Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Alpanya Sport Science dan Gerak Lambat Sepakbola Indonesia

Kukuh Basuki

3 min read

Seberapa populer sepakbola di Indonesia bisa dilihat dari seberapa seringnya olahraga ini ditonton, dimainkan, dan dibicarakan. Anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia akrab dengan nama-nama pemain sepakbola melebihi nama-nama pemain cabang olahraga lainnya. Kecintaan yang istimewa dengan sepakbola itulah yang membuat kita mempunyai harapan tinggi melihat timnas Indonesia satu level dengan tim-tim negara lain yang sering kita tonton di televisi. 

Namun, harapan besar itu seperti mimpi di siang bolong, setidaknya untuk saat ini. Jangankan bermain di level dunia, melawan negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand saja timnas kita sering terseok-seok. Itulah mengapa quote Dik Doank “Kapan Indonesia bisa masuk piala dunia?” dalam sebuah iklan minuman berenergi tampak menjadi pertanyaan abadi yang mewakili seluruh pencinta sepakbola Indonesia.

Gol Harry Souttar pada menit pertama perpanjangan waktu babak kedua pertandingan Indonesia vs Australia pada 28 Januari lalu menyempurnakan rentetan kekecewaan penggemar sepakbola tanah air. Dengan skor telak 4-0, Australia berhasil menghentikan Indonesia di babak kedua Piala Asia sekaligus menjadi mimpi buruk penggemar sepakbola Indonesia di awal tahun 2024 sebagaimana Thailand yang sering mengalahkan timnas Indonesia di piala AFF.

Jika kita mau menghibur diri, maka sukses Indonesia melaju ke babak 16 besar Piala Asia 2023 ini sudah merupakan prestasi tersendiri. Ya, itu layak diapresiasi karena sebelumnya Indonesia hanya mentok di babak penyisihan grup. Namun, kita juga perlu mengevaluasi faktor penyebab perkembangan prestasi sepakbola di Indonesia yang sebegitu lambatnya.

Timnas kita pernah bisa mengimbangi—bahkan mengungguli—negara-negara raksasa sepakbola yang kini jadi langganan peserta Piala Dunia. Pertemuan pertama melawan Jepang di Asian Games 1954, timnas Indonesia mengalahkan Jepang dengan skor 5-3. Bahkan pada Turnamen Merdeka tahun 1968 yang diselenggarakan di Malaysia, Indonesia menang dengan skor telak 7-0 melawan Negara Matahari Terbit tersebut.

Pada Kualifikasi Piala Dunia zona Asia tahun 1981, Indonesia juga pernah menang 1-0 melawan Australia. Di Olimpiade Melbourne 1956, Australia juga menjadi saksi betapa superiornya timnas Indonesia yang berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0. Sebagai catatan, Uni Soviet (sekarang Rusia) pada waktu itu adalah tim raksasa yang diperkuat beberapa mega bintangnya seperti striker muda dengan julukan “Pele dari Rusia”, Eduard Streltsov dan kiper terbaik dunia waktu itu, Lev Yashin.

Baca juga:

Sport Science

Membaca fakta-fakta di atas membuat kita bertanya-tanya. Mengapa dulu kita bisa menang, tapi sekarang tidak, ya? Mengapa tim yang dulu bisa timnas Indonesia kalahkan 7-0 kini bisa bolak-balik main di Piala Dunia tapi timnas Indonesia berkutat di Asia Tenggara saja, ya? Atau, pertanyaan yang fundamental, ada apa sebenarnya dengan sepakbola Indonesia saat ini?

Akan banyak jawaban spekulatif dari masyarakat untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Ada yang menyoroti tentang bobroknya liga bola Indonesia—liga utamanya saja sudah sebegitu buruknya apalagi jenjang liga di bawahnya. Ada yang mempersoalkan sarana dan prasarana olahraga yang semakin sedikit dan kualitasnya banyak yang jauh di bawah standar kelayakan. Ada juga yang menyoroti rendahnya gaji yang membuat kesejahteraan pemain dan pelatih belum tercukupi. Ada yang menyalahkan pelatih yang tidak memanggil si A atau si B, padahal permainannya sedang bagus, dan masih banyak lainnya jika saya mau dengan sabar menuliskan apa yang ramai diperbincangkan dalam obrolan sepakbola.

Namun, ada satu hal yang saya jarang dengar dari obrolan sepakbola Indonesia, yakni ilmu keolahragaan atau yang biasa dikenal dengan sport science. Negara-negara yang dulu pernah kita kalahkan di lapangan hijau boleh jadi adalah negara yang dengan serius memajukan olahraga dengan metode dan prinsip sains. Benarkah? Mari kita buktikan!

Menurut situs independen pemeringkatan kampus dunia Edurank, hanya ada sembilan kampus yang punya jurusan sport science di Indonesia. Dari data PDDikti, memang ada 19 kampus, tapi mungkin Edurank hanya mengambil yang terbaik atau setidaknya yang sesuai dengan standar yang digunakannya. Bandingkan dengan Jerman yang mempunyai 57 kampus dengan jurusan sport science, Australia 38 kampus, dan Spanyol 46 kampus. Di kawasan Asia, Cina punya 59 kampus, Korea Selatan 20 kampus, dan Jepang 42 kampus. 

Mengingat sistem kerja sains adalah saling mengisi, mengoreksi, dan melengkapi, kuantitas akademisi akan sangat memengaruhi perkembangan sport science di negara tersebut. Kuantitas saintis olahraga sangatlah memengaruhi perkembangan sport science di suatu negara. Ilmu keolahragaan pun berkembang seiring dengan terbitnya jurnal-jurnal baru yang memicu munculnya penelitian-penelitian lanjutan di bidang tersebut.

Jadi, bisa dibayangkan begitu melimpahnya jurnal hasil riset di negara Cina sehingga mereka mampu merajai perolehan medali olimpiade. Begitu juga Jerman yang berhasil menggondol Piala Dunia pada tahun 2014. 

Permasalahan kedua dalam tradisi ilmiah di bidang olahraga adalah lapangan pekerjaan. Ketika negara beserta lembaga kepengurusan olahraganya mulai menggaungkan sport science, apakah itu berarti mereka dengan serius menggunakan sport science dalam pengembangan olahraganya? Kita tidak tahu secara pasti.

Akan tetapi, ada beberapa indikator yang bisa kita bedah. Berapa banyak jumlah akademisi olahraga yang dilibatkan dalam kepengurusan organisasi olahraga? Apakah program latihan disusun berdasarkan jurnal-jurnal ilmiah olahraga terbaru? Dari anggaran 50,6 miliar rupiah untuk timnas Indonesia dari Kemenpora, ada berapa persen yang digunakan untuk membiayai riset-riset ilmiah di bidang sepakbola atau mendatangkan pakar dan tenaga ahli di bidang sport science?

Sembari mengira-ngira jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat fakta yang membuat kita sama-sama geleng-geleng kepala sambil menggumam, “Sebegitu awamnyakah komite olahraga kita terhadap sport science?”

Pada 24 Januari lalu, polisi berhasil menangkap Elwizan Aminuddin, dokter olahraga gadungan yang beberapa tahun menjadi dokter beberapa klub profesional liga Indonesia. Pengakuan paling mengejutkan dari mantan kondektur bus yang biasa disapa Dokter Amin ini adalah bahwa dia pernah hingga menangani timnas Indonesia. 

Rendahnya kemampuan mengidentifikasi antara saintis asli dan palsu adalah fakta yang terang benderang bahwa sains belum menjadi bagian penting dari olahraga Indonesia. Mereka mudah percaya dengan ijazah palsu tanpa melakukan cross check data ke lembaga pendidikan resmi nasional atau melacak rekam jejak akademiknya di Google Scholar.

Baca juga:

Urgensi Sains

Tanpa mengecilkan berbagai permasalahan-permasalahan lain yang mengelilinginya, ketertinggalan di bidang sport science ini harus segera dikejar. Olahraga bukan sekadar modal otot, keberanian, dan bakat alam. Saya kira, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi tidak akan pernah menjadi pemain terbaik dunia jika tidak ditopang oleh asupan nutrisi dan latihan yang didasari riset ilmiah.

Dengan sport science, maka permasalahan persepakbolaan Indonesia bisa segera diidentifikasi. Perekrutan atlet juga dilakukan secara transparan dan akuntabel, bukan hanya bermodalkan ketenaran dan pandangan subyektif. Sains akan memberikan data rinci tentang kapabilitas fisiologis pemain, kondisi psikologisnya, serta diet apa yang tepat baginya. Dengan data akurat itu, solusi yang diambil jajaran pengurus timnas Indonesia tidak hanya gonta-ganti pelatih tanpa adanya konsep yang jelas. 

Di saat semua negara berlomba-lomba mengembangkan sport science, akan sangat naif jika negara kita masih menggunakan cara-cara tambal sulam untuk berusaha mengejar ketertinggalannya di bidang olahraga, khususnya sepakbola. Mau mendatangkan Pep Guardiola sekalipun tidak akan membawa Indonesia melaju ke Piala Dunia jika sport science masih menjadi opsi yang masih bisa ditawar-tawar penerapannya. Melibatkan sport science dan segenap teknologi yang menyertainya dalam setiap aspek olahraga adalah urgensi yang harus segera digenapi.

 

Editor: Emma Amelia

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email