Itu pria yang sangat kukenali hingga aku ingin memukulinya; Abdul Halis alias Dokek. Rambutnya cuma sependek bulu hidung dan jarang-jarang seperti puasa Daud, tetapi ia selalu gemar menyisirnya lurus ke belakang.
Dengarkan saja gaya tuturnya. Mulut Dokek seperti penangkaran hewan liar. Selalu saja ada nama hewan yang keluar dari sana ketika ia mengakhiri kata-katanya yang tak bermakna. Jika aku memperhatikan Dokek dari ujung kepala hingga ujung kaki, seluruhnya bisa membuat lambungku perih. Namun, dari semua daftar panjang tentang hal-hal yang aku benci dari Dokek, yang paling aku benci dari dia adalah hubungannya yang terikat secara fanatik kepada para Mi fans; kumpulan penggemar produk ponsel Xiaomi garis keras.
Celakanya, Dokek, saat itu baru saja membeli ponsel Xiaomi Mi 10.
Perhatikan saja tingkah Mi fans ini; satu jam setelah Dokek membuka kemasan ponsel barunya, ia duduk di hadapanku di dalam sebuah kafe yang sesak asap rokok tembakau. Lidah Dokek bergerak seperti piston mobil balap ketika menjelaskan keunggulan ponsel barunya. Dia mengunduh dan membarui aplikasi Whatsapp. Sambil memperlihatkannya kepadaku, sesegera mungkin ia membuat story di Whatsapp dengan caption, “Hp baru, nih bos, #XiaomiMi10!” sebanyak lima belas kali. Lima. Belas. Kali. Sinting!
Seseorang–yang entah siapa aku tidak peduli–menghubungi Dokek lewat video call. Dokek lalu menanggapi orang itu dengan senyuman yang paling ia banggakan. “Iyalah! Betul sekali ko, Kambing Gunung. HP baru memang ini,” kata Dokek, memasang wajah sombong. “Inimo, janganmo ko cari yang lain, tidak ada mi HP yang sebagus ini. Buaja,” lanjut Dokek.
Aku tahu bahwa setelah itu, seseorang–yang entah siapa aku tidak peduli–pasti menanyakan, “apa bagusnya?” hingga si Dokek memiliki kesempatan untuk melanjutkan kebanggaannya dengan kalimat, “coba moko jatuhkan ki, kau tau mi itu kuatnya ini HP. Belum pi lagi kameranya… tidak bosan ko, kah, sama hasil kameramu yang burik?” kata Dokek.
Setelah Dokek membual cukup lama, ia akhirnya berhenti. Ketika itulah, aku ingin sekali meninju batang hidungnya.
Siang dan suasana buram–enam jam sebelum aku berusaha mengatur siasat agar bisa berkelahi dengan Dokek–ponselku yang bermerek Xiaomi Redmi note 4 yang sudah mendampingi hidupku selama dua tahun satu bulan terjatuh dari genggamanku. Ketika itu, seketika dalam keadaan tengkurap, ponselku membentur lantai. Layarnya retak, tampilan LCD-nya rabun, dan musik You Never Can Tell dari Chuck Berry pun berhenti.
Gara-gara itu, aku berhenti joget ketika aku sudah hampir menjelma Vincent Vega di Pulp Fiction. Itu betul-betul tidak menyenangkan. Berhenti berjoget ketika sedang asyik sama seperti merasakan bersin tertunda ketika rasa inginnya sudah berada di ujung pangkal hidung.
Aku memungut ponselku dari lantai dan keadaannya begitu mengenaskan. Suasana hening menyelimutiku. Setelah aku berupaya menekan tombol restart, dia tidak kembali siuman. Ketika aku berupaya membenturkan beberapa bagian ponselku ke tembok untuk menimbulkan keajaiban, ponselku tetap tak sadarkan diri. Layarnya yang retak seperti memandangku dan mengucapkan kata-kata terakhir, “selamat tinggal kawan.”
Saat itu, aku ingin menangis.
Hari-hari bersama ponsel Xiaomi Redmi Note 4 adalah pengalaman yang mengagumkan. Meskipun tidak memberi banyak kemewahan teknologi, ukuran kualitas kamera yang tidak cukup instagramable, dan chipsetnya tidak mampu menaikkan derajat player mana pun dalam gim Mobile Legend, tapi benda yang tidak terlalu banyak omong ini sudah mengimbangi kapasitas mentalku yang rentan dalam menghadapi kesunyian.
Ponselku berada dalam genggamanku, sehari setelah pacarku berubah menjadi pacar orang lain. Xiaomi Redmi Note 4, pada hari pertamanya sebagai ponsel pintar, menemani malam-malamku yang sunyi. Dia memberiku jalan keluar dari sosok mantan pacarku yang sudah terlanjur jadi kesayangan keluarga. Dia merakit hatiku yang hancur oleh cinta murahan. Dan dia mengembalikan kepercayaan diriku bahwa, di luar sana masih ada cinta yang layak huni.
Dan ketika ponsel itu rusak, serusak-rusaknya, sampai aku malas meneruskan pikiranku untuk membawanya ke tempat servis, tidak ada pilihan lagi. Itu adalah waktu yang tepat untuk menyetel lagu Time To Say Goodbye-nya Andrea Bocelli.
Mostra a tutti il mio cuore
Che hai acceso
Chiudi dentro me
Setelah meratapi kesialanku, aku memutuskan untuk pergi ke kafe beraroma tembakau langgananku. Aku ke sana hanya untuk merayakan perpisahan sambil menghabiskan kopi susu dingin dan dua bungkus lintingan tembakau Mars. Semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya; melankolis dan bergaya iklan Marlboro. Sampai kemudian Dokek datang membawa ponsel barunya dan wajahnya yang layak pukul itu.
Aku bisa melayangkan tinju ke wajah Dokek tanpa assalamualaikum, hingga membuat batang hidungnya patah. Ia, mungkin akan segera bertanya, “kau kenapa, Tikus Botak?” dan aku akan menjawabnya dengan satu pukulan lagi ke pipi kirinya. Dan, karena aku tahu, ia akan mulai membalasku dengan pukulan telak, aku bisa menghindarinya. Tapi, ia akan tetap berupaya menyerang sambil membanting meja kayu dan melempar kursi. Sambil menghindar, aku akan menghampirinya dan mencekik lehernya, lalu aku benturkan kepalanya ke jendela kaca.
Namun, setelah menghitung beberapa konsekuensi dari perkelahianku dengan Dokek yang hanya membawa kerugian bagi kafe langgananku, maka aku memutuskan untuk menunda keinginanku melukai Dokek. Dan aku memilih untuk mengumpat habis-habisan di dalam hati.
Sembilan jam selanjutnya, aku habiskan segala efek fetis dari mendiang ponselku di dalam indekosku. Aku merasa takut tertinggal informasi. Dan sindrom eksisme–atau apalah namanya–yang memuncak membuatku melinting lebih banyak tembakau. Namun, di antara semua akibat pasca tidak memainkan ponsel selama berjam-jam, aku paling cemas ketika aku tahu, aku tidur di jam 10 malam. Jam. Sepuluh. Malam.
Pada hari selanjutnya, usahaku untuk mengatasi gejala nomophobia yang mulai akut membuatku mengerjakan beberapa hal ajaib; waktu tidurku jadi genap delapan jam. Aku bangun pagi, untuk pertama kalinya, setelah seribu pagi yang selalu kesiangan. Aku membersihkan indekosku. Dan aku masih tidak percaya, aku menjejerkan kata “indekos” dan kata “bersih” dalam sebuah susunan kalimat yang utuh. Indekos bersih!
Aku mencuci seprai lalu menjemur kasur. Aku menyapu kolong ranjang, dan menemukan tiga koin seribu bermotif kelapa sawit. Aku juga menemukan selembar catatan di sticky note merah jambu dengan tulisan, “love can never be exactly like we want it to be.”
Aku mengepel lantai dengan kain basah, dan menyadari ada begitu banyak bekas sundutan rokok. Aku menguras air dan membersihkan akuarium yang terbuat dari bekas casing PC, yang berisi sepasang kura-kura yang tidak minat kawin. Aku menurunkan buku-buku dan membersihkan hiasan-hiasan di dinding; foto mendiang ibuku yang tidak pandai tersenyum, lukisan wajah filsuf yang sok serius, dan sebuah coretan yang membentuk kelamin laki-laki.
Pada hari ketiga, aku masih bangun pagi. Seluruh sudut indekosku, bahkan yang paling horor–anggap saja itu dapur dan anggap saja itu kamar mandi–juga sudah terlihat seperti dapur dan seperti kamar mandi. Dan, karena tidak ada lagi pekerjaan rumah yang masuk akal untuk dilakukan, aku memutuskan untuk kembali ke kafe langgananku.
Tapi, kali ini, untuk menjaga mood yang masih acak-acakan pasca mengalami fase puncak nomophobia, dan agar bisa menghadapi Dokek dengan pikiran yang waras, aku membeli dan membawa novel The Ministry of Utmost Happiness-nya Arundhati Roy. Aku betul-betul berniat menghabiskan novel itu, hari itu juga.
Tapi, saat aku baru saja menghirup aroma lem dari novel itu, Seorang yang Mungkin Bisa Menjadi Pacar muncul dan duduk di hadapanku; perempuan yang tetap cantik walau sedang bersin. Perempuan yang tetap cantik walau sedang menggunakan helm penghancur kecantikan. Perempuan yang tetap cantik walau ia sama sekali tidak pernah mencintaiku.
Itu pertemuan kami yang pertama. Tujuh bulan yang telah lalu. Aku ingin mengucapkan hal-hal biasa dan basa-basi, seperti, “Kau tidak bosan, kah, tampil cantik terus?”
Atau pertanyaan yang agak lebih cocok, seperti, “hai, apa kabar? Lagi sibuk apa, sekarang?”
Aku memilih yang kedua dan ia menjawabnya dengan jawaban yang menjurus kepada beberapa hal yang membuatnya takut menghadapi hari esok; pekerjaan, lalu cinta, pernikahan, lalu cinta, dan perkara menerima kesialan, lalu cinta, lagi.
“Datang ka’ kemari, sengaja ka’, untuk menemuimu,” katanya. Matanya berharap. “Sudah maka’ menelepon beberapa kali, tapi tidak tersambung,” tambahnya.
“Iye, maaf. Tidak main ponsel ka’ belakangan ini.”
“Hilang?”
“Rusak.”
“Pantas,” katanya dengan menghela napas.
Seorang yang Mungkin Bisa Menjadi Pacar itu lalu bercerita banyak hal yang membuatnya terharu sendiri. Aku mendengar dan sesekali menawarkan tisu kepadanya. Dan, aku tahu sejak saat itu, Seorang yang Mungkin Bisa Menjadi Pacar, selamanya hanya bisa menjadi Pacar dalam Kemungkinan.
Aku mengakhiri 72 jam pertamaku tanpa ponsel dengan meminta Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan untuk berkeliling kota sambil naik motor. Ia menolak. Aku menawarinya menonton film Avenger di bioskop. Ia juga menolak. Aku menawarkan pipi Dokek untuk ia pukuli. Ia tak sampai hati. Aku memintanya menginap di indekosku. Ia tentu saja juga menolak. Tapi, aku membujuknya sambil menjanjikan kepadanya bahwa indekosku sudah berubah. Bayangan tentang indekosku yang berubah membuat Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan–yang selama ini tak mampu membedakan indekosku dengan penangkaran hewan liar menjadi tergoda. Ia tertarik!
Sebagaimana hari-hari yang pernah kita lewati bersama di indekosku, kami bernostalgia sambil membeli sekotak piza mozarella, dan empat kaleng susu beruang.
Hal-hal yang seharusnya terjadi, tidak mesti harus terjadi. Aku dan Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan hanya menikmati malam yang panjang dengan menonton empat film dari Wong Kar Wai di laptopku yang butut. Dia meminta satu film lagi, tapi aku tak sanggup. Aku pamit untuk tidur, dan ia masih menonton.
Hari keempat, aku ternyata masih bisa bangun pagi. Itu membuatku takut. Kebiasaan bangun pagi membuatku takut. Aku mendengar bunyi keran dari kamar mandi. Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan sudah terbangun lebih dulu. Aku membuat roti bakar, dan Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan berteriak dari dalam kamar mandi.
“Aku suka telur dadar!” katanya.
Agar cukup adil, dan semoga mampu memekarkan hatinya yang patah, aku menggoreng roti dan telur dadar dalam satu wajan yang sama. Langkah-langkahnya sebagai berikut: Kocok dua butir telur dengan garam secukupnya, lumuri wajan dengan mentega, tuangkan telur kocok ke dalam wajan, lebarkan adonan telur kocok sampai cukup untuk dua potong roti lapis, tunggu hingga matang dan memungkinkan untuk dibalik. Ketika sudah siap, sajian itu akan disebut sebagai, Omelet Telur Dadar India dengan Isian Keju, Potongan Daging Ayam dan Sedikit Rasa Kasih Sayang.
Dikelilingi suasana folk rock yang dibentuk oleh lagu-lagu The Mamas and The Papas, dari radio kaset, aku dan Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan duduk menyantap telur dadar India. Sambil berupaya mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia menangkap mataku yang sedang memperhatikan kausku yang cocok di badannya.
“Sebentar, jie… kukasi kembali jie.”
“Pakaimi saja sampai kapan pun!” paksaku.
“Ya kali, saya pakai baju yang ada gambar Spiderman-nya sampai kapan pun.”
“Tapi itu bukan Spiderman, itu vocalis band rock.”
“Tak ada bedanya,” katanya sambil memasang wajah manis. “Eh, ini enak,” lanjutnya sambil terkesima.
“Kalau mau tambah lagi, sudah dicatat.”
“Hahaha, pelitmu.”
“Lumayan itu buat modal awal.”
“Mau bikin restoran?”
“Bukan.”
“Lalu buat apa?”
“Buat jadi mafia omelet telur dadar India. Eksploitasi anak-anak untuk dagang omelet ke warkop-warkop,” kataku sambil tertawa jahat.
“Hahaha, brengsek sekali kau anak muda. Tapi itu ide yang bagus.” Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan ikut tertawa jahat. “Tapi kenapa harus bawa-bawa nama India?” tambahnya.
“Karena semua makanan enak ingin menjadi India.”
“Terserah,” katanya, putus asa.
Aku dan Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan terus menyantap telur dadar India di hadapan akuarium kura-kura. Aku memperhatikan bagaimana ia menceritakan pengalamannya menonton film-film Wong Kar Wai. Saat menceritakan film Chungking Express, ia minta untuk diputarkan lagu California Dreamin. Saat lagu itu terputar, dia tiba-tiba memasang wajah serius. Dia lalu berucap. “Ada yang mau kutanyakan. Kenapa kita selalu mencintai orang yang salah?”
Aku mengenal Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan sembilan tahun lalu sebagai seorang yang terlalu mudah jatuh cinta–kepada lelaki yang selalu bukan aku. Dengan konsep cinta yang segalanya kuberikan untukmu itu selalu membuatnya kerepotan. Yang penting, pada akhirnya bisa menikah, ia rela melakukan apa pun untuk kekasihnya. Pacarnya yang amat sangat ia cintai, yang pernah menguras isi ATM-nya, juga menodai harga dirinya karena akan menikahi perempuan yang bukan dia. Dan kali ini, ia berupaya menyadari, bahwa cintanya, cuma sajian singkat untuk pernikahan orang lain. Dan selalu begitu. Ia marah, tapi ia merasa bahwa kemarahannya juga tak layak untuknya.
“Kenapa, ka’, selalu mencintai orang yang salah?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Di kepalaku, tidak muncul sedikit pun cahaya dari bohlam lampu seperti yang biasa aku lihat dari kartun pagi. Kalaupun aku berupaya menjawabnya, 12mm diameter lubang di hatinya bisa melebar dan mengisap lebih banyak kesedihan. Lagi pula, ada beberapa pertanyaan, yang lebih baik menggelembung, melayang ke sana dan kemari, dan pecah sendiri.
Ya, ada sepasang kura-kura yang menempel di dinding akuarium, dan aku diam-diam menyenangi jala kesunyian yang membuat kami terperangkap, seperti dua bayangan yang tersesat ke dalam gelap. Tapi, aku tidak bisa mengucapkan apa pun, dan Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan terlalu baik untuk merepotkanku dengan pertanyaan yang sama berulang kali. Aku merasa bersalah, tapi untuk saat ini, menurutku, kesunyian jauh lebih bijak dari semua kata-kata bijak.
Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan mulai meneteskan air mata, sesenggukan, karena tidak ada tisu–yang membuatku menyesal, karena tidak pernah berpikir bahwa tisu mungkin bisa begitu dibutuhkan pada suasana genting seperti itu–aku hanya bisa menawarkan ujung baju kausku yang berbau keringat. Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan malah melingkarkan lengannya di pinggangku, dan membenamkan wajahnya ke dadaku. Lalu menangis lepas ia di sana.
Dalam dekap yang tidak begitu lebar, dalam pelukan yang hangat dan dalam kesunyian yang lengang, kami larut ke dalam musik The Mamas and The Papas. Musik Dancing in The Street sedikit membangkitkan suasana. Tapi, ia masih menangis dan mendekapku lebih erat.
Lagu Monday Monday terlewati, Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan akhirnya mampu mengangkat wajahnya yang berlumuran air mata. Tanpa mengikuti aturan film drama mainstream, aku mengusap basah di wajahnya dengan tangan kosong. Aku berupaya membuatnya tegar dengan mengirim tatapan ke matanya yang berkaca-kaca, dan beberapa anggukan pelan. Lalu, dia berkata, “maaf ka’, kubikin basah bajumu.”
Dan aku menjawab, “Nda apa-apa, jie. Ini bisa jadi karya seni.”
Dan ia pun tersenyum manis.
Aku melihatnya meneguk air putih yang aku bawa dari dapur, dengan pelan. Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan lalu memohon maaf, sekali lagi. Ia pamit untuk pulang. Sambil mengucapkan terima kasih, dia memberi pelukan singkat, sekali lagi, di balik pintu. Aku hanya bisa membalasnya dengan kata-kata, “percayalah, bagaimanapun kau merawatnya, cinta sejati selalu tumbuh perlahan-lahan.”
Dan aku menyesal, karena sudah mengucapkan kalimat jelek itu, yang sebenarnya aku kutip dari film After The Storm-nya Hirokazu Kore-Eda. Satu film yang tidak terlalu bagus juga sebenarnya.
Ia tersenyum, dan melambaikan d-a-a-a-a sebelum hilang ke dalam taksi. Tapi kesunyian tidak ikut hilang. Ia masih menetap, mengintipku dari berbagai sudut, menguras pemahamanku yang landai mengenai cinta.
Hingga aku melewati hari keempat tanpa ponsel, aku hanya bisa berbaring seharian. Aku, sesekali, meluruskan punggung di lantai ruang tamu, dan menatap langit-langit indekosku. Aku terkepung kesunyian. Aku rindu ponselku.
Pada hari kelima, aku belum tidur hingga matahari memarut sela-sela jendela dan menyelundupkan pagi ke dalam indekosku. Pertanyaan Seorang yang Selamanya Hanya Jadi Pacar dalam Kemungkinan menghasilkan bunyi yang insomniak–atau apalah namanya. Seperti ada seekor nyamuk cerewet yang terperangkap di lorong telingaku.
Pada malam itu aku membayangkan Francois de La Rochefoucould mengetuk pintu dan minta maaf kepadaku. “Saya seharusnya tidak pernah berkata kepadamu, memang ada orang yang tidak pernah jatuh cinta, dan itu lebih baik. Dia adalah orang yang tidak pernah mendengar. Ada hal semacam itu.”
Tapi aku bilang begini. “Itu tidak apa-apa. Selama hidup, aku pikir cinta memang seperti kata awalan untuk hal-hal yang barangkali bisa menyenangkan.”
Selain itu, entah mengapa, aku sudah begitu curiga kepada cinta. Padahal, aku pernah memujanya. Cinta adalah sesuatu yang tidak dapat dirangkum menjadi seikat definisi. Cinta itu kebebasan. Cuaks.
Ketika ada seorang perempuan dengan kecerahan yang mengilap, muncul di hadapanku, lekuk kecil pada pipinya yang imut membuatku mengulang seluruh kehidupanku dari nol. Aku menyebutnya sebagai belahan jiwaku. Aku menyebutnya sebagai perempuan tercantik di seluruh dunia.
Aku sudah berupaya mencintainya, mengikuti aturan kerja cinta yang dianut oleh banyak orang. Aku mengikuti tren. Aku menikmatinya. Ketika dia meminjamkan bibirnya untuk aku kecup, saat itu aku merasa hidup yang selebihnya tidak perlu lagi. Hingga dia pergi dengan laki-laki lain. Aku jadi tak mengerti sama sekali.
Lalu dengan alasan patah hati, aku menganggap jika cinta yang pernah membuatku merasa lapang, hanya hasil dari akal-akal budaya pop, sinetron televisi, dan drama-drama percintaan. Mencintai orang yang tepat adalah fiksi.
Lalu mereka membuat kita resah; budaya pop, iklan-iklan produk dan healing ke tempat wisata terus-terusan memberi kita pilihan agar tidak kesepian. Kau harus memiliki seseorang, menghabiskan waktu bersamanya, agar hidupmu bisa lebih indah. Tapi, mereka tidak memberi kita hidup yang indah. Mereka membuat kita hanya selalu melihat orang lain sebagai produk pembasmi kesepian.
Lalu di bawah pengaruh mereka, kita menumbuhkan perasaan cinta kepada orang yang kita sayangi dengan terburu-buru. Cinta jadi selalu tentang memberi segalanya, pada saat itu juga.
Lalu.
Lalu.
Aku terbangun oleh bunyi ketukan di pintu. Seseorang berteriak, “Paaaakeeeett!” berkali-kali.
Kepalaku terasa berat, jantungku berdetak cepat dan tenggorokanku kering. Saat aku melihat siapa di balik pintu, penglihatanku seperti dipenuhi semut-semut hitam. Aku kewalahan menatap wajah seseorang yang berdiri di hadapanku. Ia menggunakan topi hitam, buram, atau itu mungkin sama sekali bukan topi hitam.
“Tanda tangan di sini, Pak,” katanya.
Aku mencoret kertas itu, Seseorang Yang Mungkin Menggunakan Topi Hitam memberiku kardus kecil, lalu pergi. Aku menutup pintu dan menyimpan kardus itu, di samping akuarium kura-kura.
Aku menyadari, bahwa sebenarnya hari itu sudah hari ketujuh, tepat 158 jam aku hidup tanpa ponsel. Kemarin, aku mungkin tidak bisa menyebutnya sebagai hidup. Aku telah tidur seperti hibernasi beruang kutub kekenyangan. Aku ingat sedikit, aku terbangun dua kali hanya untuk buang air kecil, lalu tidur lagi.
Aku selesai mandi ketika satu-persatu ingatanku kembali terbuka. Sambil mengenakan handuk, aku membuka paket, yang sepanjang ingatanku tidak pernah aku pesan. Aku menggunting beberapa sudut dari bungkusannya. Di dalamnya, ada sebuah ponsel Xiaomi Mi 10 dan secarik sticky note.
“Ucapkan Panjang Umur Mi Fans.” Lalu tulisan selanjutnya, “Terima kasih untuk Telur Dadar India dan kaus Spiderman yang anggap saja itu gambar vocalis band. Sekarang, seperti katamu, akan kurawat cintaku perlahan-perlahan.”
***
Editor: Ghufroni An’ars