Penulis

Berita Pernikahan Anak di Bawah Kuasa Umpan Klik

Amy Djafar

2 min read

Media-media di Indonesia masih mengalami krisis berita berperspektif anak. Bukannya ikut menyebarkan informasi tentang betapa bahayanya pernikahan anak, mereka masih saja menjadikan fenomena pernikahan anak sebatas alat pendulang klik untuk portal berita. Berita cenderung dibuat heboh, sementara jaminan perlindungan privasi anak tidak diberikan.

Tentu ini menjadi sebuah alarm. Jurnalis memiliki peran untuk membentuk opini masyarakat, serta mengubah perspektif mereka akan sebuah fenomena, dalam hal ini fenomena pernikahan anak.

Baru-baru ini, berita pernikahan anak di Wajo, Sulawesi Selatan, menjadi bukti bahwa media massa masih belum ramah ketika memberitakan anak. Sebelumnya, pernikahan anak ini sudah menghebohkan media sosial.

Di beberapa portal berita daring, wajah pasangan pengantin anak terpampang tanpa sensor. Masyarakat dapat melihat dengan jelas wajah mereka. Begitu pula dengan identitas dan alamat tempat tinggal mereka. Judul berita pun dibuat bombastis untuk memancing klik, seperti informasi jumlah mahar, usia pengantin, atau alasan pernikahan. Padahal, ketika dibaca, isi berita masih jauh dari upaya menambah wawasan publik akan bahaya pernikahan anak.

Pembuatan berita seharusnya tidak mengacu pada apa yang sedang viral di media sosial, dan lantas mengabaikan kaidah-kaidah penulisan jurnalistik. Jika demikian, apa bedanya media massa yang jelas-jelas memiliki undang-undang dibanding media sosial?

Pernikahan Anak

Undang-undang No 1/1974 tentang Perkawinan menyebutkan, pernikahan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah berumur 19 tahun. Namun, praktik pernikahan anak masih terus terjadi. Masih banyak anak yang menjalani pernikahan tanpa ada upaya pencegahan dari keluarganya.

Data Badan Pusat Statistik per 2020, dilansir dari katadata.co.id menyebutkan, provinsi dengan usia pernikahan dini perempuan (7-15 tahun) tertinggi, yakni Kalimantan Selatan 12,52%, Jawa Barat 11,48%, Jawa Timur 10,85%, Sulawesi Barat 10,5%, dan Kalimantan Tengah 9,85. Sementara Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke-10, sebanyak 8,48%.

Baca juga:

Melihat masih begitu tingginya pernikahan anak di Indonesia, media perlu mengambil peran untuk mencegah pernikahan anak dengan membuat berita yang berperspektif anak. Selain membuat berita sesuai fakta, mereka juga perlu memiliki perspektif agar tidak membahayakan individu yang mereka beritakan. Dengan berperspektif anak, jurnalis dapat memikirkan dan bertanggung jawab atas dampak psikis yang barang kali akan dirasakan sang anak akibat berita tersebut.

Cara media memberitakan pernikahan anak di Sulawesi Selatan yang membuat heboh itu pun sontak mengagetkan. Beberapa media daring arus utama, yang tentu saja telah terverifikasi oleh Dewan Pers, ternyata masih mengabaikan kode etik Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Padahal, jelas-jelas Dewan Pers telah mengatur batasan-batasan pemberitaan terkait anak.

Perlindungan Identitas Anak

Peraturan Dewan Pers No I/DP-II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak menyebutkan: “Identitas anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi yang memudahkan orang lain mengetahui anak, seperti nama, foto, gambar dan tidak menyebut keterangan pendukung.”

Keterangan pendukung dalam hal ini adalah ciri-ciri anak, alamat rumah, asal sekolah, nama keluarga, dan ciri-ciri lain yang membuat orang lain tahu soal anak ini. Privasi anak harus dilindungi karena mereka punya masa depan yang masih panjang. Selain itu, anak juga dikategorikan sebagai korban dan juga kelompok yang belum mampu melindungi haknya sendiri.

Media massa seharusnya tetap berpedoman pada kode etik jurnalistik Dewan Pers. Mereka juga tidak boleh tunduk pada kuasa umpan klik. Jurnalis memiliki tanggung jawab besar. Mereka harus sadar bahwa profesinya bisa mengubah keadaan. Dengan berperspektif anak, para jurnalis ikut serta melindungi mereka ketika membuat berita. Jika tidak, mereka justru berpotensi untuk ikut mendiskriminasi sang anak.

Bagaimana cara menyikapi persoalan tingginya pernikahan anak perlu dicantumkan dalam berita. Data-data penunjang informasi tentang bahaya pernikahan anak, serta dampak-dampaknya terhadap kesehatan anak juga perlu dicantumkan. Edukasi tentang bahaya pernikahan anak sangat diperlukan.

Eksploitasi identitas anak dalam berita sudah seharusnya dihentikan. Anak adalah aset masa depan. Mereka yang akan meneruskan kehidupan. Bagaimana jika saat masih usia anak, wajah mereka sudah terpampang di media-media yang seharusnya melindungi privasi mereka?

Jejak digital akan tercatat sepanjang masa. Berita-berita yang tidak berperspektif anak turut meninggalkan jejak hingga mereka dewasa. Dampak psikisnya bisa terjadi secara kontinu.

Sesungguhnya, anak belum memahami sepenuhnya makna pernikahan. Oleh karena itu, orang dewasa di sekitarnya harus menjadi penunjuk arah.

Di sinilah perlu pemahaman bersama bahwa semua pihak harus ikut serta melindungi masa depan anak. Pencegahan pernikahan anak sudah sepatutnya dilakukan dengan berbagai cara. Baik melalui sosialisasi langsung di lingkungan tempat tinggal, mau pun edukasi lewat media massa dan media sosial.

 

Editor: Prihandini N

Amy Djafar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email