Pendidikan, Kesadaran Kolektif, Kontradiksi Kebijakan Negara

Martin Silaban

3 min read

Sejak hampir seratus tahun yang lalu, Bung Hatta telah menyampaikan sebuah pemikiran yang luar biasa tajam tentang ketidakmampuan pemerintah dalam merespons kemiskinan dengan cara yang tepat. Dalam ceramahnya pada kursus liburan internasional yang diselenggarakan oleh Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan di Gland, Agustus-September 1927, Bung Hatta mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang lebih fokus pada pencarian alasan atas kemerosotan kemakmuran rakyat ketimbang mencari cara untuk mengatasinya. Menurut Bung Hatta, kecenderungan ini sangat merugikan karena pemerintah lebih mengutamakan pembentukan lembaga seperti komisi penyelidik daripada mengambil langkah nyata untuk mengatasi akar permasalahan kemiskinan secara langsung.

Kenyataan yang disampaikan oleh Bung Hatta hampir seratus tahun lalu kini terasa begitu relevan dengan apa yang kita alami di Indonesia saat ini. Di tengah perubahan rezim dan pergolakan ekonomi yang terus berlangsung, kita melihat kecenderungan yang sangat mirip dengan apa yang telah digambarkan oleh Bung Hatta. Sejak pergantian rezim, kita disuguhkan dengan peningkatan jumlah kementerian, menteri, hingga wakil menteri yang kian membengkak. Tak hanya itu, tahun 2025 diawali dengan narasi kenaikan pajak, sementara bulan ini kita dibanjiri dengan berita soal efisiensi anggaran yang diterapkan di berbagai tingkatan, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Namun, meskipun klaim efisiensi anggaran terus digaungkan, beberapa kementerian justru memilih untuk menambah jumlah staf khusus. Kontradiksi seperti ini mencerminkan bahwa pemerintah tampaknya gagal memahami esensi sejati dari kesejahteraan rakyat.

Baca juga:

Sungguh ironis, meskipun isu-isu kemiskinan dan ketimpangan sosial sudah lama menjadi perbincangan, kebijakan yang diambil oleh pemerintahan justru berfokus pada sektor-sektor yang terkesan dangkal dan tidak menyentuh akar permasalahan. Salah satunya adalah program-program bantuan karitatif yang lebih menekankan pada bantuan sementara daripada penguatan kapasitas masyarakat. Salah satu contoh yang sering kita dengar adalah program Makan Bergizi Gratis yang digalakkan oleh pemerintah.

Program ini, meskipun tampak mulia dan positif di permukaan, gagal untuk mengatasi masalah struktural yang lebih dalam terkait dengan sistem pangan di Indonesia. Ketimpangan distribusi pangan, monopoli rantai pasokan, dan terbatasnya akses pangan yang layak bagi masyarakat marginal adalah sejumlah permasalahan yang tetap tidak tersentuh oleh program ini. Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan tersebut, program semacam ini justru berpotensi memperpanjang ketergantungan rakyat pada bantuan sementara tanpa memberikan solusi berkelanjutan.

Lebih parah lagi, program-program karitatif seperti ini sering kali menjadi alasan di balik kebijakan efisiensi anggaran yang menyebabkan terpangkasnya dana untuk program-program prioritas lainnya, terutama di sektor pendidikan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi fondasi utama untuk menciptakan perubahan sosial dan ekonomi yang lebih adil, sering kali terabaikan demi memenuhi janji politik yang lebih bersifat populis. Tidak dibutuhkan lembaga khusus seperti Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan untuk menyelidiki penyebab merosotnya kesejahteraan rakyat. Semua rakyat sudah merasakan dan menyaksikan langsung dampak dari kebijakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bung Hatta, dalam ceramahnya, juga mengingatkan kita tentang pengalaman masa lalu yang serupa dengan apa yang kita hadapi saat ini. Beliau mengungkapkan bagaimana di masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial lebih memilih untuk berhemat dengan merugikan rakyat, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Kebijakan yang berorientasi pada penghematan ini sering kali disertai dengan kenaikan pajak yang terus-menerus, sementara rakyat semakin menderita. Fenomena yang dijelaskan oleh Bung Hatta ini sangat mirip dengan kebijakan-kebijakan yang kita lihat di Indonesia sekarang, di mana ada upaya untuk peningkatan pajak dan pemangkasan anggaran yang sering kali menjadi solusi yang ditawarkan, sementara kebutuhan dasar rakyat terus terabaikan.

Apa yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa tindakan pemerintah saat ini cenderung lebih bertujuan untuk memperkuat legitimasi politik mereka daripada benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat. Program-program yang seharusnya dapat meningkatkan kapasitas masyarakat sering kali hanya sekadar simbol atau pelipur lara, yang pada akhirnya malah memperlemah kesadaran kritis rakyat terhadap isu-isu struktural yang sebenarnya menjadi akar permasalahan. Sebagai contoh, program-program bantuan sosial atau subsidi yang diberikan pada sebagian kalangan justru menjadi alat untuk memperkuat ketergantungan rakyat pada negara, alih-alih memberdayakan mereka untuk mandiri.

Pendidikan Rakyat di Tengah Kontradiksi Kebijakan

Dalam kondisi seperti ini, kita harus kembali merenung dan mencari jalan keluar yang lebih substansial untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial. Bung Hatta dalam ceramahnya menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran kolektif di kalangan rakyat. Pendidikan yang bermuara pada kesadaran kolektif akan memampukan masyarakat untuk mengenali urgensi penetapan prioritas dalam urusan negara, dan untuk menghindari jebakan janji-janji politik yang populis dan tidak berdampak jangka panjang.

Baca juga:

Kesadaran kolektif ini sangat penting dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada. Rakyat yang sadar akan hak-haknya dan kesadaran untuk menuntut kebijakan yang adil dan berpihak pada kesejahteraan bersama akan menjadi kekuatan yang sangat besar untuk mengubah arah kebijakan negara. Oleh karena itu, pendidikan yang mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan kemampuan untuk berpikir jangka panjang menjadi kunci untuk meraih kemajuan sosial dan ekonomi yang sejati.

Rakyat harus menyadari bahwa tantangan besar yang dihadapi oleh bangsa ini tidak akan bisa diselesaikan dengan kebijakan yang hanya bersifat kosmetik atau berorientasi pada kepentingan politik sesaat. Saat ini diperlukan kebijakan yang mengutamakan pemberdayaan dan pemberkuasaan rakyat yang berpihak pada sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Hanya dengan cara itu kita dapat memastikan bahwa cita-cita kemerdekaan yang sejati, yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.

Jangan biarkan janji-janji politik populis menjebak kita dalam ilusi yang menghambat kemajuan menuju kesejahteraan yang sesungguhnya. Saatnya kita berfokus pada kebijakan yang bukan hanya memberi bantuan sementara, tetapi yang memberdayakan rakyat dan memperkuat kapasitas masyarakat untuk mandiri. Kita harus keluar dari lingkaran kemiskinan dan ketimpangan yang semakin menganga, dan mulai membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan. Kesejahteraan rakyat bukanlah sekadar janji kosong, tetapi sebuah kewajiban moral dan sosial yang harus dipenuhi oleh negara. Untuk hal ini, dibutuhkan pendidikan yang membangun kesadaran kolektif, serta komitmen bersama untuk menciptakan perubahan struktural yang harus menjadi dasar yang tak tergoyahkan dalam setiap langkah kita. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Martin Silaban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email