Pandemi dan Kesehatan Mental Pada Remaja

Debora Fanni

3 min read

Kesehatan mental kembali menjadi isu yang sering digaungkan selama masa pandemi. Perubahan pola hidup secara tiba-tiba di masa pandemi membuat semua orang harus beradaptasi lagi. Akan tetapi, tidak semua orang mampu untuk melakukan hal itu. Misalnya kalangan remaja yang disadari atau tidak, sebetulnya sedang dalam fase menopang beban mental yang amat besar.

Masa-masa remaja adalah waktu yang tepat untuk mengembangkan diri dan produktif. Pada praktiknya banyak tekanan dialami remaja, yang datang dari orang terdekat dan mengharuskan mereka untuk terus berkembang. Sementara itu, sebagiannya lagi sudah ada yang melakukan aktivitas yang lebih pragmatis; untuk menjadi tumpuan keluarga, misalnya. Dalam kondisi-kondisi tersebut, mereka dituntut untuk melakukan banyak hal dalam satu waktu, ditambah tekanan pandemi yang datang secara tiba-tiba.

Data UNICEF terbaru menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 7 anak mengalami dampak akibat pembatasan sosial berupa karantina di masa pandemi. Sementara itu, 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar tatap muka. Selain itu, gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, serta kecemasan seputar keuangan keluarga dan kesehatan membuat banyak anak muda merasa takut, marah, sekaligus khawatir akan masa depan mereka. Padahal, menurut penuturan Benny Prawira Siauw, Founder Into The Light Indonesia dalam siniar OBSESIF, pandemi justru menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk menyadari bahwa diri sedang tidak baik-baik saja. Justru, dengan mencoba menjadi sosok yang kuat, hal tersebut dapat memicu stres berkepanjangan. Tak hanya itu, hubungan sosial pun juga terganggu.

Waspada Kelelahan Mental

Saat tubuh telah mengirim sinyal bahwa pikiran sedang tak baik-baik saja, terkadang kita tak menyadari itu. Justru, sinyal tersebut dianggap enteng dan diri semakin mengejar target hingga lupa akan kondisi tubuh. Padahal, bisa jadi, ternyata tubuh kita telah mengalami tanda-tanda kelelahan mental. Pertama, kita mulai kehilangan minat sehingga akan merasa apa yang dilakukan tak bermakna. Tanda-tanda ini sangat umum terjadi di kalangan remaja. Misalnya, saat biasanya ada rasa senang menonton drama Korea sebagai distraksi, tiba-tiba kita tak merasakan perasaan emosional itu lagi saat menontonnya. Kedua adalah perubahan pola hidup yang mencakup gangguan pola tidur dan pola makan. Padahal, keduanya merupakan aktivitas esensial bagi manusia. Saat pola tidur kacau, maka akan memengaruhi cara berpikir, sehingga akan cenderung mudah stres. Pola waktu tidur yang tak tepat juga dapat membuat badan tak segar saat bangun, padahal sudah tidur dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, kedua tanda utama ini perlu diperhatikan lebih lanjut. Apabila tubuh kita memiliki dua sinyal di atas, maka perlu diwaspadai dan mulai mengubah pola hidup secara perlahan agar kembali normal.

Tak Meratanya Akses Profesional

Meskipun sosialisasi kesehatan mental sedang naik daun. Akan tetapi, hal ini hanya sampai di wilayah-wilayah perkotaan atau yang memiliki akses informasi memadai. Bagi wilayah terpencil, informasi terkait kesehatan mental masih sangat minim. Selain kendala akses informasi, kendala lainnya adalah di penanganan oleh profesional. Menurut data Kemenkes (2022), jumlah psikiater untuk pelayanan kesehatan mental di Indonesia adalah 1.053 orang. Artinya, jika dibandingkan data penderita gangguan mental, satu psikiater harus melayani sekitar 250.000 orang. Oleh karena itu, meratanya akses profesional juga harus menjadi perhatian pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Benny juga menuturkan bahwa masalah akses ini dapat berujung pada tindakan diaknosis mandiri (self-diagnose). Selain jumlah profesional yang sedikit, biaya pengobatan yang belum merata juga menjadi faktor maraknya tindakan tersebut. Apalagi, harga obat dan perawatan bagi pasien tak tergolong murah. Pun juga perawatan harus dilakukan pasien secara rutin.

Fenomena Diagnosis Mandiri

Selain faktor ekonomi, faktor-faktor lain seperti mudahnya akses internet juga menjadi salah satu penyebab banyaknya fenomena diagnosis mandiri. Selain itu, maraknya romantisasi pengalaman gangguan mental yang beredar di media sosial juga menjadi faktor terjadinya fenomena ini. Munculnya perspektif bahwa gangguan mental adalah hal yang menarik dan estetik di media sosial membuat tingkat diagnosis mandiri meningkat tajam. Para remaja menganggap bahwa kehidupan “normal” itu arus utama yang membosankan, sehingga mereka ingin terlihat lebih keren dengan titel gangguan mental. Padahal, justifikasi negatif terhadap diri sendiri inilah yang kemudian menjadi akar dari tindakan diagnosis mandiri. Sebenarnya, yang dibutuhkan oleh kita adalah self-awareness bukan self-diagnose. Self-awareness membuat diri lebih waspada akan apa yang sedang dialami oleh tubuh kita. Melalui itu, kita bisa mulai mencari-cari informasi terkait kondisi diri dan profesional untuk penanganan lebih lanjut.

Mencari Bantuan

Saat kita merasa diri tidak baik-baik saja dan cocok dengan kondisi yang dijelaskan oleh situs daring, hal yang sangat perlu dilakukan adalah berkonsultasi dengan profesional. Saat ini, kemajuan HealthTech membuat telemedicine menjadi alternatif untuk berkonsultasi. Selain telemedicine, kita juga dapat mencurahkan segala pikiran dan masalah ke orang yang dipercaya. Atau, kita dapat menguraikan perasaan dengan menuliskannya di buku catatan. Intinya, jangan sampai menunggu kondisi badan atau pikiran semakin parah. Dengan menunda-nunda, tentu akan membuat jangka waktu pemulihan semakin lama.

Stigma Kesehatan Mental

Stigma-stigma di masyarakat terkait kesehatan mental juga masih banyak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa diperlukan usaha sosialisasi lebih giat dan pemahaman intens dari masyarakat sendiri. Stigma adalah suatu hal yang terus dibicarakan oleh individu, kemudian diperkuat dengan ‘katanya’, dan disebarkan secara masif.

Untuk menghilangkan stigma, masyarakat juga perlu memahami apa yang dirasakan penyintas melalui bacaan-bacaan yang tersedia di internet atau penyuluhan. Selain itu, kepedulian untuk mendengarkan cerita dan tidak menyudutkan penyintas juga diperlukan.

“Diajak untuk skeptis, deh. Belajar untuk kritis dan terbuka kalau apa yang kita yakini salah. Sering kali orang yang punya pandangan stigmatis, mereka enggak mau buka hati dan pikiran karena udah sayang sekali sama apa yang mereka yakini dalam diri mereka. Pengetahuan bisa diperbarui,” ujar Benny.

Melalui siniar OBSESIF musim keempat episode dua, Benny memberikan pandangannya terkait isu kesehatan mental yang marak diperbincangkan pada masa pandemi. Hadirnya Covid-19 bukan hanya memicu masalah kesehatan fisiologi, melainkan juga permasalahan kesehatan mental. Hal itu juga turut dipengaruhi faktor meningkatnya penggunaan media sosial akibat kurangnya interaksi sosial nyata yang terjadi selama masa pandemi. Selain dimanfaatkan sebagai wadah untuk menjaga konektivitasnya dengan kerabat, kolega, dan keluarga, media sosial juga dimanfaatkan masyarakat untuk memperbaharui informasi mengenai perkembangan pandemi yang terjadi hingga saat ini. Rawannya penyebaran misinformasi di media sosial, dapat memicu beberapa gangguan kesehatan mental seperti ansietas, stres, depresi, hingga kecenderungan untuk bunuh diri.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat kesehatan mental adalah dengan lebih bijak dalam menyaring informasi atau berita seputar Covid-19, serta memanfaatkan Layanan Bantuan Konsultasi Psikologi Kesehatan Jiwa atau Sejiwa apabila kita sudah mulai merasakan gejala penurunan kesehatan mental seperti ansietas dan stres.

 

Editor: Ghufroni An’ars

Debora Fanni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email