Setiap masanya, bisa dipastikan ragam persoalan jilbab selalu dihadapi perempuan, bahkan bagi perempuan yang tidak berjilbab. Sudah lama saya menunggu penulis buku yang menulis tentang perempuan yang merayakan jilbabnya. Lalu, jika jilbab sudah dirayakan, bukankah sudah tidak ada lagi persoalan? Kalau betul masih ada, persoalan apakah itu? Apakah semua perempuan menghadapinya?
Uraian persoalan seputar jilbab dan perempuan, yang ditulis oleh Kalis Mardiasih dalam buku terbaru kelimanya yang berjudul Esok Jilbab Kita Rayakan: Muslimah yang Merdeka Tanpa Menindas yang Berbeda, memuat hal yang sedang tren dengan gayanya yang khas, jenaka dalam pernyataannya yang tegas, data informasi yang valid, dan tampilan buku yang berwarna nuansa ceria.
Persoalan Jilbab
Salah satu subjudul tulisan dalam buku Kalis, “Mereka yang Melepas Jilbab”, menggambarkan potret pengalaman diskriminasi yang dialami para perempuan, mulai dari keluarga hingga lingkungan sosialnya. Berbagai cerita dalam tulisan tersebut sangat mewakili apa yang pernah saya dan kawan perempuan di luar sana alami.
Perempuan yang tidak berjilbab, yang memakai jilbab dengan model tertentu, atau yang melepas jilbabnya memiliki alasan personal yang sangat intim terkait jati diri dan pengalaman spiritualnya. Dan setiap perempuan memiliki hak untuk memilih cara mempraktikkan jilbab sesuai budaya atau keyakinannya tanpa menimbulkan kerugian di sekitarnya.
Baca juga:
Penafsiran yang berbeda terhadap jilbab atau cara berpakaian lainnya hanya akan menimbulkan kebencian dan memecah belah bangsa dari rahim agama yang sama. Lebih jauh lagi, penafsiran negatif terhadap hijab dapat berujung pada tindak kriminalitas yang mengancam perempuan.
Pada dasarnya, penggunaan jilbab adalah bentuk kepatuhan seorang perempuan muslim untuk menutup aurat. Di Indonesia sendiri, jilbab sering disebut kerudung. Kerudung dipadupadankan dengan berbagai setelan atasan bawahan, gamis, dan lainnya.
Variasi jilbab lainnya adalah cadar, niqab, dan burqah yang terkadang masih dibicarakan dengan nada berbeda di kalangan masyarakat kita. Sebagai bagian dari jilbab dan atribut kain pakaian yang menutupi muka atau sebagian wajah perempuan, di mana hanya mata yang terlihat dari keseluruhan bagian tubuh, membuat cadar, niqab, dan burqah menjadi simbol diskursif untuk menyampaikan identitas tertentu yang sifatnya radikal. Padahal hal itu belum tentu terbukti.
Dalam tulisan Kalis di buku ini, alis perempuan yang menggunakan cadar bahkan dianggap menggoda, sehingga persoalan jilbab tidak hanya tentang pakaian dan menutup aurat atau tubuh perempuan, tetapi juga berkaitan dengan pelecehan perempuan secara verbal, kerentanan fisik, konten jilbab yang panen hujatan, bahkan pembunuhan terhadap perempuan atau femisida.
Bukankah sangat disayangkan dan memprihatinkan jika pemahaman terhadap dimensi pengetahuan dan kontrol diri ternyata masih sangat sempit, apalagi hal tersebut terjadi di kalangan yang seharusnya memahami ruang lingkup beragama secara menyeluruh.
Kita harus memaknai kembali identitas dengan tidak melihatnya dari sudut pandang tunggal dan saling memojokkan satu sama lain. Kita harus mampu memberikan penjelasan yang bijak kepada orang awam terkait jilbab dan perempuan, memberi dukungan kepada kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi, serta menindak tegas pelaku kekerasan seksual.
Kemerdekaan Jilbab
Subbab “Jilbab yang Merdeka” berisi tentang perjuangan dan keistimewaan jilbab dan tokoh figur yang memakainya.
Jilbab yang merdeka adalah… jilbab yang menyuarakan kesetaraan hak untuk Muslimah di dunia, jilbab yang tidak dipaksa terus tinggal di rumah hanya untuk melayani keluarga, jilbab yang tidak dibayang-bayangi cap dosa dan penyimpangan saat ada di luar rumah – Hlm. 108.
Kemerdekaan perempuan dewasa ini bercampur dengan ketakutan dan berhadapan dengan kontestasi kekuasaan yang semakin gencar. Sebagian orang masih menerapkan kesenjangan-kesenjangan kuno dengan mempersoalkan siapa memakai apa, siapa yang lebih tinggi, dan siapa yang lebih rendah. Alangkah baiknya jika saat ini kita meninggalkan itu semua dan menggantinya dengan rasionalitas. Biarkan perempuan menjadi dirinya sendiri. Menjadi manusia seutuhnya.
Baca juga:
Menurut wawancara Kalis bersama Bunda Nani Zulminarni (aktivis perempuan dan pendiri yayasan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) dalam buku ini, pada 1980-an potret muslimah Iran masuk ke Indonesia, jilbab yang mereka pakai menjadi simbol revolusi, membawa pesan dan kesan penuh daya, serta wujud perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rezim.
Persamaan “senasib” di bawah rezim Soeharto kemudian membuat kalangan intelektual di Indonesia terpengaruh oleh kemenangan Revolusi Iran. Cerita Bunda Nani Zulminarni menjadi salah satu dari banyaknya tulisan Kalis yang membuka khazanah pemikiran dan pengalaman kemerdekaan jilbab.
Jilbab Hari ini
“Seseorang yang punya pengalaman pahit hanya karena jilbab yang ia kenakan secara sadar, sudah seharusnya mendukung kebebasan berpakaian seseorang. Lalu mengapa hari ini, saat jilbab sudah jadi ekspresi mayoritas, praktik membuli perempuan tidak berjilbab justru dinormalisasi? – Hlm. 103
Pertanyaan jilbab hari ini dan berbagai cerita dari Kalis sangat ringan dan seru untuk dipahami. Bagaimanapun, tuturan Kalis dengan tegas: perempuan yang tidak pakai jilbab tetap terhormat, perempuan tidak berjilbab tidak lantas boleh dilecehkan.
Berjilbab maupun tidak berjilbab, perempuan tetap terhormat dan tidak boleh dilecehkan. Segala sesuatu yang kemudian menjadi identitas kita, sudah seharusnya diputuskan lewat transformasi nalar yang kritis, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat luas.
Semua jilbab dan identitas perempuan yang dirayakan menandakan akan ada yang mengucapkan selamat dan bahagia atas pencapaian kita walaupun mungkin itu tidak berarti di mata orang lain. Semua jilbab dan identitas perempuan memang perlu dirayakan sebagai langkah perjuangan.
Editor: Prihandini N