Malam itu aku dibawa kembali oleh ingatan, untuk pulang ke Jakarta. Bukan sebagai rumah yang ramah, Jakarta lebih menyerupai sebuah kotak usang untuk memori yang selalu memaksaku kembali pulang.
Malam itu langit Jakarta tak semuram biasanya. Bintang-bintang bertebaran bagai kelopak daun jati yang jatuh meranggas di musim panas.
Jakarta tak seramai biasanya. Suara-suara klakson tak terdengar riuh seakan puasa bersuara.
Jalanan Kota Jakarta lengang. Tak padat seperti biasanya, seakan waktu menidurkan setiap orang yang terbiasa sibuk mencari uang.
Jakarta malam itu tampak berbeda entah mengapa.
Malam itu tepat tanggal 14 Mei, bertahun-tahun sudah sejak aku harus pergi meninggalkan Jakarta, sebuah kotak usang yang menyimpan memori pahitku.
Bertahun-tahun lalu, hari begitu suram. Penuh kobaran api dan teriakan bunuh! yang menghantui. Bagai tulah yang siap memamah setiap nyawa yang dianggap bersalah. Sembilan tahun sudah kenangan itu selalu membawaku kembali ke Jakarta.
Malam itu aku bersama puluhan orang lainnya duduk menghadap sebuah pohon yang berdiri kokoh di salah satu perempatan jalan utama Kota Jakarta. Entah apa nama pohon itu.
Pohon itu adalah pohon yang kami anggap dapat membingkai kenangan pahit kami. Pohon itu kami anggap sebagai saksi dari kekejaman yang terjadi di Jakarta. Pohon yang dulu dijadikan tempat menumpuk mayat-mayat korban.
Orang-orang mengenalnya sebagai pohon ingatan, tetapi aku lebih suka menyebutnya pohon kupu-kupu.
Pohon itu tak menyisakan daun barang sehelai. Pohon itu hidup tanpa daun. Memang sulit dipercaya, tapi begitulah kenyataannya.
“Pohon itu hidup dari tahun ke tahun karena disemai ribuan kupu-kupu yang terbang berkeliling di atasnya,” seru seorang perempuan yang duduk di sampingku.
Aku tak menjawab perkataannya. Aku tak menoleh pada perempuan di sampingku. Bahkan aku merasa tak perlu menghiraukannya. Aku hanyut bersama puluhan orang lainnya menunggu jam 00.00 untuk mengenang tragedi yang terjadi bertahun-tahun silam.
“Pohon itu hidup dari tahun ke tahun karena disemai ribuan kupu-kupu yang terbang mengeliling di atasnya,”seru perempuan di sebelahku lagi. Aku pun menengok ke arahnya. Telah dua kali ia mengucapkan hal yang sama.
“Dan membingkai setiap kenangan pahit dari masing-masing diri kita,” lanjutnya.
Lalu aku kembali memalingkan wajahku menghadap pohon gersang itu. Menanti tanggal 14 lewat dan ribuan kupu-kupu mulai menyemai pohon itu.
Selagi menunggu, ingatanku melancong kembali ke tahun-tahun muram itu. Kerusuhan menyebabkan Jakarta diselimuti hawa yang cekam. Ada api di mana-mana. Penjarahan dan pemerkosaan merajalela. Teriakan bunuh! untuk kami yang dianggap bersalah meraung tak keruan, sedang kami tak pernah tahu apa kesalahan yang mereka tuduhkan.
Bagi mereka, kami adalah hama pengganggu. Kami bukan pribumi. Artinya kami harus mati.
Aku masih ingat betul bagaimana aku dipaksa pergi meninggalkan Jakarta oleh Ayah. Bukan hanya Jakarta yang harus aku tinggalkan, tapi semua yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Namun, aku tak pernah bisa menipu diriku sendiri. Lupa bukanlah jalan keluar untuk setiap tragedi. Aku menolak lupa. Aku masih mengingat Ling. Kekasihku yang bernasib amat malang. Ling mati dengan robek di vaginanya.
Hari itu aku merasa tak sanggup mendengar berita kematian Ling, gadis lugu yang menawan tanpa riasan. Gadis yang kucintai seperti doa ibu yang selalu bermunajat untuk anak-anaknya. Aku dapat membayangkan bagaimana Ling meronta tak rela mati dengan perasaan ternoda dan menanggung dosa yang bukan miliknya.
Aku dapat mendengar jerit kesakitan Ling. Aku dapat mendengar suara tangisnya yang marah tak mau pasrah. Aku mengingat Ling dengan setiap jengkal kenangan manis dan kenangan pahit di ujung hidupnya. Aku mengingat Ling dengan segunduk penyesalan karena aku tak ada di sana untuk membelanya.
Nasib memang tak pernah berpihak pada yang lemah. Kerusuhan itu telah merenggut yang kumiliki di Jakarta dan hanya menyisakan ingatan muram yang selalu membawaku kembali pulang.
Semua membekas membeku keras dalam ingatanku dan pohon yang dirubungi rerimbun kupu-kupu itu membingkai setiap kenangan pahit dari masing-masing diri – aku dan puluhan orang lainnya.
***
“Pohon itu hidup dari tahun ke tahun karena disemai ribuan kupu-kupu yang terbang mengeliling di atasnya.”
Di hadapan pohon gersang itu, ia telah mengulang kalimatnya tiga kali.
“Dan kini pohon itu menjadi monumen yang membingkai setiap kenangan pahit dari masing-masing diri kita,” lanjutnya.
Aku merasa harus menimpali perempuan itu. “Jadi kenangan pahit itu yang membawamu ke sini?”
“Aku tak pernah datang ke sini, aku selalu ada di sini. Untuk mengenang pedih yang merenggut nyawaku,” jawabnya.
Suara itu samar kukenal.
Ketika aku memalingkan wajahku, lamat-lamat kupandangi wajahnya. Aku terhenyak, aku mengenalnya. Ling kekasihku duduk tepat di hadapanku.
Tragedi tak berhenti dengan melupakan peristiwa. Tragedi itu akan terus hidup bersama pohon ingatan dengan kupu-kupu yang menyemainya setiap tahun. Aku akan selalu kembali menemui Ling yang terbingkai di malam-malam Jakarta.
“Ling,“ bibirku bergetar saat mengucapkan namanya.
Ling menoleh dan memasang simpul kecil di bibirnya. Membuatku terpaku, mengabaikan pohon yang telah dihinggapi beberapa kupu-kupu bercahaya hijau kemilau. Aku begitu merindukan Ling.
Malam itu Ling yang duduk di sampingku, telah lenyap. Kuharap ia ikut menjadi kupu-kupu yang akan terbang mengeliling di atas pohon itu, lalu hinggap untuk menyemai pohonnya, melebur bersama udara Jakarta yang tak begitu gerah. Ia pecah menjadi serpihan-serpihan cahaya hijau. Ia berkerumun dengan ribuan kupu-kupu lainnya. Membingkai setiap kenangan pahit dari masing-masing diri yang duduk di sana.
“Aku mencintaimu,” bisikku.
***
Setiap tahun aku kembali ke kota ini, digiring oleh ingatan. Ling duduk di sebelahku seperti malam-malam di tahun-tahun yang lalu. Ling mengatakan hal yang sama. Ling memasang senyum simpul yang sama sebelum pecah menjadi serpihan-serpihan hijau kemilauan. Ling menjadi kenangan yang dibungkus oleh rerimbun kupu-kupu di tengah Jakarta. Ling menjadi bagian dari kupu-kupu yang membungkus kenangan pahit dari masing-masing diri kita.
“Kelak aku akan menjadi salah satu kupu-kupu itu. Aku akan terbang bersamamu, Ling. Menjaga setiap jengkal kenangan pahit milik kita. Aku mencintaimu.” Lalu aku menatap pohon itu. Darah merembes membasahi bajuku. Suara mendesing dan teriakan silih bertabrakan. Bau anyir dan mesiu bercampur. Jakarta semakin lembab. Ada yang terulang. Semua lesap seketika bersama sosok Ling yang merentangkan lengannya sambil melayang-layang.
***
Editor: Ghufroni An’ars