Perdebatan mana yang lebih penting antara teori dan praktik ini sama tuanya dengan perdebatan antara rasionalisme dan empirisme dalam filsafat modern, konsep makro dan mikro dalam sosiologi, hingga pembedaan tubuh dan jiwa dalam pemikiran Plato. Boleh dibilang, persoalan ini telah menjadi pembahasan yang usang dalam berbagai khazanah pemikiran.
Banyak pemikir telah mencoba menyintesiskan perdebatan-perdebatan tersebut. Immanuel Kant menjembatani rasionalisme dan empirisme dengan konsep pengetahuan apriori dan aposteriori. Kemudian, Anthony Giddens menyintesiskan pembedaan dua kubu dalam sosiologi melalui teori strukturasinya. Begitu pula dengan persoalan dualisme antara tubuh dan jiwa yang telah diselesaikan oleh Maurice Merleau-Ponty dengan konsep fenomenologi kebertubuhannya.
Baca juga:
Dengan banyaknya tawaran solusi atas teka-teki dualisme tersebut, harusnya masalah teori vis-à-vis praktik ini tidak lagi menjadi persoalan serius. Namun, dalam masyarakat kita, hal ini masih kerap menjadi perdebatan. Paling sering, kita dihadapkan dengan ungkapan seperti ini: “jangan banyak teori, perbanyak aksi” atau “aksi jauh lebih penting daripada kebanyakan teori”.
Pembedaan dua hal itu diperkeruh dengan hadirnya logika dominatif sebagaimana yang Derrida sebut sebagai oposisi biner. Oposisi biner adalah pembedaan hal-hal secara dikotomis dengan menempatkan satu konsep lebih dominan atas konsep lain. A lebih baik dari B, putih lebih baik dari hitam, praktik lebih penting dari teori; kira-kira begitulah logika oposisi biner ini bekerja.
Jika merujuk upaya-upaya menyintesis masalah dualisme di atas, harusnya kita dapat mengambil pelajaran tentang bagaimana seharusnya memperlakukan persoalan teori dan praktik ini. Entah mengakui keduanya secara berdampingan seperti apriori dan aposteriori, menilai keduanya saling melengkapi layaknya konsep kebertubuhan, atau malah menganggap keduanya saling berkelindan seperti dualitas dalam strukturasi.
Logika strukturasi cukup relevan untuk dijadikan acuan dalam melihat teori dan praktik sebagai dualitas yang saling terhubung dan berkelindan satu sama lain. Dalam strukturasi, struktur dan agen (individu) merupakan dualitas tak terpisahkan; keduanya saling terhubung dan memengaruhi satu sama lain. Absennya struktur akan memengaruhi praktik atau tindakan individu, begitupun sebaliknya.
Melalui logika strukturasi ini, kita dapat mengasumsikan teori dan praktik sebagai dualitas yang saling terhubung dan memengaruhi satu sama lain. Teori memengaruhi efesiensi praktik atau tindakan yang dilakukan, sedangkan praktik berfungsi mereproduksi dan memperbarui teori yang relevan.
Dalam konteks yang lebih teknis, masih banyak orang yang meremehkan teori sembari menganggap praktik atau tindakan lebih baik daripada hanya “mengonsumsi” teori dalam rangka memproduksi pengetahuan. Padahal, teori menyediakan wadah bagi tindakan itu sendiri. Teori menyediakan metode, cara, dan langkah-langkah bagi tindakan yang hendak dilakukan. Zaman sekarang, kita dituntut untuk efektif dan efisien ketika mengerjakan banyak hal. Teori menfasilitasi hal ini. Melalui teori, kita bisa memiliki pra pemahaman mengenai cara melakukan suatu hal.
Kemudian, melalui praktik, kita dapat merealisasikan hal yang kita inginkan, melakukan perubahan pada sesuatu yang hendak kita ubah, dan sebagainya. Praktik juga menjadi ruang bagi teori untuk mereproduksi dan memperbarui dirinya sehingga tetap relevan dengan kebutuhan kita.
Baca juga:
Melalui kerangka pemikiran strukturasi ini, seyogianya kita tidak lagi melihat teori dan praktik sebagai dualisme yang terpisah, melainkan dualitas yang saling membutuhkan. Keduanya sama-sama penting. Tindakan tanpa pemahaman teori yang jelas tentu akan memengaruhi kelancaran proses dan hasil akhirnya. Sebaliknya, teori tanpa tindakan juga tak berguna; hanya menjadi inventaris intelektual yang tak mampu mereproduksi dirinya.
Editor: Emma Amelia