Merupakan sejarawan dan penulis independen yang mendalami riset seputar kajian dekolonisasi, pascakolonial, sejarah anak, dan seni kontemporer.

Opera Sabun Beralih Medium

Mohamad Ichsanudin A

2 min read

Memori kecil saya terkait keluarga selalu dekat dengan sosok ibu. Memori itu berkubang di ruang televisi ketika kami berkumpul selepas ibu menyelesaikan tanggungan domestiknya. Kala itu, melalui sepetak layar dengan intensitas cerah, ibu kerap terpaku dengan sajian Tukang Bubur Naik Haji (2012) yang kerap muncul menjelang malam. Sajian yang dikomodifikasi secara berjilid-jilid itu tak lekas membuat ibu jenuh. Ia justru semakin dibuat penasaran dan antusias untuk menyelesaikan akhir dari opera sabun tersebut. Pun juga saya kerap disuapi nilai moral oleh opera sabun.

Menjelang bertambahnya daya dan kemampuan kritis, diam-diam saya kerap mengutuk ibu saya yang kecanduan mengkonsumsi televisi. Televisi menjadi satu-satunya corong nilai yang kerap diadopsi dan dibebankan untuk mendidik saya. Bahkan saya kerap menggerutu, sebab ketika sedang khidmat menonton debat di tvOne, kanal televisi dialihkan menjadi RCTI.

Meskipun demikian, dewasa ini beranda digital saya justru dipenuhi konten-konten berjenis opera sabun. Konten-konten seperti Sang Robby TV dengan maskulinitas idealnya, My. Ladyquinn dengan migrasi kelas yang berjilid-jilid, hingga paling absurd seperti Abyan Calief yang memadukan konten kuliner dengan bumbu konflik di dalamnya.

Baca juga:

Saya tak punya dalih untuk membenarkan penyimpangan ini, toh faktanya saya memang kerap menontonnya ketika hendak menyelamatkan diri dari beban kerja yang runyam. Akan tetapi, kebiasaan tersebut justru memicu kegamangan baru. Mengapa migrasi medium hiburan hari ini justru tidak meninggalkan budaya ketergantungan kita terhadap opera sabun?

Beralihnya Medium Baru

Opera sabun, atau yang lebih akrab disebut sinetron, telah menjadi proyek emas industri hiburan guna mendulang rating. Masyarakat yang tak difasilitasi forum publik untuk mengotopsi kembali jasad persoalan hidup mereka, alhasil memilih mengonsumsi cerita dari televisi yang jauh lebih menarik ketimbang realitas mereka sendiri. 

Akan tetapi, banjir modus produksi hiburan justru membuat keberadaan televisi terancam. Televisi sedang bersitegang dengan medium digital yang nyatanya lebih praktis dikonsumsi masyarakat. Alhasil, mereka tidak lagi menempati posisi arus utama dalam memproduksi cerita kepada masyarakat. Jargon “jangan ke mana-mana tetap di layar kaca” telah karam dihantam jargon “like and subscribe”. Bahkan artis-artis yang dibesarkan oleh televisi ikut bermigrasi ke medium digital.

Meskipun demikian, hadirnya medium baru tersebut juga dinilai telah membawa optimisme baru akan partisipasi masyarakat. Masyarakat yang mulanya disodok cerita oleh televisi, kini memperoleh ruang untuk memproduksi ceritanya sendiri. Forum publik yang tidak banyak difasilitasi, kini muncul secara liar di medium baru tersebut. Dengan kata lain, siapa pun dapat memproduksi cerita, bahkan yang tidak punya basis modal matang sekali pun. Di sinilah optimisme akan medium baru muncul, ketika masyarakat telah mampu menjadi partisipan yang setara aktifnya dengan produsen televisi.

Namun nyatanya, fenomena semacam ini tidak lekas membuat masyarakat meninggalkan opera sabun. Bahkan kini opera sabun telah berkembang lebih canggih, serta konsumsi terhadapnya telah menjangkau lapisan generasi yang selama ini dinilai terbuka akan perspektif baru serta kritis terhadap fenomena. 

Opera Sabun Gaya Baru

Melalui medium baru, opera sabun tidak lagi menawarkan gaya penceritaan berbelit-belit, yang untuk menyelesaikannya butuh bertahun-tahun. Opera sabun kini telah menawarkan jalan cerita yang singkat dan praktis, di mana penonton langsung ditodongkan dengan konflik yang bombastis, serta segera disusupi oleh klimaks dan nilai moral. 

Kepraktisan tersebutlah yang membuat siapa pun nampak tak terbebani untuk menyelesaikannya. Bahkan kita bisa langsung merefleksikan nilai moral yang ditawarkannya, meskipun sembari sibuk mengunyah cemilan.

Baca juga: 

Meskipun cerita yang disajikan tidak masuk akal, bahkan lebih menyiksa kewarasan bila dibandingkan dengan televisi, kekhasan gaya penceritaan opera sabun di medium digital selalu lebih bisa diterima. Di medium digital, banyak creator melakukan eksperimen naratif sehingga memicu berkecambahnya format-format konten penceritaan opera sabun yang lebih luwes.

Sebut saja Abyan Calief, food vlogger asal Medan. Pada mulanya, ia hanya sebatas mengulas makanan yang dijajakannya, tetapi kemudian mulai mencangkokkan unsur naratif pada kegiatannya. Bayangkan, ketika berhadapan dengan situasi konflik yang rumit, bisa-bisanya ia masih sempat mengulas makanan dengan model sinematografi yang tak main-main niatnya. Alhasil, kontennya tersebut dibanjiri pengunjung.

Kemudian ada juga My. Ladyquinn, dengan konten-konten yang memicu ketegangan. Seperti ketika ia mendapati ternyata kawan sendiri bisa saja menusuk dari belakang, atau ketika mendapati ternyata orang yang kerap kita sepelekan secara penampilan, ternyata memiliki privilese sehingga kita dibuat getir sendiri dengan tingkah sang antagonis.

 

Editor: Prihandini N

 

Mohamad Ichsanudin A
Mohamad Ichsanudin A Merupakan sejarawan dan penulis independen yang mendalami riset seputar kajian dekolonisasi, pascakolonial, sejarah anak, dan seni kontemporer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email