Domisili di Sleman, Yogyakarta.

Kuntowijoyo & Pandangan Hidup Seorang Jawa

Airlangga Wibisono

4 min read

Ia adalah renungan atas realitas.” Begitulah tulis Kuntowijoyo untuk memaknai sastra dalam bukunya Maklumat Sastra Profetik. Selanjutnya, masih berada di paragraf yang sama, Kuntowijoyo menjelaskan sebuah karya sastra adalah perwujudan dari realitas simbolis; yang mana memaknai realitas ini berbeda dengan realitas secara umum: realita yang menurut keadaan sekarang atau realitas menurut masa lalu.

Realitas simbolis perlu diartikan terlebih dahulu, yaitu dengan memaknai simbol yang ada. Simbol itu dalam karya sastra berbentuk penokohan, konflik yang terjadi, dan unsur intrisik lainnya. Ketika pembaca mampu menangkap makna dari simbol-simbol tersebut, maka berhasillah seorang pengarang menyampaikan “arah” atau bahkan sebuah kritik dalam karyanya.

Kuntowijoyo juga memaknai sastra sebagai hasil strukturasi dari pengalaman, imajinasi, dan nilai. Terkait “pengalaman” dan “nilai” dalam karya-karya sastra Kuntowijoyo, kedua hal ini tidak bisa terlepas dari perjalanan hidup sang pengarang sendiri.

Dilahirkan di Yogyakarta, hidup dalam lingkungan dan tradisi Jawa sejak kecil hingga dewasa, mempengaruhi karya-karya yang diciptakan Kuntowijoyo, baik itu novel, cerpen, dan puisinya.

Apa saja yang berkenaan dengan tradisi dan nilai-nilai Jawa sangat terasa dalam karya-karya Kuntowijoyo. Masih dalam buku yang sama, Kuntowijoyo bercerita tentang proses kreatifnya saat menciptakan cerpen Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1996). Ide awal cerpen itu dia dapatkan ketika menjumpai praktik menjaga makam selama tujuh hari bagi seseorang yang meninggal dunia pada hari Selasa Kliwon di Yogyakarta tahun 1990-an.

Selasa Kliwon atau orang jawa mengenalnya sebagai Anggoro Kasih diyakini sebagai hari yang memiliki tuah. Orang yang meninggal pada hari itu dipercaya memiliki “keistimewaan”, dan biasanya “keistimewaan” yang dimiliki si mayat dijadikan syarat bagi keperluan ilmu hitam. Penjagaan makam selama tujuh hari dilakukan sebagai upaya melindungi si mayat.

Contoh lain ialah sisipan tembang yang diberikan Kuntowijoyo pada karyanya. Tembang kebanyakan mengandung nilai-nilai bijak tentang kehidupan. Pada cerpen Segenggam Tanah Kuburan (1970) dan halaman-halaman awal novel Mantra Penjinak Ular (2000), dapat ditemukan sebuah tembang yang sama. Judul tembang tersebut adalah Kidung Rumekso ing Wengi, ciptaan Sunan Kalijaga. Hal yang menarik adalah apabila tembang ini dilantunkan, konon si pelantun akan terhindar dari kejahatan, khususnya kejahatan yang biasa dilakukan di malam hari.

***

Mengenal Kuntowijoyo sebagai sastrawan berarti mengetahui cerpennya yang berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1969). Cerpen ini sangat identik dengan Kuntowijoyo karena menjadi judul utama dari kumpulan cerpen masa-masa awal kepengarangannya. Terlepas dari berbagai analisis yang telah hadir dalam mengupas cerpen ini, terdapat kaitan juga dengan nilai budaya Jawa. Nilai Jawa tersebut menyangkut tahapan hidup seseorang selama di dunia.

Cerpen yang pertama dipublikasikan pada tahun 1969 saat Kuntowijoyo berusia 25 tahun ini bertokoh utama seorang anak kecil yang baru saja melakukan perpindahan dari desa ke kota. Sebagai pendatang, ia harus mulai dari nol untuk mengenal lingkungan barunya, setidaknya dimulai dari tetangga samping rumahnya. Tetangganya adalah seorang kakek bergaya Jawa. Kabar yang ia dengar dari orang sekitar, kakek itu “keramat”, bahkan ada yang berkata kakek itu adalah dukun.

Kabar lisan itu membuat tokoh utama kita merasa ngeri, tapi di sisi lain juga penasaran. Hingga pertemuan pertama mereka terjadi secara kebetulan dan mungkin aneh. Pertemuan pertama dengan si kakek memberikan kesan yang mendalam bagi tokoh utama kita. Mereka berdua semakin rutin bertemu, dan semakin banyak mengobrol. Obrolan yang semakin lama dilakukan akan membawa tokoh utama kita ini gamang dalam memaknai arti hidup.

Sebelum mengaitkan kandungan cerpen Dilarang Mencinta Bunga-Bunga dengan tahapan hidup menurut budaya Jawa, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu ungkapan Sangkan Paran Dumadi.

Orang Jawa memakanai hidup sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan hidup dalam budaya Jawa tidak bisa terlepas dari ungkapan Sangkan Paran Dumadi.

Irfan Afifi, seorang budayawan Jawa dalam bukunya Saya, Jawa, dan Islam menjelaskan bahwa ungkapan Sangkan Paran Dumadi bertujuan sebagai pengingat atas keberadaan serta tujuan manusia selama hidup di dunia ini. Para

Wali Jawa terdahulu, supaya makna “perjalanan” dalam ungkapan “Sangkan Paran Dumadi” lebih membumi dan menyebar ke seluruh masyarakat, menciptakan sebuah genre karya sastra yang sekarang dikenal dengan nama macapat.

Macapat yang dituliskan seperti puisi pendek harapannya akan mudah dihafalkan kemudian sering dilantunkan. Sehingga pesan-pesan tentang nilai hidup itu akan selalu berkumandang setiap waktu, dan orang-orang akan selalu memperhatikannya.

Jumlah macapat ada sebelas, dan jumlah sebelas itu dimaknai sebagai sebelas fase dalam kehidupan seseorang. Kesebelas jenis macapat dan permaknaan atas fase hidup itu sebagai berikut:

Maskumambang (ketika berada di rahim ibu), Mijil (ketika lahir), Sinom (ketika berusia muda), Kinanti (fase belajar dan dibimbing), Asmaradana (ketika merasakan cinta kepada seseorang), Gambuh (ketika menikah), Dhandanggula (fase di mana tanggung jawab dan kepentingan keluarga adalah yang utama), Durma (fase di mana kepentingan umum lebih penting dari pada kepenetingan pribadi), Pangkur (fase diri ingin menyepi karena dunia sudah tidak menarik lagi), Megatruh (fase ruh terlepas dari jasad), dan Pocung (ketika jasad dibungkus kain kafan).

Tahapan hidup menurut budaya Jawa, kiranya, seperti yang dituliskan di atas tadi dapat kita temui dalam tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.

Tokoh utama, si anak kecil merupakan simbol dari tembang Sinom. Seseorang yang muda (Sinom) ditandai dengan usahanya untuk mengenal dirinya sendiri. Kalimat mudahnya adalah masa-masa mencari jati diri.

Penegasan bahwa tokoh kita sedang berada dalam fase pencarian jati diri ditunjukan pada permulaan cerita, yaitu ketika tokoh utama mengulangi alasan ayahnya kenapa melakukan pindah rumah dari desa ke kota.

“Katanya, supaya aku mengenal hidup lebih luas, tidak terkurung dalam lingkungan dusun yang sempit.”

Tokoh Ayah dan Ibu merupakan simbol dari tembang Gambuh. Tatkala sepasang kekasih resmi menikah (Gambuh), maka mereka menjalankan rumah tangganya tidak berdasar ego masing-masing. Karena itu tanggung jawab ada pada mereka berdua. Tanggung jawab lain juga beriringan dengan itu. Seperti tanggung jawab akan anak, tanggung jawab sosial, dan sebagainya.

Contoh tanggung jawab dalam cerpen ini dapat kita rasakan ketika si ayah mengajak keluarganya berpindah dari desa ke kota. Selain untuk pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik, hal lain tentu untuk mendidik anaknya. Meskipun tokoh Ayah dan Ibu memiliki cara masing-masing dalam mendidik anaknya.

Ayah dari tokoh kita ini sangatlah rajin bekerja. Dia amat menyukai pekerjaannya dan di dalam cerita disimpulkan sangat totalitas. Sedangkan Ibu dari tokoh kita ini totalitas untuk urusan rumah dan anak. Dengan dua perhatian yang berbeda, menyebabkan tokoh kita memiliki penilaian sendiri atas ayah dan ibunya.

“Ya, harus hati-hati dengan Ayah. Dengan ibu aku baik-baik saja. Ibuku kurasa sangat senang, aku menjadi kerasan di rumah.”

Kutipan di atas merupakan contoh pandangan tokoh utama kita terhadap kedua orangtuanya. Pandangan ini merupakan hasil dari respon ayah dan ibunya saat ia membawa bunga ke rumah. Respon sang ayah sangatlah keras. Sang ayah mengambil bunga tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah.

Kerasnya tokoh ayah ini sesuai dengan obsesinya menginginkan anaknya yang seorang laki-laki menjadi seperti dirinya, menyukai mesin dan cinta dengan pekerjaan maskulin. Dua kutipan si ayah kepada tokoh utama memperjelas obsesinya tersebut:

“Bekerjalah. Jangan biarkan tanganmu menganggur buyung.”

“Tanganmu mesti kotor, seperti tangan ayahmu, heh!”

Sedangkan sang ibu justru menyanjung tokoh utama kita yang membawa pulang bunga ke rumah. Bahkan, ia sampai menyuruh agar bunga itu ditaruh wadah yang diisikan air agar bunga itu tidak layu. Hal ini menyebabkan tokoh utama kita ini menyukai ibunya.

Tokoh Kakek merupakan simbolisasi dari tembang Pangkur. Seseorang yang berusia tua tentu mengalami penurunan pada semua hal yang ada pada dirinya (fisik, mental, sampai nafsunya pada berbagai hal duniawi). Itu sebabnya, kebanyakan orang tua di sekitar kita menyukai hal-hal yang mudah dilakukan, tidak tertarik dengan apa pun, atau bahkan suka dengan kesunyian. Kakek dalam cerita ini juga begitu.

“Di luar matahari membakar. Kendaraan hilir mudik. Orang berjalan ke sana kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Tukang copet memainkan tangannya. Anak-anak bertengkar merebut layang-layang. Apakah arti semua itu, Cucu? Mereka semua menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan. Bukan dalam hiruk pikuk dunia.”

Akhir kata, dengan mengaitkan tokoh-tokoh dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dengan tahapan hidup orang menurut budaya Jawa, kiranya pembaca juga dapat menemukan alasan kenapa cerpen ini beri judul demikian.

Alasan tersebut juga disimbolkan dalam sebuah momen dalam cerpen. Ketika tokoh utama, seorang anak kecil yang baru saja mengobrol tentang arti kehidupan dengan kakek tetangga rumahnya, kemudian bertanya kepada ibunya: Ibu. Katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin?”

Lalu beberapa saat ibunya membentaknya, dan si ibu menangis.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Airlangga Wibisono
Airlangga Wibisono Domisili di Sleman, Yogyakarta.

One Reply to “Kuntowijoyo & Pandangan Hidup Seorang Jawa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email