“Jadikan kesehatan mental untuk semua sebagai prioritas global” menjadi tema peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini. Ini menjadi semacam pengingat untuk kita semua agar lebih peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita harus menyadari bahwa individu dengan gangguan mental, mereka seperti berada di medan perang berhadapan dengan pikiran dan keinginan destruktif yang bisa mengancam jiwa, salah satunya adalah keinginan bunuh diri.
Bunuh diri adalah kejadian yang kompleks. Gejala yang dialami masing-masing individu dapat berbeda. Orang dengan kecenderungan bunuh diri selalu memiliki cara dalam berkomunikasi. Ada yang mudah dipahami seperti secara terang-terangan berkata bahwa mereka ingin mengakhiri hidup, ada pula yang memberikan kode-kode rumit seperti puisi, kutipan, maupun lagu.
Menurut WHO (World Health Organization), terdapat sekitar 800 ribu orang di dunia yang melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, terdapat 10 ribu kasus bunuh diri. Jika dikalkulasikan, setiap satu kejadian bunuh diri, terdapat sekitar 20 orang yang mencoba untuk bunuh diri. Lantas, dari jumlah orang yang mencoba untuk bunuh diri itu, berapa banyak orang yang memiliki pikiran bunuh diri? Tentu jumlahnya tidak sedikit.
Pikiran bunuh diri terbagi menjadi pikiran bunuh diri tidak aktif dan pikiran bunuh diri aktif. Pikiran bunuh diri tidak hanya berupa “saya ingin memotong pergelangan tangan saya” semata. Pada kasus-kasus yang lebih ringan, pikiran bunuh diri dapat menjelma sebagai, “saya tidak ingin mati, tetapi saya tidak lagi ingin berada di sini.” Adapun contoh lain dari pikiran bunuh diri tidak aktif yaitu:
“Saya ingin koma.”
“Saya ingin dunia ini segera kiamat.”
“Saya ingin menghilang.”
“Bisakah hari esok dan seterusnya tidak ada?”
“Hidup adalah kesia-siaan.”
“Melanjutkan kehidupan adalah sebuah kesakitan.”
Nahasnya, pikiran bunuh diri tidak aktif ini dapat berkembang menjadi pikiran bunuh diri aktif apabila tidak ditangani dengan benar. Hal itu ditandai dengan perencanaan bunuh diri secara rinci, seperti menentukan alat, waktu, dan metode apa yang akan dipakai dalam upaya bunuh diri.
Sejatinya, bunuh diri tidak sama dengan ingin mengakhiri hidup. Bunuh diri adalah tindakan dari pikiran manusia. Dan pikiran ini dilatarbelakangi oleh rasa sakit emosional yang tidak dapat mereka selesaikan.
Bisakah kalian membayangkan hidup dengan rasa sakit yang sangat panjang? Ada penderitaan tak tertahankan yang mengakibatkan seseorang akhirnya terpikir untuk mengakhiri hidup. Pada hakikatnya pula, orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri hanya ingin mengakhiri rasa sakitnya, bukan hidupnya. Tetapi sekali lagi, mereka benar-benar telah kehilangan cara.
Pada akhirnya, karena penderitaan yang teramat itu pula mereka pun berpikir bahwa hidup adalah sumber dari penderitaan. Kematian terasa lebih melegakan. Adapun mereka berpikir, jika memang bunuh diri akan membuat mereka masuk ke dalam neraka, hal itu tetap akan lebih menguntungkan. Karena bagi mereka, neraka yang sesungguhnya adalah ketika mereka tetap hidup di dunia yang menyesakkan, dan bunuh diri justru dianggap sebagai penyelamatnya. Rasa sakit yang mereka rasakan terasa begitu dalam sehingga mereka tidak lagi bisa berpikir secara sehat.
Baca juga:
Kecenderungan bunuh diri juga bersifat menetap. Rata-rata orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri memiliki kemungkinan 20-30 persen untuk melakukan hal tersebut pada tahun yang sama. Dan hal ini akan terus berlangsung selama ada pemicu atau rasa sakit yang sama, akhirnya kecenderungan untuk bunuh ini pun muncul kembali.
Biasanya, ada pola pikir yang khas dari orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Pola pikir itu disebut sebagai ambivalensi. Ambivalensi adalah pikiran yang bertolak belakang tetapi hadir secera bersamaan, seperti “saya ingin mati, tetapi sebetulnya saya tidak ingin mati.” Hal ini tampak tidak rasional, tetapi, pikiran dan perasaan memang tidak hitam dan putih. Pikiran dan perasaan tidak saling meniadakan satu sama lain.
Stigma yang Tak Kunjung Berhenti
Berangkat dari hal itu pula, masyarakat kerap memberi stigma bahwa orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri adalah mereka-mereka yang hidupnya jauh dari rasa syukur. Tentu saja hal ini tidak benar. Sebab pikiran dan perasaan manusia tidaklah bekerja secara dualitas. Boleh jadi orang itu bersyukur, boleh jadi ia ingin mengakhiri hidup. Karenanya, solusi dari pikiran bunuh diri tidak sesedarhana urusan bersyukur semata. Ingat, bahwa pikiran yang kontradiktif dapat hadir di dalam diri manusia pada waktu yang bersamaan.
Pada orang yang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri sendiri, ambivalensi yang mereka miliki cenderung lebih kuat. Mereka bisa berpikir untuk hidup, dan mereka bisa berpikir untuk mati, dan pikiran ini saling mengisi dari titik yang satu ke titik yang lain entah sampai kapan.
Ada hal yang kerap luput dari kita tentang pikiran bunuh diri, kita menganggap bahwa upaya bunuh diri adalah upaya untuk lari dari masalah. Padahal, pikiran bunuh diri ditujukan untuk menyelesaikan masalah. Mereka berupaya melepaskan diri dari kesadaran sebab bagi mereka, kesadaranlah yang telah menyebabkan rasa sakitnya terasa begitu nyata. Dan pikiran bunuh diri adalah upaya mencari solusi dari rasa sakit yang mereka derita.
Bantu Meringankan Rasa Sakit
Kita dapat membantu mereka dengan meringankan rasa sakit yang mereka rasakan. Berikan pelukan yang menerima, telinga yang mendengar tanpa berkomentar, dan hindari berkhutbah dengan penghakiman. Sebab percayalah, bahwa khutbahmu sesungguhnya tidak berguna. Dan boleh jadi, khutbahmu malah menambah rasa sakitnya.
Orang dengan kecenderungan bunuh diri mengalami penyempitan cara berpikir yang menyebabkan mereka menjadi sulit melihat hal lain kecuali rasa sakit dan penderitaannya. Dan hal ini yang menyebabkan kecenderungan untuk bunuh diri menjadi kuat. Karenanya, ketika kamu menyuruh orang dengan kecenderungan bunuh diri untuk bersyukur, kamu seperti sedang bercanda. Hal yang perlu kamu lakukan adalah lebarkan dulu persepsinya tentang rasa sakit yang ia derita dengan rasa kasih, pengertian dan perhatian. Sampaikan, “aku tahu itu pasti berat, walaupun aku nggak bisa ngerasain sepenuhnya, tapi aku siap mendengarkan.” Dengan begitu, persepsi yang semula sempit akan melebar. Pada saat itu, saran baru bisa diterima.
Adapun hal lain yang dapat kita lakukan adalah membawa mereka ke tenaga profesional seperti psikolog atau psikater, membantu mereka untuk mengingatkan jadwal temu dan minum obat secara teratur, juga mengajak mereka melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat guna mengobati kesakitan mereka dengan hal-hal yang lebih positif.
Namun, sebelum itu semua, tolong dengarkan mereka. Izinkan rasa sakitnya mereda lewat caramu menerima kesakitannya. Hindari berkata, “makanya salat, salah siapa nggak dekat sama Tuhan,” sebab mereka tengah kesakitan, jangan malah disalah-salahkan. Kalau kamu terus-terusan menambah rasa sakitnya dengan khutbahmu yang tidak berguna, kamu telah membuat kecenderungan bunuh dirinya justru memberat. Dan kalau sudah begini, siapa yang sedang membunuh siapa, jadinya?
Ingat, telingamu dapat menyelamatkan nyawa dan mulutmu dapat mencabut nyawa. Jadi berhati-hatilah.
keren kak sarah, mantappp!