Penikmat buku filsafat, sastra, dan agama

Membaca Demadurologi

Ach. Ghifari

2 min read

Buku Demadurologi yang terbitan Edisi Mori ini merupakan telaah lebih lanjut dari karya sebelumnya yang ditulis Kuntowijoyo tentang Madura. Seorang mahasiswa jurusan sosiologi ini, Syaiful Anam, berhasil menerbitkan karya perdananya dan mampu memberikan sudut pandang baru tentang Madura. Saya masih belum membaca karya Kuntowijoyo yang membahas tentang Madura, tapi hanya lewat Demadurolgi ini dapat melihat sekilas peta awal dari sebuah karya tersebut. Suatu saat nanti saya bisa menghatamkan buku Madura karyanya Kuntowijoyo yang konon begitu tebal.

Demadurologi dalam pembacaan saya, sebenarnya penulis ingin menolak stereotip tentang Madura yang diklaim sebagai pulau agraris. Madura bukan hanya pulau yang membentangkan lahan pertanian, melainkan pulau yang mempunyai gugus maritim. Meskipun demikian, argumentasi Kuntowijoyo terhadap Madura tidak sepenuhnya keliru, tetapi demadurologi lahir sebagai tambahan narasi, aset kekayaan pengetahuan, dan keresahan eksistensial. Di dalam buku demadurologi dijelaskan bahwa temuan penelitian Kuntowijoyo tersebut berdasar pada pendekatan riset dokumen atau kepustakaan yang dilacak dengan kajian historiografi  di Madura.

Sedangkan “Demadurologi” lahir melalui penulis yang lebih mengarah kepada kajian sosial-historis. Syaiful sendiri adalah penulis yang lahir di tanah Madura. Pemahaman tentang Madura tentu menjadi lekat dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau kata seorang penyair D. Zawawi Imron di dalam puisinya, “Madura adalah darahku”, sehingga dalam tradisi ragam budaya, sosial, keagamaan, dan karakter menjadi entitas dalam dirinya.

Saya baca buku karyanya Zainollah Ahmad yang berjudul Babad Modern Sumenep. Di dalam bukunya tersebut dijelaskan bahwa, Madura terkenal dengan pelaut yang ulung. Bagi orang Madura, laut adalah cerminan hidup yang penuh dengan tantangan dan gelora perjuangan. Para pedagang Madura mahir berlayar untuk berniaga ke tempat yang jauh, sehingga kalau mereka lama tidak kembali bisa dipastikan dia sudah berjodoh di tempat lain atau perahunya karam.

Tidak hanya itu, penelayan Madura mempunyai konsep perbintangan dalam menentukan arah mata angin. Jika nelayan bingung dalam menentukan arah untuk kembali ke daratan, maka nelayan akan berpatokan kepada bintang yang ada di atas langit. Kalau bintang tersebut berbentuk seperti layang-layang itu akan mempermudah untuk menentukan selatan dan utara. Ilmu seperti tersebut hanya dimiliki oleh para nelayan terdahulu sebagai acuan dalam perjalanan pulang.

Syaiful juga menolak bahwa Madura merupakan pulau yang berada di bawah Jawa secara posisi hirarkis. Ia menyebutkan bahwa pernyataan tersebut bias apabila disematkan kepada Madura dan juga problematis. Seakan-akan Jawa superior dan Madura inferior. Hal ini menerut Syaiful Anam terjebak dalam kolonialisasi historiografis, sebuah problem sejarah dalam penulisan sejarah paskakolonial.

Termasuk pula anggapan yang mengatakan bahwa orang Madura berwatak keras, pedahal tidak semuanya orang Madura sebagai orang yang berwatak keras. Misalnya, sisi Madura bagian timur yakni orang Sumenep. Dalam sejarah Madura, orang Sumenep cenderung memiliki karakter halus. Artinya halus di sini adalah lebih kepada tingkah laku, tutur bahasa, dan tindak tanduknya. Hal ini terjadi karena keturunan Sumenep adalah orang karaton yang kental dengan relasi raja dan kawula. Tradisi antar relasi tersebut kemudian bermuara ke dalam lapisan masyarakat bawah baik antara yang muda ke yang tua, anak pada orang tua, murid dan gurunya. Menjadi tradisi yang sulit dilepas oleh kebanyakan orang Sumenep.

Dalam buku Demadurolgi, sebagaimana yang dijelaskan Kuntowijaya, ia menguraikan Madura sebagai keterhubungannya dengan ruang ekologi. Kuntowijoyo menjelaskan tentang klasifikasi padi di Madura. Padi di Madura diklasifikasikan menjadi tiga bagian; pertama, padi tengah, disebut padi tengah karena mempunyai pertumbuhan selama 4-5 bulan. Kedua, padi dalem, disebut padi dalem karena dia masa pertumbuhannya pada saat turun hujan. Ketiga, padi ganjah, disebut sebagai padi ganjah karena masa pertumbuhannya selama 3-4 bulan lebih cepat dibandingkan padi tengah.

Tentunya tanah di Madura dengan Jawa mempunyai  kontur tanah yang berbeda. Tanah di jawa cenderung basah sehingga bisa ditanami padi dan juga curah hujan di jawa meningkat dibandingkan di Madura. Sedangkan tanah di Madura tekstur tanahnya kering, sehingga kebanyakan para petani Madura menanam jagung, padi, kacang-kacangan, tomat, dan tanaman lainnya. Meskipun tak pelak kita jumpai sebagian daerah menanam padi yang disesuaikan cuaca pada saat itu dan tanah yang basah dialiri air.

Hal ini yang kemudian dilawan oleh Syaiful dalam bukunya dengan menggunakan pemikiran Antonio Giddens, bahwa budaya Madura tidak dapat dijadikan sebagai Second Culture. Penyelewengan budaya dari ketidakberdayaannya terhadap budaya Jawa yang dipandang superior dan Madura sebagai inferior. Budaya adalah riwayat tentang nenek moyang yang telah mewariskan kepada anak moyangnya sebagai pelestarian kembali akan tradisi.  

Buku Demadurologi sangat cocok sekali untuk kita jadikan sebagai bahan bacaan bagi teman-teman yang berkutat, bergelut, berkecimpung di bidang antropologi atau ekologi. Sebab Madura tidak hanya bagian dari isu yang bersifat lokal, akan tetapi Madura adalah bagian dari bingkai kekayaan hidup dari salah satu pulau yang ada di Indonesia. Betapa kayanya budaya Indonesia untuk kita pahami dan telaah dengan berbagai macam buku yang membahas di dalamnya tentu dengan bahan bacaan yang mempunyai kapasitas refrensi dan telaah kritis.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ach. Ghifari
Ach. Ghifari Penikmat buku filsafat, sastra, dan agama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email