Belakangan ini, bahasa gaul anak Jakarta Selatan atau populer disebut bahasa anak Jaksel tengah naik daun di media sosial. Ragam bahasa tersebut merupakan pencampuran bahasa Inggris dan Indonesia. Sebelumnya, tulisan Jujurly, Ada Apa dengan Bahasa Anak Sekarang pernah menjelaskan fenomena tersebut melalui pandangan psikologi.
Selain kata-kata seperti toxic, ghosting, spill, blunder, which is, literally, vibe, hidden gem, dan lainnya, ada pula kosakata yang berkaitan dengan gangguan mental, seperti anxiety, inner child, overthinking, dan healing yang pasti sudah tidak asing. Kosakata tersebut sering digunakan dalam percakapan, terutama di dalam video TikTok ataupun Reel Instagram. Akan tetapi, di balik penggunaan kosakata tersebut, terdapat risiko pengaburan makna. Tulisan ini mencoba untuk menjabarkan penggunaan istilah-istilah gangguan mental dalam bahasa anak Jaksel, beserta risiko dan upaya yang perlu dilakukan dalam mereduksi dampak negatif fenomena tersebut.
Alasan Penggunaan Bahasa Jaksel
Bahasa Jaksel digunakan karena adanya keinginan untuk terlihat beda dari orang kebanyakan dan merasa keren dengan mengikuti tren bahasa gaul. Kesan ini berkaitan pula dengan adanya pengalaman mengenyam pendidikan di luar negeri, tingkat intelektualitas, dan faktor lokasi tinggal di Jakarta Selatan yang merupakan pusat pertumbuhan bisnis di Indonesia. Pengamat sosial Universitas Indonesia, Rahmawati, mengemukakan bahwa penggunaan bahasa anak Jaksel merupakan sebuah lambang hierarki yang memperlihatkan strata sosial, pendidikan, dan kehormatan seseorang.
Penggunaan bahasa anak Jaksel dalam percakapan sehari-hari ini boleh saja dilakukan, asal dalam konteks informal dan tidak memuat unsur sensitif, kasar, maupun kotor. Namun demikian, penggunaan ini akan bermasalah apabila mengaburkan makna, terutama pada istilah-istilah gangguan mental yang tidak dipahami secara umum oleh masyarakat.
Pengaburan Makna
Pada kanal Youtube Podcast Kesel Aje, terdapat video berjudul Belajar Bahasa ABG Jaksel dan Belajar Bahasa ABG Jaksel Tiada Henti. Dalam video tersebut, ditemukan kata-kata seperti anxiety yang diasosiasikan dengan perasaan berdebar, bipolar atau mood swing yang diasosiasikan dengan orang yang emosinya tidak stabil, hingga kata healing yang disamakan dengan keinginan untuk pergi liburan.
Menariknya, secara sintagmatik, bahasa anak Jaksel ini merupakan penggabungan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, masuk kategori sebagai ciri dari bahasa yang Keminggris, yakni dengan menambahkan beberapa kata berbahasa Inggris yang kemudian dilanjutkan dengan kata Indonesia. Sementara dalam sosiolinguistik, hal ini disebut sebagai code mixing. Di sisi lain, meski mengalami pergeseran dari makna yang sesungguhnya, kata-kata dalam percakapan tersebut jika diartikan secara leksikal tetap memiliki arti dan makna tersendiri dalam sebuah percakapan informal.
Berbeda dengan analisis kebahasaan, jika ditinjau dalam ilmu psikologi fenomena tersebut tentunya tidak tepat dan cenderung mengaburkan makna gangguan kesehatan mental. Beberapa contohnya antara lain: kata bipolar untuk gangguan emosi yang tidak stabil, anxiety untuk perasaan berdebar, dan pergi liburan ke luar kota disebut sebagai healing. Hal tersebut akan berimplikasi pada timbulnya fenomena self-diagnosis, yaitu sebuah perilaku mendiagnosis sebuah gangguan mental pada diri sendiri berdasarkan asumsi, bukan dari hasil diagnosis ahli seperti dokter atau psikolog. Self-diagnosis sendiri, akhir-akhir ini begitu marak terjadi, dan cenderung berdampak negatif bagi individu ketika mendapati sebuah masalah.
Baca juga:
Anxiety atau kecemasan dapat diartikan sebagai kondisi emosional yang ditandai dengan gairah fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, serta rasa khawatir tentang hal-hal buruk yang terjadi pada masa mendatang. Adapun bipolar adalah sebuah gangguan kronis berulang yang ditandai dengan fluktuasi suasana hati dan energi, yang umumnya menyebabkan gangguan kognitif dan fungsional serta meningkatkan risiko seseorang untuk bunuh diri. Sedangkan healing, secara sederhana merujuk pada proses penyembuhan luka batin yang diupayakan oleh individu.
Konten yang Sehat
Bagi saya, penyederhanaan makna istilah gangguan kesehatan mental dikhawatirkan akan berdampak pada dua hal. Pertama, terjadinya pengaburan makna istilah gangguan kesehatan mental secara berlebihan. Kedua, berdampak negatif bagi kesehatan mental masyarakat itu sendiri. Sebagaimana disinggung di awal, seseorang yang melakukan self-diagnosis pada dirinya justru akan semakin memperburuk kondisi kesehatan mentalnya, sebab ia mendiagnosis dirinya secara sembarangan berdasar informasi dari internet.
Pada dasarnya, bagi saya sendiri penggunaan bahasa campuran Jaksel dalam interaksi sehari-hari adalah hal yang biasa, terlebih jika hanya untuk sekadar hiburan semata. Namun, dalam hal yang menyangkut istilah gangguan kesehatan mental, para influencer atau content creator tampaknya perlu lebih bijak lagi ketika memproduksi konten tersebut.
Sebetulnya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar penggunaan bahasa campuran Jaksel sesuai takaran serta tidak mengaburkan makna istilah gangguan kesehatan mental. Pertama, para influencer Jaksel harus berkonsultasi dengan para ahli kesehatan mental (psikolog atau psikiater) ketika akan membuat konten yang memiliki kaitan dengan isu kesehatan mental. Kedua, pemberian penegasan dan peringatan di setiap konten bahwa konten yang memuat istilah gangguan kesehatan mental bukanlah pembenaran dalam mendiagnosa diri sendiri, melainkan hanya sebatas hiburan, dan individu harus menemui psikolog atau psikiater untuk melakukan diagnosis. Ketiga, perlunya para ahli kesehatan mental untuk turut berkolaborasi dengan influencer bahasa Jaksel agar konten yang mereka buat berimbang dan tidak mengaburkan istilah gangguan kesehatan mental.
Meski tak mudah, saya percaya bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk memberikan sebuah konten edukasi kesehatan mental secara menarik dan tepat pada masyarakat awam.
Editor: Prihandini N