Peluit berbunyi panjang, pertanda pertandingan Timnas Indonesia dalam Penyisihan Grup Kualifikasi Piala Asia U-19 telah berakhir. Hari itu 12 Oktober 2013, tim besutan Indra Sjafri meraih kemenangan 3-2 atas tim Korea Selatan. Kehadiran 50 ribu pasang mata pendukung pada kemenangan itu membikin Stadion Gelora Bung Karno bergemuruh kencang. Demikian pula dengan saya, meskipun sekadar nonton bareng di kampung, antusiasme tak berkurang sedikitpun. Seperti itulah mungkin kondisi penggila sepakbola yang dibahasakan Iswandi Syahputra sebagai sebuah “pemujaan”.
Kerap kita dengar, sepakbola tidaklah berhenti pada siapa yang menang atau kalah, siapa yang mencetak gol atau terbobol gawangnya. Lebih dari itu, sepakbola memiliki komponen super besar yang bahkan bisa mengantarkan sebuah negara menuju hierarki tertinggi dalam segi kekuasaan politik, ekonomi, budaya, hingga memengaruhi lubuk terdalam diri manusia, keyakinan.
Dulu, saya sempat heran dengan kegembiraan yang ditunjukkan para suporter sepakbola kala tim jagoannya menang, termasuk saya sendiri. Saya tak sadar bahwa ekspresi dan gaya muncul ketika tim yang saya jagokan tidak terkalahkan. Saya seolah dikuasai kekuatan magis, menggantungkan segelintir harapan pada sebuah tim. Ketika tim itu meraih hasil, kegembiraan saya tak terbendung.
Keyakinan semacam itu bisa kita lihat dan rasakan sendiri. Sederhananya, kita dapat melihat manusia menunaikan ibadah, mereka yakin akan diberi keselamatan dan pahala. Entah suatu saat ia akan selamat dalam perjalanan hidupnya atau tidak, itu urusan lain. Yang terpenting, mereka yakin dan senang atas perbuatan ibadahnya.
Sejalan dengan itu, ada semacam keyakinan manusia terhadap klub bola. Kita akan bangga ketika klub ini menang dan mengekspresikan kesedihan ketika kalah. Kita terus memupuk keyakinan pada perjalanan sebuah klub. Padahal, kita tidak ikut mengatur strategi klub ini, tak juga memarahi pemain ketika blunder, malas latihan, dan sebagainya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa yakin pada suatu klub? Apa yang membuat seseorang menaruh keyakinannya? Jawabannya ada pada buku berjudul Pemuja Sepakbola (2016) karya Iswandi Syahputra. Melalui riset, pengamatan, dan wawancara, penulis memperoleh aneka jawaban perihal pemuja sepakbola. Buku tersebut menjelaskan bahwa, seseorang mempunyai alasan dan jalannya sendiri untuk meyakini sebuah klub. Lalu, mereka mengekspresikannya dengan cara masing-masing.
Kita dapat mengingat bagaimana fans Liverpool dan Everton membangun keyakinan lewat pertarungan identitas. Liverpool merupakan saudara sekaligus lawan Everton sejak 1962. Duel yang kerap disebut Derbi Merseyside ini, merupakan persoalan identitas dalam mendukung suatu klub. Masing-masing fans menganggap bahwa Liverpool dan Everton merupakan lawan, meskipun mereka berasal dari kota yang sama. Dari identitas tersebut, dua kubu fans memberikan komitmennya untuk klub dengan menunjukkan perbedaan gaya dan budaya.
“Setiap kali bertemu dengan warga Liverpool yang saya tanya mengenai sepakbola, pertanyaan awal mereka selalu sama, ‘Are you blue or red?’ Blue atau biru merujuk pada warna khas Everton dan red atau merah merujuk pada warna khas Liverpool.” (Hal. 11)
Dari situ, kita dapat memahami bahwa ada perbedaan ekspresi ketika seseorang menjadi suporter klub tertentu. Ekspresi ini dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang disepakati secara komunal. Mengapa ekspresinya tak sama? Sebab, ekspresi tersebut merupakan representasi kebudayaan yang ditentukan kelas sosial, politik, nilai, dan seterusnya.
Itulah mengapa Iswandi menganggap bahwa sepakbola tidak lagi melulu soal perayaan kemenangan atau ratapan kekalahan sebuah pertandingan, strategi atau formasi permainan, pergantian pelatih, dan kekerasan atau fanatisme sepakbola. Sepakbola adalah perlawanan subversi kebudayaan, agama populer bentukan media, dan stadion adalah centerum pemujaan.
Baca juga:
Media dan Fans Sepakbola
“Jika pornografi mulai dianggap lebih sensual dibandingkan seks, maka bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri?” — Zen RS
Kalimat Zen RS dalam buku Simulakra Sepakbola masih nyaring di benak saya. Pria kelahiran Cirebon itu mencurigai aspek-aspek yang berhubungan dengan pemujaan sepakbola, media spesifiknya. Bagi Zen, media menayangkan pertandingan sepakbola dengan begitu detail dan bernyawa. Hal ini membikin penonton berpikir seolah-olah ikut serta dalam tayangan tersebut.
Dalam bukunya, Iswandi cukup sejalan dengan cara Zen, melihat pengaruh media. Sayangnya, pada buku bersampul oranye ini, Iswandi terlalu banyak mencomot perspektif peneliti lain yang berbeda-beda. Iswandi memberikan perspektif peneliti lampau tentang pengaruh media terhadap perilaku masyarakat, padahal konteks penelitian tersebut sama sekali berbeda dengan kondisi media sepakbola saat ini. Bagian ini membuat perspektifnya cenderung sangat subjektif.
Berbeda dengan Iswandi, Zen yang mengamati media dengan dekat dan cukup relevan. Zen melihat hal-hal detail seperti atmosfer emosional penonton, teriakan pemain yang terlihat urat syarafnya, dan masih banyak lagi. Zen memang menggunakan teori simulacra ciptaan Baudrillard. Namun, ia memberi gambaran yang lebih dari cukup mengenai media dan penonton sepakbola.
Memang, sejak awal, buku Pemuja Sepakbola dibikin layaknya penelitian akademis. Maka, tak heran ketika terdapat bermacam perspektif di dalamnya. Di sini, Iswandi mencoba untuk objektif. Kekurangan perihal penggambaran media dan pengaruhnya terhadap penonton memang menjadi salah satu problem. Akan tetapi, buku ini tetap memberikan wawasan baru tentang kebudayaan, identitas, serta perlawanan yang memang benar adanya, sekaligus menjadi bukti bahwa sepakbola itu “tak sekadar di dalam lapangan”.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Khusyuknya Pemujaan Sepakbola”