Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Naturalisasi: Mentalitas Instan, Hasrat Euforia, dan Urgensi Sains Olahraga

Kukuh Basuki

3 min read

Semakin banyaknya pemain naturalisasi timnas Indonesia bukanlah indikasi bahwa dunia olahraga negeri ini sedang baik-baik saja. Terlepas dari rasa senang akan naiknya prestasi timnas kita, melonjaknya angka naturalisasi adalah wujud nyata dari hasrat ingin merasakan kemenangan yang menggebu-gebu di atas sistem olahraga nasional yang morat-marit.

Memang tidak ada aturan yang membatasi berapa pemain naturalisasi yang boleh bermain di tim nasional suatu negara. Namun perlu diingat, naturalisasi juga bukan solusi jitu untuk mencapai prestasi internasional dalam jangka panjang. Kalau tidak percaya, mari kita tilik negara-negara raksasa yang sudah langganan piala dunia seperti Brasil, Jerman, Italia, Spanyol, Prancis, Argentina, dan masih banyak lainnya. Apakah mereka bertabur pemain naturalisasi untuk meraih juara dunia? Tidak!

Baca juga:

Negara-negara yang menjuarai Piala Dunia sangat mengandalkan pemain-pemain produk dalam negeri sebagai motor utama tim. Adapun pemain naturalisasi hanya satu atau dua, atau bahkan tidak ada. Mereka begitu percaya diri dengan pemain-pemain dalam negeri.

Namun, kemudian muncul pertanyaan seperti: “Lha, itu Messi kan pemain Argentina produk Barcelona?” Ya. Tapi Messi bukanlah pemain naturalisasi. Messi adalah pemain berkewarganegaraan Argentina yang bersekolah sepak bola di Barcelona. Jika analoginya adalah seperti Messi dan pemain-pemain lainnya yang berlatih di luar negeri, Indonesia harus mendorong pemain-pemain lokal untuk bermain atau berlatih di luar negeri. Tentunya itu tidak mudah karena klub-klub luar negeri juga tidak mau menerima atlet secara serampangan. Ada standar-standar fisik dan teknik yang mumpuni untuk dapat berlatih dan bermain di sana. Pencapaian standar keterampilan dasar dan stamina yang mumpuni akan mudah dicapai jika sistem keolahragaan di Indonesia berjalan dengan baik dan sehat di berbagai jenjang usia.

Sayangnya liga sepak bola kita tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Kasus suap, tawuran suporter, dan tindakan tidak etis bernuansa kekerasan yang dilakukan para pemain terhadap wasit, hakim garis, ataupun atlet tim lawan menjadi pelengkap dari sistem pelatihan yang tidak terstandar, mengulang pola lama, dan jauh dari penelitian ilmiah keolahragaan terkini. Panitia pelaksana olahraga dan petugas keamanan juga diisi oleh orang-orang yang tidak terlalu paham standar mitigasi keselamatan massa, akibatnya banyak sekali bencana yang berujung pada cedera bahkan kematian karena penanganan di bawah standar kelayakan olahraga internasional.

Suporter kita juga belum bisa dikatakan baik-baik saja. Di satu sisi ada kelompok suporter yang sudah dewasa sosial dan emosinya, tapi di sisi lain juga tidak sedikit kelompok suporter yang mudah terprovokasi ketika timnya kalah. Peristiwa pelemparan bus pemain, tawuran antara suporter, dan pembakaran fasilitas umum masih sering kita jumpai di berita-berita olahraga. Hal ini menunjukkan bahwa suporter kita masih belum bisa menjunjung tinggi sportivitas dan etika di ruang publik.

Baca juga:

Tak hanya penonton yang datang ke lapangan, netizen kita yang menyaksikan sepak bola di layar kaca juga belum bisa mencitrakan diri sebagai penonton yang bijaksana. Hasrat haus kemenangan menggebu membuat beberapa dari mereka membuat ujaran rasis di media sosial ketika timnas kalah.

Masyarakat Saintifik Olahraga

Akhir-akhir ini mungkin kita menjumpai munculnya tim-tim sepak bola baru yang dibentuk oleh instansi ataupun artis yang punyai keinginan menjuarai kompetisi. Namun, sistem latihan mereka tak jauh berbeda dengan tim-tim lama. Sistem latihan mereka hanya mengulang sistem yang sudah ada, yaitu latihan berdasarkan pengalaman tanpa didasari riset-riset saintifik. Pelatih-pelatih hanya mengulang atau mengembangkan apa yang didapat dari pendahulunya tanpa riset atau melihat data.

Tak banyak (atau mungkin tidak ada) tim yang mempunyai komunitas akademik atau divisi penelitian dan pengembangan yang diisi oleh akademisi atau peneliti olahraga. Padahal dua pihak tersebut bisa memberikan evaluasi komprehensif dan terukur berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah terhadap proses latihan yang dijalankan. Mereka juga berperan membaca jurnal-jurnal ilmiah terbaru agar dapat menjadi masukan bagi jajaran tim pelatih dalam menyusun program latihan.

Namun seperti kita tahu, masyarakat kita dan pemerintah belum terlalu peduli dengan kapasitas sains dalam meningkatkan performa olahraga. Sedikitnya serapan sarjana ilmu keolahragaan dalam badan-badan keolahragaan dan klub menjadi indikatornya. Mereka dianggap hanya bisa berteori tapi tidak tahu praktiknya. Ini juga menjadi tantangan bagi sarjana-sarjana olaharaga di Indonesia untuk memberikan performa penelitian terbaiknya agar tidak disepelekan di gelanggang olahraga.

Baca juga:

Serba Instan

Daripada ribet-ribet menggunakan penelitian ilmiah, menghitung, dan menunggu prosesnya, cara-cara instan jauh lebih menggoda. Pemalsuan usia, pendataan pemain secara asal, dan segala macam kecurangan lainnya masih sering mewarnai kompetisi-kompetisi akar rumput kita. Hasrat euforia membuat kemenangan menjadi segala-galanya. Kompetisi yang awalnya diniatkan menjadi ruang pembibitan atlet malah menjadi ajang berburu gelar juara.

Pemerintah juga tidak terlalu serius dalam membehani sistem olahraga dalam negeri. Itu bisa dilihat dari lambannya gerak pemerintah dalam menangani konflik, polemik, dan kekacauan olahraga di negeri ini. Pemerintah seolah-olah lebih menginginkan Indonesia juara entah bagaimanapun caranya. Hasrat prestasi di atas segalanya.

Lebih parah lagi, tak jarang ajang olahraga dijadikan panggung panjat sosial dan cari muka pejabat-pejabat negara yang ingin dipandang sebagai aktor penting keolahragaan. Mereka biasanya tiba-tiba datang menyaksikan pertandingan sepak bola bahkan pernah masuk ke ruang ganti dan bertindak seolah pelatih atau motivator. Ketika timnas Indonesia mencapai prestasi tertentu, tak jarang bermunculan poster euforia kemenangan yang dijejali foto pejabat. Bahkan tak jarang foto pejabat lebih menonjol dibandingkan para pemain dan pelatih timnas.

Dengan fenomena-fenomena yang terjadi, kita akan mahfum ketika Shin Tae Yong lebih memprioritaskan pemain naturalisasi menjadi pemain inti timnas Indonesia. Jika tuntutannya adalah juara, tak ada pilihan lagi selain naturalisasi. Apa lagi yang bisa diharapkan pelatih timnas dari sistem dan kompetisi sepak bola yang setengah hati dan ketinggalan zaman?

 

Editor: Prihandini N

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email