Para pencinta film, terutama film-film animasi, barangkali sudah tak asing dengan Studio Ghibli. Sebuah studio animasi veteran sekaligus terbesar di Jepang, yang didirikan pada 1985.
Di tengah hegemoni studio animasi komersial seperti Walt Disney dengan kecanggihan 3D-nya, studio yang masih berkiblat pada gaya animasi konvensional seperti Ghibli tetap dilirik dan banyak dibicarakan, bahkan dalam taraf internasional. Terutama ketika aktris Cameron Diaz melontarkan kalimat, “And the Oscar goes to… Spirited Away, Hayao Miyazaki!” saat membacakan amplop berisi pemenang kategori Best Animated Feature pada ajang bergengsi Academy Awards 2003.
Momentum itu tak hanya menjadi tonggak sejarah bagi dunia animasi Jepang, tetapi juga menjadi sejarah animasi level internasional.
Sprited Away karya produksi Studio Ghibli menjadi film animasi berbahasa asing pertama, dan masih satu-satunya hinga saat ini, yang memenangkan Piala Oscar pada kategori tersebut.
Sedari dulu, Studio Ghibli tak pernah mengklaim film-filmnya sebagai “tontonan keluarga” dan rasa-rasanya tak pernah pula melabeli filmnya sebagai medium hiburan—mungkin karena lebih cocok dijadikan medium berpikir.
Lewat visual serupa lukisan estetis, narasi cerita khas Ghibli banyak memuat sense of nostalgia yang mungkin sulit kita jumpai dalam tipikal film produksi Disney.
Pahlawan Perempuan dalam Semesta Ghibli
Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar animasi Studio Ghibli memudarkan stereotipe gender dengan memberi representasi bagus terhadap kaum perempuan. Tokoh utama dalam film-film Ghibli pun cenderung didominasi oleh karakter perempuan muda. Dalam dunia animasi, karakter semacam ini disebut dengan shojo—seorang gadis dalam rentang usia muda, tetapi belum menjadi wanita dewasa.
Para shojo dalam semesta Ghibli nyaris tak pernah menjadi karakter pasif dan tunduk pada narasi romansa seperti yang sering kita jumpai dalam sederetan film Disney. Meskipun beberapa di antaranya berstatus sebagai seorang putri kerajaan, mereka tetap tak terjebak dalam skema dongeng klise. Putri Mononoke dalam Princess Mononoke (1997) misalnya, yang dibesarkan oleh serigala dan tak tinggal di istana.
Pamela Gossin, seorang profesor dari Universitas Texas, dalam penelitiannya yang diberi tajuk Animated Nature: Aesthetics, Ethics, and Empathy in Miyazaki Hayao’s Ecophilosophy mengatakan bahwa Studio Ghibli juga berusaha memotret keindahan dengan menghadirkan bentuk rutinitas kehidupan para karakternya.
Misalnya, Satsuki dalam My Neighbor Totoro (1988) yang sering memasak dan menyiapkan bekal untuk adik dan ayahnya, atau Sophie dalam Howl’s Moving Castle (2004) yang hobi bersih-bersih seperti menyapu dan mengepel meski telah dikutuk menjadi seorang wanita tua. Istimewanya, semua adegan itu digambarkan dengan detail kecil yang indah.
Belum lagi, alih-alih memilih konsep happily ever after ala dongeng Cinderella atau Beauty and the Beast, narasi film-film Ghibli pun cenderung menawarkan sesuatu yang lebih samar dan tak jarang meresahkan.
Lihatlah bagaimana Chihiro dalam Spirited Away (2001) tersesat sendirian di dunia roh dengan orangtua serakah yang dikutuk jadi babi, atau petualangan Ponyo (2008) yang membuatnya harus bertaruh hidup dan mati di tengah tsunami yang mengerikan.
Tangan Dingin Hayao Miyazaki
Membicarakan Studio Ghibli artinya kita membicarakan Hayao Miyazaki. Miyazaki adalah seorang auteur yang tidak akrab dengan perangkat komputer, bahkan ia menciptakan ratusan bingkai gambar hanya dengan bermodal pensil di tangannya. Bersama kedua rekannya, Isao Takahata dan Toshio Suzuki, ia sukses membangun sebuah studio animasi yang kelak begitu legendaris sampai saat ini.
Film-film Miyazaki ibarat sebuah eskapisme. Sang animator mengajak penontonnya berkelana ke dunia fantasi yang secara subtil menyoroti beraneka ragam masalah era modernitas.
Meski filmnya ditujukan khusus bagi anak remaja, ia tetap menyuguhkan cerita visual yang kompleks seputar relasi manusia dengan sekitarnya. Dunia baru yang ia ciptakan mungkin terkesan artifisial, tetapi kita mafhum bahwa nilai yang ia tawarkan adalah realita.
Apabila ada rumor yang menyebutkan bahwa Disney tidak mempengaruhi karya Miyazaki, maka itu benar adanya. Bahkan dalam suatu sesi kuliah pada tahun 1988, Miyazaki pernah mengatakan bahwasanya ia membenci film-film Disney dan sentimentalitasnya.
“Bagiku, mereka tidak menunjukkan apa-apa kecuali menghina penonton,” tegas Miyazaki.
Meski demikian, kita tak harus ikut-ikutan membenci Disney untuk mulai menikmati estetika dalam film-film Ghibli. Sebab, kedua studio animasi besar itu pun tak pernah menyatakan perang antara satu sama lain.
John Lasseter, sutradara Toy Story dan A Bug’s Life, bahkan pernah secara pribadi mendorong Spirited Away—yang mewakili seluruh etos Ghibli—untuk dirilis Walt Disney sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap Miyazaki.
Jadi kesimpulannya, biarlah mereka—baik Disney maupun Studio Ghibli—membangun menaranya sendiri. Tinggal pilihan kita sebagai penonton lebih bijak untuk mendongak ke arah yang mana, meski kadang kala kita merasa terlalu Ghibli untuk mereka yang Disney, atau juga sebaliknya.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Penulisannya Apik sekali! Jadi ikut merasakan perbandingan antara disney dan Ghiblii. Sejujurnya aku baru pernah nonton film dari Ghibli sekali, yang Howls Moving Castle.. Dan setelah didalami ternyata sangat deep yah film nya…