Di balik niat progresif untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan ibu dan pengasuhan anak, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang baru disahkan oleh DPR menyimpan ancaman terhadap kesetaraan gender bagi perempuan.
UU KIA yang telah bertahun-tahun tertahan proses pembuatannya ini tiba-tiba saja disahkan dalam sekejap. Meski terdapat beberapa pasal yang memang menjadi tujuan dari dibentuknya undang-undang ini, ada banyak hal lainnya yang berpotensi menggerus peran perempuan dalam masyarakat.
Baca juga:
Domestikasi Perempuan
Salah satu indikasi adanya upaya membatasi perempuan untuk terlibat lebih dalam urusan-urusan publik ialah jatah cuti yang tidak berimbang. Perempuan mendapatkan cuti melahirkan yang panjang, bisa hingga enam bulan, tetapi tidak demikian bagi laki-laki.
Ketidakseimbangan itu menggambarkan stereotip gender yang berkembang di masyarakat Indonesia dengan mempertegas bahwa urusan-urusan yang berkaitan dengan pengasuhan anak dibebankan sebesar-besarnya pada perempuan.Padahal, membentuk keluarga yang kuat membutuhkan konsep dan advokasi yang baik dengan melibatkan peran ayah dan ibu yang seimbang. Keseimbangan ini harus tercerminkan dalam keadilan dalam memberikan jatah cuti bagi kedua orangtua.
Dukungan yang minimal pada ayah untuk bisa terlibat dalam pengasuhan mengkhianati semangat awal UU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Peran ayah krusial dalam pengasuhan yang berdampak pada tumbuh kembang anak. Tidak berimbangnya jatah cuti yang tercantum dalam peraturan yang ada menunjukkan negara tidak berpihak pada keadilan gender dalam membentuk keluarga yang kuat.
Selain ketidakadilan jatah cuti, perempuan harus bersiap menghadapi ketidakadilan dalam pasar tenaga kerja. Beberapa kelompok pengusaha telah memberikan pandangannya terhadap kebijakan ini. Sebagian besar mengatakan keberatan, tetapi akan menyesuaikan kebijakan perusahaan dengan aturan di undang-undang.
Sebelum UU ini ada pun, perempuan telah menghadapi tantangan berat dalam peningkatan kesejahteraan dan kesempatan berkarier. Dengan terus-menerus memosisikan peran-peran domestik pada perempuan, akan timbul stagnasi progres kesetaraan gender. Pola pikir dan budaya yang sudah diskriminatif terhadap perempuan akan semakin kokoh karena didukung aturan yang tidak adil gender. Alih-alih menyejahterakan ibu bekerja, UU KIA justru menegaskan bahwa perempuan lebih pantas untuk mengurus urusan domestik dan tidak mungkin memiliki kesempatan karier yang sama dengan laki-laki.
Bukan tidak mungkin perusahaan akan membatasi penerimaan tenaga kerja perempuan karena bayang-bayang potensi penurunan produktivitas. Meski terdapat beberapa perusahaan yang berkomitmen memodifikasi sistem kerja agar perempuan tetap bisa bekerja usai cuti melahirkan, tetapi jumlah perusahaan yang menerapkan kebijakan berkeadilan gender masih bisa dihitung jari.
Ancaman Perekonomian Nasional
Jumlah penduduk perempuan Indonesia mencapai 49,42 persen. Artinya, hampir setengah dari penduduk Indonesia merupakan perempuan. Dari situ dapat diasumsikan bahwa perempuan juga memiliki peran krusial dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja adalah aspek penting bagi produktivitas perekonomian nasional. Hambatan partisipasi perempuan jelas akan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Ancaman-ancaman yang ditimbulkan dari ketimpangan cuti dan minimnya perlindungan sosial negara ialah kebijakan yang tidak setara bagi perempuan di dunia kerja. Perusahaan berpotensi melakukan pengurangan jam kerja bagi perempuan dengan anak atau perempuan melahirkan. Selain itu, perempuan akan menghadapi hambatan untuk kembali terlibat di pasar tenaga kerja atau dunia kerja karena diskriminasi dari tempat bekerja maupun hilangnya keterampilan dan kemampuan adaptasi. Perempuan juga terancam terpaksa mengisi pekerjaan paruh waktu dengan bayaran rendah karena harus berfokus pada urusan-urusan domestik. Kondisi-kondisi ini akan menurunkan kontribusi perempuan pada pembangunan negara.
Negara juga akan merasakan dampak negatif domestikasi perempuan. Dampak paling kentara ialah penurunan PDB sejalan dengan penurunan kontribusi perempuan secara signifikan pada angkatan kerja. Setelahnya, negara berpotensi menghadapi beban anggaran yang besar karena harus meluncurkan program-program bantuan sosial dan kesejahteraan yang seharusnya bisa dialihkan untuk sektor-sektor produktif.
Dengan disahkannya UU KIA yang mengecewakan itu, negara telah secara aktif membentuk ketimpangan yang curam antara laki-laki dan perempuan dalam hal upah dan kesempatan. Ketimpangan sosial dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan ini tinggal tunggu waktu sampai menimbulkan gejolak di masa yang akan datang.
Baca juga:
Pada akhirnya, UU KIA bukan hanya soal memberikan kesenangan sesaat bagi perempuan dengan pemberian cuti yang panjang. Sebagai aturan ketenagakerjaan, UU tersebut seharusnya hadir dengan ambisi besar untuk melampaui stigma-stigma yang tumbuh di masyarakat yang masih sangat patriarkis.
UU KIA harus berfokus pada pengasuhan, tetapi bukan hanya soal siapa berperan apa. UU KIA harus menjamin dan memberikan panduan agar perempuan dan laki-laki mampu berkontribusi nyata dalam membangun generasi bangsa yang baik, serta menjaga perempuan dari upaya-upaya terstruktur dan sistematis untuk menyingkirkan mereka dari peran publiknya.
Negara harus mampu memberikan perlindungan sosial yang kuat bagi masyarakatnya, juga kepada kelompok pengusaha agar terjadi sinergi yang baik dalam menciptakan kesetaraan gender dan kesejahteraan seluruh pihak. UU KIA yang kita punya sekarang jelas bukan solusi bagi persoalan itu.
Editor: Emma Amelia