Cyberbullying Berkedok Humor

Arshinta Rochmatul Laili

3 min read

Dalam keseharian kita mungkin tidak pernah absen untuk membuka dan bermain media sosial dan hiburan TikTok, Instagram, ataupun Twitter (X). Pastinya kita pernah melihat dan sudah tidak asing dengan istilah “aura maghrib”. Komentar ini biasanya ditujukan kepada seseorang yang tampil dengan wajah berkulit gelap, kusam, lelah, pucat atau tidak sesuai standar kecantikan yang dianggap ideal di Indonesia.

“Aura maghrib” seolah- olah menjadi bahasa gaul baru yang diterima bahkan disambut dengan tawa di kolom komentar. Padahal, ini adalah salah satu bentuk body shaming dan rasis yang diselubungi dengan humor yang ironisnya, komentar-komentar seperti itu justru sering kali dianggap wajar. Apalagi di negara kita, candaan yang melibatkan fisik sering kali dianggap hal rumah dan dijadikan basa-basi. Kita terbiasa dengan celetukan seperti “kok kurusan?”, “gemukan ya?” atau bahkan “makin item deh, abis liburan kemana?” yang kerap terlontar dalam obrolan sehari-hari. Namun, ketika candaan ini dilontarkan di ranah digital dengan kata-kata yang sama sekali tidak kenal empati, dampaknya bisa jauh lebih besar.

Saya ingat ketika pertama kali membaca komentar “aura maghrib” di salah satu unggah Fuji, seorang selebgram sekaligus adik ipar mendiang  Vanessa Angel. Karena salah satu postingannya itu dia jadi sasaran empuk ejekan netizen di kolom komentar TikToknya. Bukan hanya Fuji yang jadi target bullying netizen, tapi banyak pengguna TikTok yang mengalami hal serupa di kolom komentar postingan videonya.

Baca juga: 

Hal serupa juga dialami oleh tokoh Ariel ketika adaptasi dari film The Little Mermaid pertama kali dirilis ke publik. Banyak komentar protes di aplikasi X dari orang Indonesia karena membandingkan dengan ekspektasi kenangan saat masa kecil mereka yang lebih cocok atau baik. Netizen Indonesia  berbondong-bondong berkomentar buruk tentang warna kulit dari sang aktris pemeran Ariel tersebut, salah satunya ada yang berkomentar “SUMPAH IYAA BGT..padahal nungguin bgt little mermaid live action. Taunya pas keluar trailernya malah ga sesuai ekspektasi. Bukan masalah rasis tp ekspektasiku ariel tuh kulitnya putih terus rambutnya merah menyala, kalo ini berasa lagi nonton cerita bajak laut”.

Netizen di internet itu pintar mencari celah untuk menghina, meskipun mereka sering bersembunyi di balik topeng anonim. Lebih ironisnya lagi, tren “aura maghrib” ini bukan hanya soal body shaming, tapi juga punya unsur rasisme yang sering kali terlewatkan. Standar kecantikan yang kerap di puja-puja di media sosial kita cenderung memuji kulit cerah, wajah mulus seperti artis Korea, dan penampilan yang selalu fresh. Ini membuat mereka yang berkulit lebih gelap atau yang tampil tanpa make-up jadi lebih mudah diserang dengan komentar “aura maghrib.”

Tidak sedikit pengguna media sosial yang merasa lebih “pantas” atau “berhak” mengomentari tampilan seseorang berdasarkan warna kulitnya. Hal ini, secara sadar atau tidak, adalah bentuk rasisme terselubung yang berbahaya. Padahal di Indonesia memiliki banyak keberagaman yang sudah sepatutnya kita terbiasa untuk menghargai sesama, tapi kenapa hal ini masih bisa terjadi?

Semua orang tahu bahwa media sosial adalah tempat di mana orang bisa dengan bebas mengekspresikan diri. Termasuk dalam hal bercanda. Tapi ketika candaan itu menyasar ke fisik atau penampilan seseorang, apa yang sebenarnya kita tertawakan? Apakah kita sedang menyindir standar kecantikan yang kaku? Atau justru secara sadar atau tidak, kita ikut menormalisasikan standar itu dengan cara yang kejam?

Komentar semacam “aura maghrib” sering kali dijadikan humor untuk mengejek warna kulit orang, tapi isinya tidak lebih dari bentuk penghinaan. Dan yang lebih parah, ini terjadi di ruang publik yang bisa diakses siapa saja. Humor itu penting, tapi humor yang baik tidak harus datang dari merendahkan orang lain. Candaan yang sehat adalah candaan yang bisa bikin semua orang tertawa tanpa ada yang merasa tersakiti. Kalau kita memang suka bercanda, seharusnya kita bisa melakukannya dengan lebih elegan.

Yang lebih penting, kita perlu mulai belajar bahwa tidak semua komentar dalam hati perlu dituliskan, apalagi yang bernada negatif. Sebagai pengguna media sosial, kita punya pilihan di timeline mau menambah suasana positif atau malah ikut menyebar hal-hal negatif. Sebelum berkomentar , coba pikirkan lagi. Apa dampak kedepannya? Apa gunanya berkomentar seperti ini? Apakah menulis komentar seperti ini membuat Anda merasa lebih baik?

Baca juga:

Kita semua perlu belajar untuk berhenti menggunakan penampilan fisik seseorang sebagai bahan candaan. Memang benar media sosial adalah ruang bebas berekspresi, tapi kebebasan itu juga datang dengan tanggung jawab. Dari pada FOMO ikut-ikutan menulis komentar yang bisa merendahkan orang lain, kenapa kita tidak mencoba untuk lebih suportif? misalnya, dengan memberikan apresiasi positif atau sekadar komentar yang bisa membuat orang merasa diterima. Siapa tahu, satu komentar positif yang ditulis bisa jadi pengingat bagi orang lain bahwa media sosial juga bisa menjadi tempat yang lebih manusiawi dan hangat.

Mungkin tren komentar “aura maghrib” dan candaan-candaan serupa tidak bisa dihentikan sepenuhnya dalam semalam seperti legenda membangun 1.000 candi. Tapi, langkah awal yang dapat dilakukan bersama bisa dengan lebih bijaksana dalam menanggapi dan tidak FOMO ikut-ikutan memperpanjang tren tersebut. Dari pada ikut menyebarkan komentar negatif, kenapa tidak mencoba memberikan dukungan positif? Mungkin dengan cara inilah, kita bisa mulai mengubah budaya media sosial menjadi lebih sehat dan ramah bagi semua.

Sudah waktunya kita berhenti tertawa atas penderitaan orang lain yang berkedok candaan. Karena pada akhirnya, komentar “aura maghrib” bukanlah guyonan, melainkan wajah lain dari bullying yang harus segera dihentikan. Jadi, yuk kita stop komentar-komentar negatif seperti “aura maghrib” di postingan orang-orang. Jangan sampai kita malah ikut menyuburkan serta menormalisasi budaya body shaming dan rasisme yang berkedok humor. Sebab, apa yang kita anggap lucu belum tentu menyenangkan bagi orang lain. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Arshinta Rochmatul Laili

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email