Dalam setiap pernikahan anak di bawah umur, selalu ada orangtua dan orang dewasa yang memaksa dan memanipulasi. Dalam setiap pernikahan anak, ada hak-hak anak yang terampas.
Dan terjadi lagi. Anak yang seharusnya menikmati waktunya untuk belajar dan bermain dipaksa untuk kawin. Kali ini seorang ustaz, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buru Selatan, Maluku, menikahkan anaknya yang masih SMP. Anak umur 15 tahun itu dinikahkan dengan seorang ustaz asal Tangerang Selatan, dengan alasan tak masuk akal: bapaknya mendapat petunjuk lewat mimpi.
Guru dan teman-teman sekolah si anak kemudian menggelar unjuk rasa memprotes pernikahan tersebut. Tapi protes tersebut tetap tak mengubah apa-apa. NK, anak 15 tahun itu tetap dinikahkan. Bahkan orangtuanya mengatakan, pernikahan itu atas keinginan NK sendiri.
Tahun 2008, salah satu pernikahan anak yang paling menghebohkan berlangsung antara Syekh Puji dan Lutfiana Ulfa yang saat itu baru berusia 12 tahun. Syekh Puji dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam proses peradilan terbukti Syekh Puji melakukan tipu muslihat dan kebohongan untuk menyetubuhi Lutfiana Ulfa. Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara.
Vonis pada Syekh Puji tampaknya sama sekali tak memberi efek jera. Pernikahan anak terus terjadi di berbagai daerah. Beberapa kasus menjadi diketahu banyak orang lalu menjadi viral. Tapi lebih banyak kasus yang terjadi diam-diam.
Pernikahan tidak hanya terjadi antara laki-laki dewasa dengan anak perempuan, tapi juga sesama anak-anak. Tahun 2018, di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan seorang anak berusia 14 tahun ST menikah dengan RN yang baru berusia 16 tahun.
Di Pulau Karampuang, Sulawesi Barat, pada Februari 2019, seorang anak IN yang baru berusia 15 tahun sudah melahirkan anak setelah dipaksa menikah. Bahkan, IN masih memegang boneka untuk bermain saat anaknya sedang tidur. IN sendiri mengaku menikah untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Selain itu ada tetangganya NN. Meski menikah di usia 19 tahun, tapi suaminya baru IR 15 tahun.
Menurut data Badan Pusat Statistik dilansir dari lokadata.com, dari total populasi muda-mudi menurut usia kawin pertama, pada 2019 terdapat 2,52% anak usia di bawah 16 tahun. Secara absolut jumlahnya berkurang, walaupun jumlahnya masih lebih dari 661 ribu anak. Penurunan juga terlihat pada kategori usia anak 16 hingga 18 tahun. Tepatnya 20,55% atau sekitar 5,3 juta anak.
Survei yang terakhir digelar pada Maret 2020 menunjukkan pernikahan usia di bawah 16 tahun sebanyak 2,16% (561 ribu) dan pada usia 16-18 tahun sebanyak 19,68% (5,1 juta anak).
Perampasan Hak Anak
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun. Sementara Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinikan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Terus terjadinya pernikahan anak di Indonesia menunjukkan bahwa aturan dalam undang-undang tetap tak memberi jaminan perlindungan pada anak-anak. Pertanyannya, apakah aturan itu hanya sebatas penggugur kewajiban pemerintah? Ataukah sikap orangtua yang tak bisa diganggu oleh aturan-aturan itu?
Umumnya, setiap pernikahan anak terjadi atas persetujuan orangtua. Orangtua yang memaksa anak-anak mereka sendiri dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan agama, alasan ekonomi, hingga alasan tak masuk akal seperti mendapat petunjuk lewat mimpi. Alasan ekonomi paling sering digunakan, karena banyak orangtua menganggap dengan menikah, tanggungan ekonomi anak bisa berpindah pada suami. Apalagi ketika si suami bisa turut menanggung keluarga besar.
Banyak orangtua yang tak paham atau sengaja tak mau memahami bahwa pernikahan usia anak-anak berdampak buruk bagi si anak. Dari sisi psikis, anak-anak belum matang dan belum siap menghadapi perubahan peran dalam rumah tangga. Setelah menikah, jiwa yang masih labil itu akan berhadapan dengan kehamilan, mengasuh anak, mengurus pekerjaan rumah tangga, dan memengaruhi pola asuh anak. Selain itu mereka juga harus menghadapi kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Dari sisi ekonomi, tingkat pendidikan anak yang masih terbilang rendah, membuat anak sulit untuk mendapat pekerjaan dan mampu memenuhi kebutuhan finansialnya secara mandiri. Sebelum menikah mereka tergantung sepenuhnya pada orangtua, setelah menikah mereka tergantung pada suami.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah soal kesehatan reproduksi. Kehamilan di usia remaja berpotensi meningkatkan resiko kesehatan pada wanita dan bayi, sebab tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan. Wanita yang sangat muda, masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jika hamil, maka pertumbuhan dan perkembangannya terganggu.
Pernikahan anak juga merampas hak-hak anak untuk mendapat pendidikan, untuk bermain, untuk mendapatkan masa depan yang layak. Anak-anak tidak bisa memilih dan mengambil keputusan. Dalam setiap pernikahan anak, selalu ada orangtua dan orang-orang dewasa yang memaksa, memanipulasi, mengintimidasi, membohongi.
Banyaknya praktik pernikahan anak dari tahun ke tahun yang belum menunjukkan penurunan signifikan, harus menjadi perhatian serius semua pihak. Dibutuhkan edukasi terhadap remaja atau orangtua, serta keseriusan pemerintah dalam menjalankan aturan yang telah ditetapkan, demi kelangsungan generasi masa depan.