“Kerja tinggal main hape apa susahnya?” Kalimat itu biasa terlontar dari mulut para senior di tempat kerja, ditujukan pada junior yang bertugas di bidang media sosial. Biasanya para junior hanya akan tersenyum atau pura-pura tak mendengar. Tapi dalam hati, para junior itu akan mengumpat, kesal, bahkan tak jarang mereka merasa sedih dan tertekan.
Banyak generasi milenial yang bekerja di bidang media sosial (medsos). Posisinya sebagai pemegang kendali media sosial perusahaan, sering diremehkan karena dianggap “hanya tinggal main hape saja”. Padahal, menangani media sosial membutuhkan keahlian, kemampuan berkomunikasi, juga harus memahami etika komunikasi publik karena berhadapan dengan jangkauan massa tak terbatas. Sebagai garda terdepan perihal brand perusahaan, pekerja yang memegang media sosial juga memiliki tanggung jawab atas citra perusahaan.
Belum lagi beban kerja atas banyaknya peran yang harus mereka ambil. Tidak menutup kemungkinan, semua pekerjaan terkait konten media sosial ditangani oleh satu orang. Mulai dari merumuskan stategi, menyusun, menjadi desainer grafis juga editor video, copywriter, membagikan postingan serta menjaga interaksi dengan para followers. Satu pekerja medsos dalam satu perusahaan sering kali tidak hanya bertanggung jawab atas satu jenis media sosial, tetapi beberapa media sosial sekaligus. Ya Instagram, ya YouTube, ya TikTok dan sebagainya yang tentu memiliki format dan karakter yang berbeda.
Jam kerja mereka pun tidak pasti. Karena berkaitan dengan dunia maya, tidak ada batasan jam kerja. Walaupun secara resmi work 9 to 5, tetap saja di luar jam itu mereka terus memantau perkembangan akun yang sedang ditangani.
Tuntutan kerja yang tinggi dalam mengejar followers, meningkatkan engagement, mengharuskan postingan untuk selalu viral tidak hanya datang dari atasan tapi juga para pekerja dalam satu lingkup kerja.
“Kok sepi sih postingannya?”, “Ya ampun, followers kita kok stuck segini-gini aja sih, ini engga bener nih anak medsos” merupakan kalimat yang ringan sekali diucapkan seolah tanpa memahami beban anak medsos. Belum lagi, atasan yang seenaknya memerintah tanpa adanya komunikasi yang intens dan turut andil dalam planning konten “Saya engga mau tau, pokoknya posting besok!”, “Ayo segera posting, jangan sampe telat nanti keduluan sama yang lain!”
Baca juga Kewarasan Kreator Lebih Penting dari Konten Favoritmu Itu
Kerugian Perusahaan
Tingginya akses media sosial juga menjadi faktor lain masalah kesehatan mental bagi pekerja media sosial. Bisa dibayangkan, sebagai pengguna media sosial secara pribadi saja sudah sangat melelahkan. Apalagi mereka, para pekerja media sosial yang berstatus sebagai penyedia konten. Tidak hanya mengonsumsi konten, mereka juga harus memproduksi konten untuk meingkatkan brand perusahaan. Para pekerja di bidang medsos juga harus senantiasa on fire dan kreatif dalam mengelola media sosial.
Akibatnya, kesehatan mental para pekerja medsos kerap terganggu. Beberapa yang sering terjadi adalah stress, anxiety, burn-out, kehilangan konsentrasi, kelelahan hingga kehilangan motivasi. Boro-boro memenuhi work-life balance, bisa makan walaupun masih harus berhadapan dengan laptop ataupun bisa sejenak jalan-jalan walaupun tiap menit cek gadget demi membalas Direct Message, merupakan bentuk rasa syukur yang bisa sedikit dirasakan oleh para pekerja medsos. Ketika perasaan diremehkan ini terus berulang, generasi milenial yang bekerja di media sosial semakin rentan kesehatan mentalnya.
Ironisnya, permasalahan kesehatan mental bagi para pekerja medsos dianggap bukan masalah serius. Baik para pekerja medsos itu sendiri maupun oleh perusahaan. Rendahnya kesadaran pentingnya kesehatan mental bagi para pekerja media sosial dalam lingkungan kerja, terutama dari pemilik perusahaan, menjadikan isu ini hanya angin lalu.
Padahal menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental pekerja – misalnya yang sering dialami adalah depresi dan anxiety – dapat mempengaruhi ekonomi perusahaan. Dalam artikel yang dirilis di laman resmi WHO, produktifitas pekerja yang berkurang akibat kondisi kesehatan mental dapat menghilangkan pendapatan senilai 1 triliun dollar dalam setahun.
Kesadaran pemilik perusahaan atas kesehatan mental pekerja penting untuk menghindari kerugian bagi perusahaan. Membangun komunikasi melalui edukasi kepada seluruh team perihal pentingnya tanggung jawab sekaligus upaya membangun kultur kerja yang sehat dapat meningkatkan kesadaran antar pekerja.
Ketika kesadaran sudah terbangun, perlakuan dan perkataan semena-mena tidak akan sembarangan terlontar. Termasuk kesadaran untuk memberi waktu penuh beristirahat dan melepas sejenak keterikatan mereka dengan akun perusahaan.
Membangun komunikasi dalam team dan meningkatkan kesadaran antar pekerja jelas jauh lebih murah dibanding harga yang harus dibayar jika kesehatan mental pekerja terganggu.
Ngomong ae……,kapan turune…wong arep turu sik ngomong….
Tulisan ini meredakan keresahanku sebagai pekerja medsos. Lega rasanya membaca tulisan yang mengkhawatirkan pekerjaan ini, karena artinya bukan cuma aku yang merasa begitu. Jabat tangan pekerja medsos satu per satu.