Ibarat kereta api, pendidikan di Indonesia ini kereta api tanpa stasiun. Maunya berjalan terus dan sulit diberhentikan. Tidak punya rasa capai, mirip anak kecil baru bisa berjalan. Sempat ditawari berhenti, tetap saja tidak mau. Dipaksa pun tetap tidak menggubris. Memang rada keras kepala. Mau dikata fanatik pun bukan lantaran tidak ada landasan prinsip di sepanjang rel kereta api pendidikan Indonesia.
Kereta yang tidak pernah berhenti tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kerusakan pada mesinnya. Setidaknya, kereta mesti berhenti sesekali agar teknisi bisa mengecek kondisi mesin. Servis mesin adalah hal yang substansial. Jika ada satu saja komponen rusak yang tidak segera diperbaiki, maka kerusakannya bisa menjalar ke komponen lainnya. Manusia saja bila bekerja terus pasti capai. Eh, saya lupa, ini bukan manusia, melainkan mesin.
Agaknya, wajar saja saya lupa. Sekarang ini, sulit menentukan mana manusia, mana mesin. Antara mesin dan manusia tidak ada ukuran dan batasan yang jelas. Dalam pendidikan Indonesia, banyak yang sudah capai-capai berusaha menjadi manusia, tetapi justru dikerdilkan menjadi seperti mesin.
Kebalikannya, dalam pendidikan Indonesia antropomorfisme juga terjadi. Pendidikan justru memanusiakan objek selain manusia, lebih daripada manusia itu sendiri. Manusia asli dikesampingkan, manusia imajiner diutamakan. Manusia imajiner ini punya wujud materi, tetapi tak berperasaan.
Sepanjang waktu kereta itu terus berjalan, berproses, dan rodanya berputar. Sama seperti kehidupan: tidak boleh berhenti. Persis seperti doktrin para motivator: yang abadi hanyalah perubahan. Yang berhenti divonis tidak akan mengalami perubahan. Makanya, para pebisnis disuruh terus berjalan. Tujuannya sederhana, selama ia menjalankan usahanya, bila mengalami kerugian, mungkin dengan berjalan, ia menemukan titik untung. Namun, sama sekali ia tidak tahu di titik mana ia berhasil.
Saya tidak perlu menghitung berapa kali perubahan terjadi dalam sistem pendidikan. Inti pendidikan Indonesia adalah perubahan terus, tanpa tahu di titik mana ia menemukan jawaban. Padahal, mencari jawaban dimulai dari titik mana ia melangkah. Kemudian, barulah kita bisa menemukan jawabannya di titik selanjutnya. Ibarat orang mau meloncat, tapi sama sekali tidak punya titik loncatan, maka ia hanya meloncat-loncat.
Perubahan ditentukan dengan konteks zaman yang ada. Lebih luas lagi, dengan menyesuaikan seperti apa tantangan untuk Indonesia ke depan. Masalahnya, masing-masing orang punya pemaknaan tentang konteks zaman, entah itu dilandasi kejernihan atau kepentingan. Makanya, itu yang memunculkan hobi mengubah konsep tanpa pernah dibentuk satu konsep utuh yang percaya diri. Kadang juga sering minder.
Aktor atau Sutradara?
Dilihat dari urgensinya, pendidikan bisa dikatakan sebagai benteng awal bagi para penerus nanti. Ia adalah kawah panas berisi para pemuda yang mengepul. Mereka sengaja diprogram dan dipersiapkan sebagai insan-insan unggul bangsa yang mampu bertarung melawan zaman. Hati-hati, sekali dilibas, mereka bisa habis. Makanya, negara maju atau tidaknya dilihat dari bagaimana pendidikan di sana.
Tinggal menentukan benteng apa yang akan dibangun. Jenis dan kerakteristik seperti apa yang akan dicanangkan. Besar atau kecil, pendek atau tinggi, besar kokoh atau kecil kokoh, tinggi kokoh atau pendek kokoh. Harus punya perencanaan.
Terminologi awal yang perlu dipikirkan: lebih penting mana, benteng atau tukang yang membangun? Umumnya, ketika orang akan membuat rumah, ia berpikir seperti apa desain rumahnya dulu. Setelah itu, barulah siapa yang membangun.
Dalam memilih tukang itu pun perlu pertimbangan panjang, tidak sembarangan. Tukangnya dari mana? Ada daerah-daerah yang memang penduduknya ahli di bidang pertukangan. Tergantung seperti apa acuan yang digunakan: pengalaman atau unsur kedaerahannya.
Yang namanya tukang, antara tukang satu dengan tukang lain memiliki persamaan, yakni sama-sama beridentitas sebagai tukang. Pembedanya ada pada teknik serta pengetahuan mengenai dunia pertukangan. Pengetahuan itu kebanyakan diperoleh dari pengalaman dan jam terbang si tukang. Lantas, apakah pengetahuan itu bisa diukur dengan menghitung seberapa banyak bangunan yang para tukang bangun? Bisa saja, tetapi dari semua bangunan itu, apakah dapat dikatakan baik juga? Belum tentu.
Jadi, mencari tukang kalau bisa yang berpengalaman dan kerjanya bagus. Sebab, banyak orang berpengalaman, tapi tidak bisa bekerja. Bisanya cuma cari untung. Sekarang, banyak orang bekerja tidak sesuai kemampuannya. Buktinya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pernah mengatakan bahwa 80% mahasiswa Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan kuliah mereka. Berarti, narasi implementasi pendidikan untuk industri juga mengalami kegagalan. Lalu, apa yang bisa dikatakan berhasil dari pendidikan kita?
Jika dirunut terus, perantinya sangat detail; sedetail membangun dunia pendidikan. Membangun pendidikan, terkhusus pada lingkup persekolahan, mengerucut pada manajemen tata kelola di dalamnya, lebih mengerucut lagi pada sektor pengelolaan pembelajaran di kelas. Semua aspek saling terhubung, tetapi perlu ditangani dalam tingkat-tingkat. Lantas, siapa yang berperan jadi tukang dalam dunia pendidikan?
Guru dan murid sama-sama punya peran penting dalam unsur pembangunan. Mereka bisa jadi tukang, bisa juga jadi benteng yang akan dipersiapkan. Mengapa? Pada setiap perubahan, mereka bertindak sebagai aktor, bukan sutradara yang berperan penting membuat arus perubahan sehingga mereka harus siap di segala medan.
Hanya saja, sebagai kereta, pendidikan beserta aktor-aktor di dalamnya perlu untuk berhenti sesaat. Mereka pun harus punya tujuan besar yang namanya stasiun pemberhentian. Kalaupun tidak punya, paling tidak dalam perjalanan, mereka punya capaian kecil-kecil yang terukur dan tertata. Jangan sampai hanya melaju kencang, tetapi tidak tahu ke mana dan mau apa ia berjalan.
Jangan sampai pendidikan Indonesia berjalan layaknya orang bingung yang ketika ditanya mau ke mana tidak bisa menjawab karena tidak punya tujuan. Sampai-sampai, orang yang penasaran dengannya disuruh menebak sendiri ke mana ia pergi. Alhasil, bisa salah, bisa juga benar. Untuk itu, alangkah baiknya para aktor pendidikan Indonesia mulai merumuskan satu kepastian sehingga muncul paradigma tunggal, bukan jamak dalam mengelola pendidikan. Harapannya, tak lama lagi, akan ada satu cita-cita pendidikan Indonesia yang terbayangkan sehingga bisa diupayakan agar terwujud, alih-alih terlalu banyak cita-cita yang tak jelas hendak dibawa ke mana.
Editor: Emma Amelia