluwes ragam informal dalam hal penyerapan kosakata bahasa lain. Kosakata bahasa Indonesia ragam formal pun menjadi sangat terbatas sehingga upaya menerjemahkan kosakata bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia ragam formal menjadi sulit dilakukan lantaran tidak ada padanan kata yang benar-benar pas. Alhasil, bahasa Indonesia ragam formal kian berjarak dari para penggunanya, nyaris seperti bahasa mati.

Obsesi terhadap penggunaan bahasa Indonesia ragam formal mendorong kemunculan grammar Nazi di media sosial. Mereka tidak akan segan-segan meninggalkan komentar pedas, bahkan merundung orang yang menulis tidak sesuai dengan PUEBI. Hal kecil seperti penulisan “di” sebagai kata depan atau “di-” sebagai awalan yang sering terbolak-balik diperlakukan selayaknya dosa besar oleh para fasis bahasa ini.

Gagasan yang sudah disusun sedemikian baik dan bermakna bisa tiba-tiba turun kasta jadi omong kosong belaka di mata grammar Nazi jika dalam penyampaiannya terdapat penggunaan kata dengan ejaan yang tidak sesuai KBBI. Misalnya, penggunaan kata “merubah” yang menurut KBBI seharusnya “mengubah”. Padahal, kasus kata salah eja seperti “merubah” ini jamak dijumpai dalam teks-teks lama. Alih-alih membiasakan orang dengan ragam formal, keberadaan grammar Nazi justru membuat orang jadi takut dan malas menggunakan bahasa Indonesia.

Mempertimbangkan kondisi tersebut, rasanya wajar saja apabila tidak banyak orang Indonesia yang bisa dan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia ragam formal, bahkan mahasiswa sekalipun. Yang jadi pertanyaan, perlukah bahasa Indonesia ragam formal ini tetap dipertahankan, bahkan dijadikan standar penilaian baik-buruk dalam penulisan akademik?

Sulitnya Menerjemahkan Istilah Asing

Fenomena mahasiswa lebih memilih mengerjakan tugas menggunakan bahasa Inggris seharusnya bukan hal yang mengherankan. Penyebab utamanya adalah banyak literatur berbahasa Inggris yang dijadikan rujukan pembelajaran di kampus. Bahkan, di lingkup Ilmu Sosial dan Humaniora, tidak jarang proporsi jumlah literatur rujukan dalam bahasa Inggris jauh lebih banyak daripada literatur rujukan dalam bahasa Indonesia. Banyak di antara literatur berbahasa Inggris tersebut yang tidak tersedia versi terjemahannya. Mau tidak mau, mahasiswa harus membaca literatur tersebut sebagaimana adanya.

Beberapa kampus membuka kelas internasional yang menawarkan pengalaman menjalani perkuliahan dalam bahasa Inggris. Namun kenyataannya, pengalaman tersebut tidak eksklusif milik mahasiswa kelas internasional saja. Mahasiswa kelas reguler juga menjalani perkuliahan dalam bahasa Inggris meskipun tidak secara penuh.

Selain literatur rujukan yang berbahasa Inggris, ada kalanya dosen pengampu kelas reguler melakukan code-switching atau berbicara dengan bahasa campur-campur saat memberikan ceramah di kelas. Code-switching menjadi perlu karena dosen kesulitan mencari padanan kata bahasa Indonesia yang pas dan familiar bagi istilah asing tertentu. Misalnya, bagaimana menerjemahkan istilah “good governance” tanpa mengubah makna aslinya? Lalu, bukankah istilah “mouse” lebih umum diketahui daripada “tetikus”? Untuk alasan yang sama, mahasiswa juga melakukan code-switching saat sesi presentasi dan diskusi di kelas reguler.

Bayangkan apabila code-switching juga diterapkan dalam tulisan. Menyelipkan satu atau dua saja istilah bahasa Inggris dalam satu kalimat bahasa Indonesia mungkin tidak akan jadi masalah. Akan tetapi, jika hal itu dilakukan berulang-ulang pada kalimat-kalimat berikutnya, tentu hasil akhir tulisan tersebut akan kurang nyaman untuk dibaca. Tidak menutup kemungkinan, penerapan code-switching itu jugalah yang membuat tata bahasa suatu tulisan akademik menjadi terkesan “amburadul”.

“Daripada pusing menerjemahkan atau menulis tulisan yang kebanyakan italic, kenapa tidak sekalian pakai bahasa Inggris saja?”

Barangkali, itulah yang dipikirkan oleh para mahasiswa yang memilih untuk mengerjakan tugas kuliah dalam bahasa Inggris.

Emma Amelia
Emma Amelia Redaksi Omong-Omong (Twitter: @ailemamme)

2 Replies to “Terasing di Menara Gading: Susahnya Mahasiswa Menulis dalam Bahasa…”

  1. Saya juga merasa bahwa pemakaian bahasa kita, lisan dan tulisan makin amburadul. Dan perasaan ini sudah lama menghantui diri saya. Saya selalu bertanya, apakah tidak ada badan yg mengatur/menjaga Kehidupan Bahasa Indonesia kita. Kesan saya pemakaian bahasa saat ini bertitik berat pada “asal lu ngerti aja”. Upaya untuk menjaga Hidupnya bahasa kita dengan baik juga tidak saya lihat di berita2 di koran2 karena mungkin tidak mendapat perhatian yg wajar dari redaksi. Bahwa dalam bahasa banyak kata2 yg sulit untuk diterjemahkan ke bahasa pribadi bisa dimengerti karena kata itu sudah menjadi pengertian. Dan terutama karena kata2 itu datang dari bahasa teknis. Dalam hal ini jelas bahwa bahasa Inggris menjadi sumber utama PENGERTIAN2 teknis yang tidak bisa diubah begitu saja. Ini menjadikan bahasa Inggris satu bahasa yang paling menonjol. Pengertian2 seperti Mouse, Computer, Backup, E-mail, Download dan Upload dari bidang Elektronika sudah berakar diberbagai bahasa.
    Beberapa kata2 asing yang pemakaiannya tidak jelas diterapkan dalam bahasa kita. Misalnya; Mengkritik atau Mengkritisi atau Mengritisi,** Mengkonsumsi atau Mengonsumsi, **Mengontrol atau Mengkontrol, ** Kronologis atau Kronologi ** dst. Sekian dulu Komen atau Komentar saya. Salam sejahtera

  2. Kita mestinya harus ingat bahwa bahasa tumbuh dan berkembang. Bahasa Indonesia masih muda, belum bisa dibandingkan dengan bahasa Inggris. Mungkin untuk tanding-tandingan, bahasa Jawa lebih seimbang. Jika ada code switching dalam perkuliahan, wajar saja mengingat wacana yg sedang dipelajari dikembangkan di negeri berbahasa inggris. Sama halnya jika mempelajari gamelan, misalnya, terminologi yg muncul pasti dari bahasa Jawa. Namun demikian, ini jangan membuat kita takut berbahasa Indonesia. Bahasa ini bisa berkembang.
    Jangan lupa, dulu bahasa Inggris pun juga bernasib serupa, hanya dianggap bahasa pasar sedemikian hingga para ilmuwan lebih suka berbahasa latin ketika mengajar dan nenulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email