Membaca buku ini, aku jadi berpikiran, buku mengenai suatu eksperimen baiknya berbentuk sekuel agar pembahasannya sepaket mencakup paradigma dan praksisnya. Lebih-lebih, eksperimen yang melibatkan lembaga pendidikan yang merupakan bidang esensial di masyarakat.
Membahas lembaga pendidikan atau sekolah tak bisa hanya mengandalkan AD/ART atau semacamnya, lalu dituangkan (baca: dipromosikan) begitu saja lewat selembar brosur untuk mengenalkan “layanan” pendidikan. Sekolah mestinya mampu memberikan potret yang mencerahkan bagi calon peserta didik maupun masyarakat umum tentang kebutuhan apa yang penting dipenuhi dan menyangkut kemaslahatan, bukan sekadar pencitraan fisik yang telah terkondisikan.
Bentuk tersebut juga merupakan pertanggungjawaban yang membedakan sekolah dengan lembaga lain. Sekolah Apa Ini? merupakan contoh buku tentang lembaga pendidikan yang ideal menurut saya. Isinya tidak cuma cherry picking hal-hal yang baik dan kelihatannya indah saja. Sejak awal, buku ini justru memberikan gambaran soal kekurangan dan hambatan yang dialami oleh lembaga pendidikan yang diulas. Namun, penulisnya menjelaskan bahwa kekurangan dan hambatan tersebut bukanlah suatu kesalahan dalam proses penyelenggaraan pendidikan Sanggar—bukan sekolah—Anak Alam atau SALAM.
Sekolah Apa Ini? adalah buku praksis dari buku paradigma mengenai komunitas belajar yang memerdekaan yang ditulis Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja. Membaca kedua buku tersebut tidak perlu urut; boleh mendahulukan praksisnya, tak dilarang pula untuk mulai baca dari paradigmanya.
Meskipun begitu, mendahulukan membaca buku Sekolah Apa Ini? yang ditulis oleh fasilitator pendidikan di SALAM akan memberikan gambaran utuh mulai dari proses awal pendirian, perpindahan, pengembangan, hambatan, terobosan, hingga cerita-cerita balada lain yang seru dan mencerahkan. Selanjutnya, kita akan dibuat kepo dengan motivasi para pendiri “sekolah” aneh ini.
Eksperimentasi gagasan sekolah yang memerdekaan semacam SALAM berangkat dari kegelisahan terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum atau konvensional yang menjalankan pendidikan yang oleh Toto Rahardjo disebut “tidak berakar pada kenyataan”. Toto Rahardjo mengambil contoh penerapan kedisiplinan di sekolah yang menurutnya justru menjauhkan lembaga pendidikan dari kependidikannya sendiri, bahkan malah lebih mirip lembaga hukum.
Aku menaruh minat pada visi yang coba ditawarkan komunitas belajar SALAM, yaitu mendidik anak-anak yang berjiwa kepengasuhan. Kepengasuhan berarti mampu menyelenggarakan hidup mereka sendiri, lalu menyeimbangkannya dengan kepentingan orang lain.
Buku ini memang mempromosikan SALAM, tetapi fokusnya bukan agar orang-orang tertarik menyekolahkan anak-anak mereka di SALAM. Promosi yang disisipkan dalam buku ini justru bertujuan mendorong masyarakat agar mewujudkan SALAM versi masing-masing di lingkungan masing-masing pula. Sebab, visi utama pendidikan tidak berhenti di seputar lembaga itu sendiri, tapi lebih luas, yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang baik. Baik di sini berarti adil dan berisikan orang-orang yang saling berpengasuhan—atau emansipatoris.
Aku mengkhatamkan buku ini tidak sendirian, tapi bersama-sama dengan metode reading group yang kami namakan Semaian Buku. Untuk informasi, aku tergabung dalam sebuah komunitas literasi di Pare, Kediri yang bernama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Dul Wahab School. Pemilihan buku Sekolah Apa Ini? bukan sekadar karena pengin dan lucu saja—meski dua unsur itu tetap dalam pertimbangan karena, ya, lucu itu perlu.
Sebagai kelompok yang baru saja berdiri, kami memerlukan asupan bacaan yang mampu memperluas pandangan mengenai pendidikan. Buku ini merepresentasikan agenda kami. Ia memberikan gambaran yang kontras dengan lembaga pendidikan atau sekolah konvensional yang begitu bermasalah.
Proses memahami kontras ini perlu untuk melawan pandangan terhadap pendidikan yang bias menggunakan pandangan terhadap pendidikan yang lebih mengakar. Sebab, pendidikan merupakan lini esensial masyarakat yang berfungsi untuk “mereproduksi” anggota-anggotanya—terutama anak-anak—agar kehidupan terus berlangsung.
Memangnya, kehidupan macam apa yang hendak dicapai? Jawaban atas pertanyaan ini perlu diurai dan dikenali untuk memantik berbagai gambaran beserta pilihan “reproduksi”-nya. Ternyata, terdapat berbagai kondisi kehidupan yang tak terbatas dalam lingkup formal atau versi pemerintah—lebih-lebih hanya sekadar menjadikan lembaga pendidikan sebagai mata pencaharian atau untuk meraup keuntungan semata.
Pihak-pihak yang berkesadaran di isu pendidikan akan memiliki bayangan eksperimentasi atau aktivitas yang lebih sesuai. Pemerintah sendiri pernah menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan membutuhkan keterlibatan swasta. Dengan kata lain, dalam menyelenggarakan pendidikan, pemerintah tak bisa berdiri sendiri. Pemerintah mengharapkan andil berbagai pihak. Dari sinilah pendidikan alternatif akhirnya mendapatkan ekosistemnya, lalu banyak muncul dalam berbagai macam bentuk dengan berbagai jalur maupun tingkatan. Di Pare dan sekitarnya saja ada banyak sekali gerakan pendidikan semacam itu, cakupannya pun cukup masif.
Buku ini kami khatamkan dalam lima kali kegiatan Semaian Buku. Membaca buku ini bersama-sama begitu seru, asyik, dan lucu. Kami coba mengartikulasikan isinya secara jenaka, lalu mendiskusikannya secara reflektif dalam berbagai perspektif.
Putaran Pertama
Namanya juga buku praksis, bab awal buku ini memberi banyak sekali suntikan semangat untuk melakukan hal serupa. Mendirikan lembaga pendidikan sesuai visi adalah sebuah pilihan hidup. Wahya dan kawan-kawan, termasuk Romo Mangun di dalamnya, menghadapi banyak hambatan, tapi berhasil bangun lagi, terkena hambatan lagi, lalu bangkit kembali.
Perjalanan Wahya dan kawan-kawan mendirikan lembaga pendidikan dimulai sejak 1988. Awalnya, lembaga ini bergerak tanpa nama dan diselenggarakan di alam terbuka, alih-alih di dalam kelas. Subbab Kesalahpahaman memberikan pantikan menarik dengan menjelaskan konsep “mengakar pada kenyataan” yang ditawarkan oleh SALAM. Sebagai lembaga pendidikan, cikal-bakal SALAM ini turut menghadapi masalah-masalah serius di desa hingga berujung pada serangan fisik terhadap pengelolanya.
Sikap kritis warga terhadap pengijon, rentenir, dan berbagai praktik korup membuat Wahya diisukan membuat gerakan subversif. Suatu waktu, datang beberapa orang tidak dikenal menyerbu rumah dan mengobrak-abrik perpustakaan. Tidak lama berselang, Wahya dipanggil dan diinterogasi oleh aparat polisi, tentara dan kecamatan di markas Koramil. (Hal. 12)
Setiap gerakan yang bervisi kuat harus memiliki kesadaran akan adanya resiko untuk bisa menghadapi dan mengelolanya. Wahya mengatakan,
Kita tidak perlu takut, karena kita jujur dan bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan. Kebenaran pasti akan menang. (Hal. 12)
Pada 1996, SALAM mulai mempraktikkan tujuan awal mereka untuk tidak hanya menjadi menara gading, tapi berbaur dengan kehidupan nyata masyarakat beserta struktur-strukturnya. Begitulah sekolah kehidupan idealnya diselenggarakan. Wahya bahkan sempat dipercaya menjadi ketua Rukun Tetangga (RT) untuk mengorganisasi kebutuhan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Selain itu, bersama kawan-kawan, Wahya melakukan pendampingan remaja, serta pembukaan kelompok bermain dan taman kanak-kanak. Ia akhirnya menemukan empat pilar pendidikan yang menyangga SALAM: pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial-budaya.
Di putaran pertama itu, SALAM juga menemukan istilah “daur belajar” sebagai proses pembelajarannya. Daur belajar mengajak anak untuk bisa urut dalam proses belajarnya, yaitu belajar dari peristiwa yang distrukturkan. Urutan tersebut dimulai dari mengenal hingga memahami asal-usul dan sebab-akibat. Semuanya terstruktur sejak dari proses pengumpulan data dan fakta sampai dengan penarikan kesimpulan.
Inklusif
SALAM adalah sekolah aneh yang tidak menegakkan aturan, melainkan kesepakatan. Soal seragam, SALAM bahkan menolaknya. Ketidakseragaman (baca: keberagaman) justru merupakan aset dan aset tersebut merupakan modal awal yang menguntungkan bagi anak. Anak-anak di sana menyukainya.
SALAM adalah komunitas belajar. Ia terbuka tanpa embel-embel slogan inklusif karena begitulah sewajarnya setiap sekolah; bukan malah mengkhususkan diri atau bahkan menjadikan inklusivitas “nilai plus” untuk meraih gelar sekolah unggulan yang ujung-ujungnya perkara uang. Sebagai komunitas belajar yang sederhana, SALAM justru telah melampaui sekolah unggulan dengan menormalisasi inklusivitas. SALAM bodo amat soal siapa “peserta didik” mereka, yang penting mau dan senang belajar.
Sekolah Apa Ini? menawarkan gambaran sekolah alternatif yang diselenggarakan tanpa “pelajaran” dan tanpa “guru” layaknya sekolah konvensional. Alih-alih “pelajaran” dan “guru”, pembelajaran di sekolah alternatif ini lebih mementingkan adanya riset dan fasilitator. Riset mampu menghubungkan berbagai disiplin dan menjadikan semua ilmu atau mata pelajaran memiliki kegunaan yang konkret atau otentik bagi pesertanya. Sementara itu, fasilitator adalah pemandu pembelajaran yang mengajak peserta untuk belajar secara otentik, bukan sekadar menghafal tindak-tanduk atau tutur katanya secara saklek. Fasilitator membawa peserta komunitas belajar untuk menemui “guru” dari kehidupan nyata di masyarakat.
Kecakapan hidup atau life skill juga menjadi orientasi utama dalam proses pembelajaran di SALAM; biasanya diajarkan melalui praktik melakukan pekerjaan rumah seperti memasak. Alhasil, laki-laki dan perempuan akan terbiasa menyelenggarakan kehidupannya sendiri kelak dan tak menganggap kerja-kerja domestik sebagai kerja kelas dua.
Setelah memasak, peserta didik makan bersama dan berbagi makanan masakan mereka. Peserta didik diajak untuk saling berkunjung ke rumah satu sama lain agar lebih dekat dan tahu kehidupan keluarga teman-temannya. Ini terobosan menarik untuk mengintegrasikan pendidikan di luar dan di dalam rumah. Di sini, orangtua peserta didik juga jadi dilibatkan dalam proses pembelajaran.
Kalau pada umumnya belajar dilakukan dalam kondisi terbebas dari hal yang mengganggu fokus seperti bermain, SALAM justru menganggap kegiatan bermain dan permainan sebagai hal wajar yang dibutuhkan oleh anak. Perkembangan anak terstimulasi dengan bermain. Pengenalan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan diperoleh dari bermain, termasuk juga eksplorasi kreativitas. Bermain adalah bagian dari proses belajar yang mampu mengembangkan aspek kognitif, fisik, sosial, dan emosi anak.
SALAM menyadari tujuan belajar untuk anak secara keseluruhan adalah mencangkup olah pikir, olah raga, olah hati, olah rasa, dan olah karsa. Sumber daya yang ada digunakan sebaik mungkin untuk tujuan itu. Mulai dari fasilitas yang ada di SALAM, di tengah masyarakat sekitar, hingga keahlian yang dimiliki orangtua anak didik SALAM.
Hakikat pendidikan telah lama tersandera oleh istilah investasi masa depan dan semakin jauh dari akar. Andai ribuan para lulusan lembaga pendidikan mengemban semangat seperti yang SALAM miliki, perubahan ke arah baik tak pelak sebentar lagi terjadi.
Editor: Emma Amelia