Cuma Mahasiswa Hukum dengan aktivisme dan idealismenya. Manusia Departemen Kajian Strategi dan Kebijakan DEMA Justicia 2024.

Pemangkasan Anggaran Pendidikan 2025: Kolonialisme Pendidikan Gaya Baru

Christian Dion

3 min read

Atas instruksi Presiden Prabowo Subianto, anggaran pendidikan Indonesia tahun 2025 yang seharusnya Rp. 724,2 triliun dari total APBN Rp. 3.621 triliun, mengalami pemangkasan. Dengan dalih efisiensi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mengalami pemotongan Rp. 7,272 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi terkena pemotongan Rp. 56,607 triliun. Hal ini jelas-jelas sangat melanggar konstitusi sekaligus mematahkan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa. Efisiensi anggaran pendidikan pada dasarnya menyebabkan kerugian bagi dunia pendidikan Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sidiknas) pada dasarnya mewajibkan negara untuk mengalokasikan dana minimal 20 persen APBN untuk pendidikan. Pada kenyataannya mandatory spending yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo adalah memangkas anggaran pendidikan hingga semakin menjauhi alokasi minimal 20 persen tersebut.

Beberapa tokoh di parlemen dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seperti Maria Yohana Esti Wijayanti selaku Komisi X DPR RI mengatakan bahwa pemotongan anggaran sebesar 20 persen menyebabkan anggaran pendidikan tidak tercapai. Hal ini menyebabkan beberapa program seperti pendidikan profesi guru, peningkatan pendidikan vokasi, perlindungan bahasa daerah, serta kegiatan penjaminan mutu termasuk akreditas, dan pelaksanaan tes kemampuan akademik yang dilakukan bulan November 2025 mendatang tetap akan dioptimalkan dengan dana anggaran yang ada. Mengenai optimalisasi pula hal ini akan menjadi omong kosong belaka dan tidak akan pernah ada tanpa anggaran yang mumpuni.

Baca juga:

Pemangkasan anggaran yang ada memiliki dampak luar biasa bagi pendidikan Indonesia. Hal ini pada dasarnya mengembalikan Indonesia di masa kolonialisme. Dana pendidikan yang dibatasi pada dasarnya akan menghambat tidak terbatas pada cita-cita bangsa saja, tetapi ada ketakutan tersendiri dari pemerintah. Semakin banyak orang berpendidikan berarti berpotensi pula mampu berpikir kritis akan kebijakan. Sangat disayangkan bahwa pemerintahan saat ini tidak jauh berbeda dengan Gubernemen Hindia Belanda yang membatasi pendidikan. Pertanyaan reflektif, dengan pemangkasan dana pendidikan bagaimana program-program jangka panjang pendidikan akan terlaksana secara optimal? Apakah sekolah-sekolah di Indonesia saat ini perlu melaksanakan program pendidikan “berdikari” agar mampu bertahan dalam situasi anggaran yang seadanya?

Subsidiaritas Pendidikan “Berdikari”

Melihat situasi pendidikan saat ini dengan keterbatasan dana yang ada mengembalikan pendidikan Indonesia pada situasi kolonialisme. Pendidikan di masa Kolonialisme lahir karena pergerakan nasional termasuk Politik Etis yang melahirkan kaum-kaum terpelajar. Di zaman Hindia Belanda aliran dana pendidikan terbilang sangat terbatas. Tujuan pembatasan yang ada adalah ketakutan pihak pemerintah terhadap kaum terpelajar yang mampu merubah situasi. Pelopor pendidikan “Berdikari” atau berdiri di kaki sendiri pada dasarnya lahir dari beberapa gerakan sosial keagamaan. Belajar dari tokoh pendidikan yaitu K.H. Ahmad Dahlan dan Josephus Georgius van Lith SJ. Kedua tokoh ini menjadi contoh penting dalam konteks pendidikan berdikari.

Ahmad Dahlan sebagai tokoh penting dalam Muhammadiyah melihat pendidikan sebagai alat untuk melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Tujuan ini sama dengan van Lith SJ, seorang rohaniwan dan Pastor yang memiliki pendapat dalam artikel yang ditulis dalam De Studien (1922) bahwa nantinya orang-orang Jawa akan berkuasa dan mengusir bangsa kulit putih dari Hindia Belanda. Hal yang dicita-citakan oleh van Lith SJ pun terlaksana kelak pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945. Dalam perjalanan mencerdaskan kehidupan berbangsa kedua tokoh ini memiliki paradigma pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian pola pendidikan berdikari menjadi ciri khas pendidikan kedua tokoh ini.

Keterbatasan aliran dana pemerintah Hindia-Belanda menyebabkan sekolah-sekolah baik yang didirikan oleh Ahmad Dahlan dan van Lith harus mencari sendiri dana dari luar. Pada dasarnya van Lith menggunakan metode pendekatan kemasyarakatan bahwa tujuan sekolah misi yaitu Kolese Xaverius di Muntilan yang didirikan tahun 1904 melalui surat permohonan pendirian sekolah pendidikan guru bantu kepada departemen pendidikan yang berada di Buitenzorg (Bogor). Hal ini pun memperoleh dana subsidi, tetapi melalui dana subsidi pun tidak akan mencukupi. Tujuan sekolah ini sendiri tidak sebatas pada misi Katolik saja, tetapi juga sangat erat kaitannya dengan membangun masyarakat pembangun pondasi bangsa.

Baca juga:

Dalam konsep Ahmad Dahlan sendiri, pendidikan berdikari ala Muhammadiyah pun juga dilakukan dengan mengajukan izin kepada pemerintah Hindia Belanda terlebih dahulu tahun 1912 dan diizinkan tahun 1914. Dalam ruang lingkup pendidikan tentu setiap organisasi yang mendapatkan izin dari departemen pendidikan kala itu mendapat subsidi, tetapi tidak akan mendapat sokongan optimal untuk pendanaan. Dalam ruang lingkup pendidikan Muhammadiyah hal pendanaan dilakukan melalui lembaga dakwah kala itu melalui syiar yang dilakukan ke berbagai wilayah di Indonesia. Begitu pula van Lith, lembaga pendidikan Kolese Xaverius Muntilan pun tidak lepas dari pembiayaan misi melalui Serikat Yesus Provinsi Belanda saja, tetapi juga keterlibatan beberapa donatur.

Mempertahankan Pendidikan Bangsa 

Pemangkasan dana pendidikan tahun 2025 pada dasarnya merupakan praktik kolonialisme gaya baru. Hal ini menyebabkan banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi terdampak melalui keterbatasan anggaran yang ada. Di situasi demikian, sekolah-sekolah swasta masih bisa membiayai dirinya sendiri. Walaupun juga akan mengalami situasi tertatih tatih. Sebuah ironi apabila pendidikan kita pada akhirnya hanya pendidikan bagi orang-orang kelas atas karena mereka mampu membayar dan sekolah tidak mampu melakukan prinsip subsidiaritas yang mumpuni. Hal ini hanya akan berakibat ditutupnya sekolah karena tidak adanya perhatian dan intensif dari pemerintah.

Melihat situasi terkini sudah seharusnya pendidikan Indonesia kembali kepada konsep berdikari. Konsep ini menantang setiap dunia pendidikan harus mampu bertahan dalam pengelolaan dana secara mandiri dan hal ini tidak akan menimbulkan optimalisasi. Tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah mencerdaskan masyarakat yang kurang mampu, tetapi melihat situasi saat ini adalah hal yang mustahil. Prinsip subsidiaritas sudah diterapkan di beberapa sekolah, tetapi kenyataannya alokasi dana digunakan tidak 100 persen untuk penjaminan mutu, tetapi melakukan pembangunan besar-besaran yang tidak ada artinya.

Peran partisipasi kita sebagai anak muda adalah mampu melihat ke depan arah pendidikan kita yang tidak mudah. Kita melihat bahwa pemangkasan anggaran tidak hanya berpengaruh pada pengembangan, tetapi juga pada semakin sulitnya aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat miskin. Kiranya prinsip berdikari dalam dunia pendidikan menjadi angin baru agar pendidikan kita bisa tetap hadir secara utuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa di tengah sistem pendidikan nasional Indonesia yang kian memasuki masa kolonialisme barunya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Christian Dion
Christian Dion Cuma Mahasiswa Hukum dengan aktivisme dan idealismenya. Manusia Departemen Kajian Strategi dan Kebijakan DEMA Justicia 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email