Ia Mengambil Jalan Setapak yang Dahulu Pernah Dilauinya
Suara alam susul-menyusul keluar masuk telinganya. Langit masihlah langit yang sama: dipenuhi gumpalan awan seperti permen kapas. Kendati jalan itu kini telah dicor batu beton. Rerumputan di kanan-kiri langkahnya barangkali masihlah rerumputan yang sama kendati ia tak pernah tahu adakah mereka bernama? Berjarak beberapa jengkal dari bayangannya ada petakan pekuburan yang juga masihlah pekuburan yang sama, kendati jumlahnya telah sepenuhnya berbeda dan ia tak pernah mengenal siapa yang dikubur di dalam sana. Ia ingat pokok jambu kelutuk pernah tumbuh subur tinggi menjulang bagai raksasa berbuah lebat di antara dua makam yang paling dekat; ia panjati ketika dahulu belum ia kenal rasa takut dan makan buahnya serta biji-bijinya yang telah matang dan keesokan harinya ia menggigil demam. Suara alam masih susul-menyusul; kini ia melewati terowongan di dalam hutan yang dahulu sering dilaluinya. Langit masihlah langit yang sama, dipenuhi titik-titik cahaya dari jarak milyaran jauhnya, ia sadari pokok-pokok duku dan mangga dan kelapa yang dulu berbuah lebat sudah tak lagi ada. Ia mencoba menghirup aroma perdu, bunga-bunga, jamur-jamur, batu-batu, daun-daun, merapal kesunyian yang dahulu sangat ia akrabi kini menghilang entah ke mana dan ia dapati aroma lain yang tak ia kenali. Ia pandangi sekelilingnya dan ia terus mencari, tetapi tak ia temukan apa pun lagi selain keterasingan dan ia sendirian. Sejuk angin menyibak helai rambutnya bersama suara burung-burung dari kejauhan seolah menyambut kedatangannya kendati yang ia dengar kini hanyalah suara desau pada dahan-dahan yang tak lagi ada. Mendadak waktu berjalan asing baginya, hari adalah sesuatu yang bergerak berulang kendati usianya tidak. Di ujung jalan yang sama sekali berbeda dari masa kanak-kanaknya, membawa ia sampai ke tempat awal ia memulai. Ia terdiam oleh karena perasaan-perasaan yang berpilin-pilin dalam dadanya, mengisi relung-relung jantungnya, berjejal memenuhi hatinya, menjalar penuh sekujur tulang, gumpal daging, hingga permukaan kulit, untuk kemudian berubah menjadi air mata; Bahwa ada yang memperhatikannya tetapi ia tak menyadari; Bahwa ada yang memeluknya tetapi ia tak merasakannya lagi; Bahwa ada yang menangis bersamanya tetapi ia telah lama lupa.
–
Togawa dan Nozue
Apa yang dirasakan keduanya
ketika mereka bergenggaman tangan
berlari menyusuri jalan sepi itu
disaksikan lampu-lampu peron;
tertawa lalu bersembunyi di
sebuah gang sempit demi menghindari
mata lain pejalan kaki?
Apa yang dipikirkan keduanya
saat mereka tertawa
di tengah napas yang beradu
membawa rasa yang tersisa sehabis
berciuman sembari menyadari
usia yang tak lagi muda
lalu mengendap-endap seperti dua bocah
yang baru mengenal dunia?
“Berhati-hatilah ketika kau menyatakan perasaanmu.”
“Berhati-hatilah ke mana kau mengajakku berlari.”
Akhir 30-an usianya
dan awal 40-an usia yang satunya
terlibat dalam percakapan sendiri
dalam bahasa yang mereka berdua pahami
Apa yang dialami keduanya
sehingga terengah-engah kala tubuh keduanya
menembus angin
laju lari yang tak lagi lincah
demi menghindari yang entah
Kita hanya mengerti mereka bahagia
hati keduanya hangat
di tengah dingin malam buta
bukankah itu yang didambakan semua?
–
Menghadapinya
Pada kesempatan kali ini aku memanggil
namamu, di bawah lampu jalan
yang bekerlapan
(ia telah rusak)
Angin keras mengalir
menguasai seluruh jiwaku
(aku telah sekarat)
begitu khidmat kita mengamini
bahwa kematian
dimungkinkan dan diharuskan
oleh waktu
kita pun menunggu.
–
Ketika Cuaca Buruk dan Kalian Menulis Puisi
Barangkali mawar-mawar bernafas memberkati malam
wanginya menyebar lalu membelai kalian;
Barangkali ngengat-ngengat itu jatuh kelelahan
seusai dipuaskan cahaya sehingga tanggal sayap-sayapnya;
Barangkali hujan yang berisik meredam suara dan sejuk udara
membungkus dengan hening hati- jantung kalian berdua;
Bukan di taman yang bunga-bunganya menari,
Bukan di hutan yang pohon-pohonnya bernyanyi
Tak dinaungi rimbun dahan kelapa dan ranum daun kenari
Bersandar kalian menekan dinding lembap keropos;
Untuk kemudian bersujud lalu bangkit, membungkuk lalu bangkit
Bertukar ciuman demi ciuman, menyalin sajak demi sajak;
Menyanyikan bait demi bait, merapal larik demi larik,
tukar-menukar kasih demi kasih dalam cinta yang begitu langka,
ketika semua aroma memudar, kalian mengambil janji
bahwa dalam penderitaan ini kalian akan tumbuh subur,
Gemuruh guntur tak akan membuat kalian mundur
Dan dalam kobaran api tak satupun dari kalian akan binasa.
*****
Editor: Moch Aldy MA