Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Ilusi Kedaulatan Pangan

Sekar Jatiningrum

4 min read

Narasi tentang pangan kerap dibingkai dalam kerangka ketahanan: bagaimana negara memastikan warganya tidak kelaparan, bagaimana produksi pangan bisa terus ditingkatkan, bagaimana petani tetap bertahan. Namun, di balik jargon ketahanan pangan yang digaungkan pemerintah dan korporasi, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang dikemukakan: siapa yang sebenarnya berkuasa atas pangan?

Philip McMichael dalam Rezim Pangan dan Masalah Agraria (2020) menyingkap lapisan-lapisan politik pangan global dengan cara yang mengguncang. Buku ini bukan sekadar kajian tentang bagaimana pangan diproduksi dan dikonsumsi, melainkan bagaimana sistem pangan telah lama menjadi arena pertarungan antara kapital, negara, dan rakyat kecil.

Tiga Rezim Pangan

Pangan tidak sekadar kebutuhan dasar manusia, tetapi juga alat kekuasaan. Sejarah menunjukkan bahwa kendali atas sistem pangan kerap menjadi strategi politik yang menentukan arah ekonomi dan geopolitik dunia. Harriet Friedmann, dalam kajiannya tentang sistem pangan global, mengungkap bagaimana tatanan pangan internasional yang terbentuk setelah Perang Dunia II bukan hanya soal pasokan dan permintaan, tetapi juga bagian dari permainan kekuasaan negara-negara adidaya. 

Inggris, yang sejak 1870-an membangun dominasinya melalui perdagangan bebas, memanfaatkan hasil pertanian dari wilayah koloninya untuk menopang pertumbuhan industri domestiknya. Namun, seiring waktu, peran ini bergeser ke Amerika Serikat, yang pada pertengahan abad ke-20 menjadi pemain utama dalam politik pangan global.

Baca juga:

Philip McMichael mengembangkan konsep rezim pangan (food regimes) untuk menjelaskan bagaimana sistem pangan dunia selalu dikendalikan oleh aktor-aktor dominan dengan cara yang berubah-ubah sesuai dengan kepentingan ekonomi dan politik mereka. Dalam sejarahnya, terdapat tiga fase utama yang menunjukkan bagaimana pangan menjadi alat kontrol global.

Fase pertama berlangsung pada 1870 hingga 1930-an, ketika Inggris mengukuhkan dirinya sebagai pusat perdagangan dunia. Dengan mengandalkan hasil pertanian dari negara-negara koloninya, Inggris membangun sistem yang memungkinkan bahan pangan seperti gandum dan daging mengalir ke Eropa, sementara tanaman tropis seperti teh, kopi, dan gula diproduksi secara massal untuk pasar global. Pertanian monokultur menjadi ciri utama sistem ini, di mana tanah-tanah di negara jajahan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan metropolis, sering kali dengan mengorbankan ketahanan pangan lokal. Selama periode ini, pangan bukan hanya soal produksi dan konsumsi, tetapi juga instrumen untuk mempertahankan dominasi kolonial.

Memasuki 1950 hingga 1970-an, setelah Perang Dunia II, pusat kekuasaan sistem pangan global bergeser ke Amerika Serikat. Dengan surplus hasil pertanian yang melimpah, Amerika menggunakan pangan sebagai senjata dalam Perang Dingin. Bantuan pangan dikirim ke negara-negara berkembang sebagai bagian dari strategi diplomatik, memastikan bahwa negara-negara tersebut tetap berada dalam pengaruh blok Barat. Lebih dari sekadar bantuan, Amerika juga memperkenalkan model industrialisasi pertanian yang mengubah cara pangan diproduksi secara global. 

Teknologi Revolusi Hijau diadopsi di banyak negara berkembang, menjanjikan peningkatan hasil pertanian, tetapi sekaligus membuat mereka semakin bergantung pada benih, pupuk, dan teknologi dari negara-negara maju. Di sisi lain, reforma agraria yang diperkenalkan di banyak negara bukan semata-mata untuk kepentingan petani, tetapi juga sebagai strategi politik untuk meredam potensi perlawanan di pedesaan.

Transformasi sistem pangan semakin radikal sejak 1980-an, ketika liberalisasi ekonomi dan globalisasi membuka jalan bagi dominasi korporasi dalam industri pangan. Perusahaan-perusahaan multinasional mengambil alih rantai pasokan pangan, menghubungkan petani di Amerika Latin dan Asia dengan pasar-pasar global yang semakin terstandarisasi. Brasil dan Tiongkok, misalnya, menjadi pemain utama dalam produksi protein hewani untuk memenuhi permintaan daging di berbagai belahan dunia. 

Pada saat yang sama, ekspansi ritel modern melahirkan fenomena “revolusi supermarket”, di mana produk-produk pangan dikemas, dikategorikan, dan dijual sesuai dengan daya beli konsumen. Proses ini memperjelas ketimpangan dalam akses terhadap pangan: di satu sisi, mereka yang mampu membeli produk berkualitas tinggi menikmati standar konsumsi yang semakin eksklusif, sementara di sisi lain kelompok rentan semakin tersingkir dari sistem yang seharusnya melayani kebutuhan mereka.

Dalam setiap tahap perkembangan ini, pangan selalu lebih dari sekadar komoditas. Ia adalah instrumen kontrol, alat untuk membangun dominasi, dan mekanisme yang menentukan siapa yang berkuasa serta siapa yang tersisih. Dari kolonialisme hingga neoliberalisme, sistem pangan global terus menciptakan ketimpangan, memperlihatkan bahwa kendali atas pangan tidak hanya berarti kendali atas kehidupan, tetapi juga atas masa depan masyarakat itu sendiri.

Liberalisasi Pangan dan Penghapusan Kedaulatan Petani

Rezim pangan yang dulunya berada di bawah kendali negara kini didikte oleh mekanisme pasar akibat transformasi ekonomi global. Kebijakan pangan yang seharusnya berpihak pada kedaulatan rakyat justru dikooptasi oleh logika investasi: lahan-lahan subur berubah menjadi perkebunan monokultur, petani dipaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri, dan korporasi agribisnis mendikte harga pangan.

McMichael dengan tajam mengungkap bagaimana liberalisasi pasar dan perjanjian perdagangan internasional, seperti yang diatur dalam WTO, semakin memperlemah posisi negara-negara berkembang. Alih-alih mencapai swasembada pangan, negara-negara ini justru semakin bergantung pada impor yang dikendalikan oleh segelintir perusahaan raksasa. Ketahanan pangan yang sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah pada akhirnya hanya menjadi ilusi ketika pasokan pangan dikendalikan oleh mekanisme pasar yang tidak berpihak pada produsen kecil.

Di Indonesia, deregulasi sektor pertanian sejak era Reformasi telah mengarah pada ketergantungan terhadap impor dan melemahkan daya saing petani kecil. Gerakan tani internasional Via Campesina (2000) menyoroti bagaimana perdagangan pangan global yang terintegrasi telah memicu perpindahan besar-besaran tenaga kerja dari desa ke kota. 

Baca juga:

Petani kecil yang tak lagi mampu bersaing terpaksa menjadi buruh musiman, kehilangan hubungan mereka dengan tanah yang telah lama mereka garap. Fenomena ini menegaskan bahwa rezim pangan bukan sekadar sistem produksi dan distribusi, tetapi juga jaringan relasi ekonomi-politik global yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang di tingkat lokal.

Dalam rezim ini, strategi yang digunakan untuk menyingkirkan produsen kecil adalah melalui “senjata harga”—menekan harga komoditas hingga mereka tidak lagi mampu bertahan. Selain itu, integrasi sistem pangan global juga menyeragamkan pola konsumsi, mengikis keberagaman pangan lokal, dan memperdalam ketimpangan ekonomi. 

Dampaknya, pasar yang diklaim “bebas” justru menciptakan kemiskinan yang lebih sistematis. Mereka yang telah terpinggirkan akibat kebijakan pasar bebas menjadi semakin rentan terhadap kelaparan, sementara daerah-daerah pedalaman di bekas tanah jajahan mengalami krisis pangan yang sering kali tidak terlihat dalam wacana pembangunan. Namun, sistem yang menyingkirkan petani kecil ini tidak berjalan tanpa perlawanan. Gerakan-gerakan rakyat di berbagai belahan dunia bangkit untuk merebut kembali kendali atas sistem pangan mereka, menolak dikendalikan oleh kepentingan korporasi dan negara yang tunduk pada logika pasar.

Melawan dari Pinggiran

Pola eksploitasi ini terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Latin hingga Asia, di mana negara-negara berkembang semakin kehilangan kendali atas sistem pangannya sendiri. Dalam konteks Indonesia, wacana mengenai kedaulatan pangan pun tak lepas dari tarik-menarik kepentingan antara negara, korporasi, dan masyarakat sipil. Kedaulatan pangan bukan hanya soal hak untuk memproduksi, tetapi juga kendali atas sistem produksinya. Seperti yang dikatakan Stedile dan de Carvalho (2011), kedaulatan pangan adalah prinsip etis yang lahir dari proses kolektif, bukan sekadar konsep akademis.

Deklarasi Nyéléni (2007) mendefinisikannya sebagai hak atas pangan sehat dan layak secara budaya, yang diproduksi dengan metode ekologis berkelanjutan, serta hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri. Gerakan ini menentang konsep “keamanan pangan” neoliberal yang mengandalkan ekspor pertanian sebagai solusi, seraya menegaskan bahwa penguasaan pangan harus menjadi hak demokratis bagi warga. 

Organisasi seperti La Via Campesina memperjuangkan kedaulatan pangan sebagai perlawanan terhadap dominasi korporasi. McMichael menyoroti bagaimana petani, perempuan pedesaan, dan komunitas adat menolak dikendalikan oleh sistem pangan global yang mengorbankan mereka.

Di Indonesia, perlawanan ini terlihat dalam perjuangan petani Kendeng, yang dikenal sebagai Kartini Pegunungan Kendeng. Dalam aksi teatrikal di depan Istana Merdeka, sembilan perempuan Kendeng mengecor kaki mereka dengan semen sebagai simbol perlawanan terhadap ekspansi industri yang mengancam tanah mereka.

Eksploitasi lingkungan ini sejalan dengan subordinasi perempuan, sebagaimana dijelaskan d’Eaubonne (1974). Dominasi maskulinitas dalam pandangan antroposentris telah melanggengkan hierarki dan eksploitasi terhadap alam serta kehidupan sosial. Dalam karyanya, McMichael menyoroti bahwa pertarungan agraria bukan hanya soal kepemilikan lahan, tetapi juga tentang siapa yang berhak menentukan masa depan pangan dan kehidupannya sendiri.

 

 

Editor: Prihandini N

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email