Meski menyandang sebutan Kota Pendidikan, angka putus sekolah di Kota Malang cukup tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang, sepanjang tahun 2022 angka putus sekolah telah mencapai 40 ribu jiwa. Data tersebut dibagi menjadi tiga kelompok usia. Pada kelompok usia 7-15 tahun, Kota Malang mencatat 0% angka putus sekolah. Pada golongan 16-18 tahun, tercatat angka putus sekolah sebesar 17,77% (7.098 jiwa). Dan pada golongan kelompok usia 19-24, terjadi peningkatan persentase putus sekolah, yakni 41,72% (33.695 jiwa).
Padahal, untuk mendapatkan label Kota Pendidikan ini, Kota Malang tidak mendapatkanya secara cuma-cuma. Ada benang merah historis yang melengkapi perjalanan sejarah pendidikan kota ini. Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, Indonesia memiliki beberapa pusat pendidikan yang cukup mentereng. Pada zaman tersebut, pendidikan yang dianggap maju oleh pribumi dan orang Belanda berada di Kota Malang dan Yogyakarta. Dengan demikian, pada zaman dahulu mobilitas pelajar dan mahasiswa dominan terjadi di Kota Malang. Penyebutan Malang sebagai Kota Pendidikan juga tidak lepas dari banyaknya universitas dan sekolah yang ada di sana.
Baca juga:
Data BPS Kota Malang tersebut tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Pertama, mengapa angka putus sekolah cukup tinggi di Kota Pendidikan? Kedua, apakah fungsi pendidikan di Kota Malang tidak efektif? Ketiga, apakah pendidikan di Kota Malang menindas? Tiga hal tersebut perlu dikritisi bersama untuk mempertanyakan kembali eksistensi makna Kota Pendidikan yang disematkan kepada Kota Malang.
Kota Pendidikan untuk Mendidik
Penyematan Kota Malang sebagai Kota Pendidikan merupakan bentuk penilaian yang tidak cukup relevan. Hal ini disebabkan masih tingginya angka putus sekolah yang cukup menjadi aib kota ini. Kita dapat mengkritisi bersama bahwa tingginya angka putus sekolah ini menjadi tanda bahwa sistem pendidikan di Kota Malang ini tidaklah mendidik.
Pendidikan seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan keterampilan. Dengan begitu mereka bisa meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan juga punya peran untuk meningkatkan produktivitas ekonomi masyarakat. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku di Kota Malang. Pendidikan di sana masih belum memberikan ruang kepada masyarakat miskin. Penyebabnya tentu saja biaya pendidikan yang cukup mahal. Dengan angka putus sekolah yang cukup tinggi ini, Kota Malang bisa dikategorikan sebagai kota yang gagal mengayomi masyarakat miskin. Biaya pendidikan yang cukup tinggi membuat orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan, sehingga akan terjadi diskriminasi dalam akses ekonomi.
Pendidikan Efektif untuk Kota Pendidikan
Pendidikan berperan penting dalam mengembangkan nalar kritis masyarakat. Maka dari itu, sudah seharusnya pendidikan di Kota Malang dikritisi. Dalam permasalahan angka putus sekolah yang cukup tinggi ini, satu hal yang diperlukan adalah ruang dialog antara masyarakat dan pemerintah. Permasalahan ini tidak akan bisa selesai hanya dengan deskripsi belaka.
Pendidikan yang mendidik, yang merupakan eksistensialisme pendidikan, pernah dikemukakan Paulo Freire. Dalam pemikiran Freire, pendidikan berkaitan dengan subjek dan objek. Dalam argumennya, ia mengatakan bahwa pendidikan yang mendidik harus menumbuhkan sikap kritis pada the act knowledge. Sikap kritis pada the act knowledge menuntut pengetahuan bukan hanya tentang objek, melainkan juga kebutuhan akan subjek.
Dalam the act knowledge, pendidikan yang mendidik harus mengarahkan manusia untuk berani memberikan argumen tentang dirinya sendiri. Sedangkan subjek adalah pihak-pihak yang memandang angka putus sekolah tersebut. Pendidikan yang mendidik di Kota Malang harus mampu mengembangkan pola kritis masyarakat. Pendidikan harus mampu merefleksikan perkembangan yang ada.
Menurut Ali Harun Pamungkas, dalam Pigura Filsofis Pendidikan Pembebasan (membaca Ulang Sepenggal Pemikiran Paulo Freire) (2018), pendidikan dapat dinilai efektif jika memenuhi standar penumbuhan nalar kritis. Esensi utama pendidikan adalah ia mampu memberikan ruang kritis yang tidak terbatas atas apa yang ada. Standar tersebut antara lain:
Pertama, refleksi diri. Pendidikan membutuhkan refleksi dari manusia melalui keresahan dari diri mereka sendiri. Dalam konteks pendidikan di Kota Malang, tingginya angka putus sekolah patut dicurigai. Bisa jadi ada sebuah kekosongan yang membuat masyarakat memutuskan untuk putus sekolah.
Baca juga:
Kedua, kritis. Kritis adalah orientasi utama yang mengaitkan pentingnya pendidikan dengan lingkungan sekitarnya. Pendidikan penting sebagai jembatan untuk menumbuhkan rasa kepedulian antara diri sendiri dan masyarakat sekitar. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang peduli dengan lingkungan. Dengan tingginya angka putus sekolah, maka sistem pendidikan perlu menyasar dan memberikan dampak kepada anak putus sekolah tersebut. Pendidikan yang menyasar kepada anak putus sekolah bukan hanya bergerak pada ekonomi saja, tetapi juga dibutuhkan untuk menumbuhkan nalar kritis.
Ketiga, pendidikan yang mampu membantu peserta didik menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan, melatih nalar kritis, dan menjadi referensi tindakan secara berkelanjutan. Syarat ketiga ini merupakan bentuk evaluasi yang efektif setelah syarat pertama dan kedua terlaksana. Untuk menggapai pendidikan yang mampu membantu kehidupan, pendidikan tidak boleh hanya terbatas pada kurikulum. Kurikulum saat ini tak boleh dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar belaka. Pendidikan yang berfungsi sebagai pabrik tenaga kerja akan mematikan nalar kritis pelajar.
Pendidikan efektif di Kota Malang harus meninggalkan pendidikan gaya bank. Pendidikan gaya bank merupakan hasil refleksi diri Paulo Freire pada kondisi sekitarnya. Pendidikan gaya bank meletakkan dasar utama pemahaman bagaikan orang yang menyetorkan uang ke bank. Dalam gaya bank ini, pendidik memberikan berbagai ilmu dan peserta didik harus menerimanya saja. Seharusnya pendidikan gaya bank di Kota Pendidikan ini mulai ditinggalkan.
Dalam hal ini, Kota Malang haruslah mampu menciptakan beragam pemikir besar yang berdampak pada kondisi sekitarnya. Kota Malang juga harus memberikan ruang-ruang akademis di masyarakat tanpa adanya doktrin dari sebuah buku. Pendidikan di Kota Pendidikan ini harus mampu memberikan ruang untuk menumbuhkan peradaban melalui nalar kritis. Selain itu, jangan sampai Kota Malang hanya dipandang sebagai pabrik penghasil tenaga kerja.
Editor: Prihandini N