Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri: Kekerasan dan Intoleransi di Lembaga Pendidikan

Ni'am Khurotul Asna

3 min read

Pemaksaan jilbab bagi siswa di sekolah negeri bisa menjadi salah satu bentuk kekerasan yang membahayakan. Nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan inklusivitas akan terkikis akibat kasus pemaksaan atribut sekolah.

Kita mungkin bisa merasakan betapa mirisnya kasus yang menimpa siswa SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, belum lama ini. Ia mengalami depresi dan menangis di toilet sekolah selama satu jam karena dipaksa memakai jilbab. Akibat dari peristiwa itu, siswa tersebut mengalami trauma dan tidak mau bersekolah di SMAN 1 Banguntapan lagi. Selain itu, kasus pemaksaan jilbab dan seragam panjang juga terjadi di sebuah SD negeri di Tambora dan SMP negeri di kawasan Kebon Jeruk.

Pembatalan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait penggunaan seragam sekolah dan atribut bagi guru dan siswa oleh Mahkamah Agung sangat disesalkan. SKB Tiga Menteri memberikan kebebasan dasar bagi jutaan anak perempuan baik muslim maupun nonmuslim di ribuan sekolah negeri untuk mengenakan jilbab atau tidak.

SKB yang diterbitkan pada 3 Februari 2021 tersebut awalnya membawa angin segar di tengah banyaknya kasus pemaksaan penggunaan atribut dan seragam, terutama jilbab, di sekolah negeri. Salah satu kasusnya terjadi di Padang, seorang ayah melaporkan bahwa anak perempuannya telah dipaksa untuk mengenakan jilbab. Anak perempuan yang tidak menuruti peraturan ini dipaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan.

Kasus yang Mengakar

Kasus pemaksaan penggunaan jilbab di lembaga pendidikan masih jamak terjadi. Mengutip laporan Human Rights Watch, berbagai kasus terbitan Maret 2021 lalu menggambarkan perundungan terhadap perempuan dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab meluas. Tindakan pemaksaan ini dapat mendiskriminasi dan menimbulkan tekanan psikologis.

Selain pemaksaan mengenakan jilbab bagi siswi muslim atas dasar menjaga peneguhan agama, siswa nonmuslim pun diwajibkan untuk mengikuti aturan tersebut. Berdasarkan catatan LSM Setara Institute, sepanjang tahun 2016-2018 terdapat tujuh kasus pemaksaan pelajar beragama Kristen mengenakan jilbab. Kasus ini terjadi di SMP dan SMA Negeri di Riau, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Pemahaman yang Setengah-setengah

Dalam diskursusnya, Sumanto Al-Qurtuby menjelaskan bahwa dalam beragama tidak cukup jika kita hanya membaca rujukan dalil, perkataan jumhur ulama, ayat secara tekstual dan melupakan konteks serta historis. Begitu juga dengan pembahasan jilbab. Kita perlu membaca dengan teliti dan seksama, melihat perkembangan sosial, kondisi, dan sejarah bahwa sebetulnya tidak ada aturan yang pasti mengenai kewajiban memakai jilbab.

Dilihat dari sejarah, setidaknya sejak tahun 2.500 SM kebudayaan Mesopotamia kuno sudah membuat peraturan tata cara berbusana bagi perempuan. Disebutkan bahwa jilbab adalah mekanisme pembeda antara “perempuan elite” dan “perempuan rendahan”. Jilbab hanya boleh dipakai untuk perempuan elite. Perempuan budak, pekerja rendahan, dan perempuan tak berkasta dilarang memakai jilbab. Jika dari mereka ketahuan memakainya, mereka dikenai hukuman berat.

Dalam Islam sendiri, Q.S Al-Ahzab: 5 menjadi salah satu rujukan yang menjelaskan kewajiban hukum berjilbab bagi perempuan. Ayat ini turun sebagai respons atas apa yang dialami istri Nabi Muhammad Saw. Saat pergi ke luar rumah, mereka diganggu oleh kaum laki-laki. Akhirnya jilbab dikenakan untuk membedakan perempuan budak dan perempuan merdeka. Perempuan merdeka diimbau untuk mengenakan jilbab saat keluar rumah, sedangkan perempuan budak tidak. Dari sini kita bisa memahami konteks turunnya ayat tersebut, yakni untuk melindungi perempuan dari godaaan laki-laki.

Sementara itu, jika mengingat kembali masa orde baru, aturan terkait penggunaan jilbab cenderung represif. Dirjen Pendidikan dan Menengah, Darji Darmodiharjo, pernah mengeluarkan SK pada 1 Maret 1982 tentang seragam sekolah nasional yang melarang jilbab di sekolah negeri. Pada kasusnya, delapan siswi SMAN 3 Bandung pernah diancam akan dikeluarkan dari sekolah apabila tidak melepas jilbabnya.

Baca juga:

Dari banyaknya kasus, alih-alih mendambakan kemaslahatan dari atribut yang dipakai, pemaksaan jilbab di sekolah sebetulnya menciptakan dampak negatif terlepas dari orientasi penggunaan seragam di sekolah. Aturan penggunaan seragam yang serba ditentukan dapat menyulitkan ekonomi orang tua yang berusaha memenuhi kriteria seragam yang harus dipakai. Tanpa disadari pula, mewajibkan jenis pakaian tertentu pada anak dan tidak memberikan mereka kebebasan untuk memilih, dapat menumbuhkan memori kolektif pada anak. Seperti anggapan bahwa menjadi umat Islam harus berpakaian panjang dan berjilbab untuk perempuan. Sebaliknya, mereka yang tidak memakai pakaian panjang dan tidak berjilbab dianggap tidak mencerminkan Islam. Pemaksaan juga mengakibatkan anak merasa tidak diberikan hak untuk memilih mana yang nyaman dan pantas untuk mereka pakai.

Lebih jauh dan penting, segala aturan yang masih mewajibkan siswa sekolah negeri mengenakan seragam panjang dan berjilbab dapat menciptakan jarak antara siswa muslim dan nonmuslim. Jika masih bersikeras dengan peraturan yang ada, ini menandakan bahwa alih-alih menciptakan nilai-nilai keberagaman, sekolah justru mempraktikkan intoleransi.

Meminjam paradigma pengetahuan M. Quraish Shihab dalam bukunya, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, jilbab lebih condong kepada budaya Arab dibandingkan Islam. Dengan ini, mewajibkan anak-anak yang belum akil baligh mengenakan jilbab berpotensi bukan penerapan pendidikan Islam, melainkan budaya Arab.

Barangkali beberapa dari kita menyadari sekaligus memahami bahwa penggunaan jilbab adalah tradisi baik yang bernormakan agama. Sebab pada dasarnya masyarakat kita merupakan kalangan yang lahir dan lekat dengan beragam adat dan budaya. Lambat laun, kita juga akan menemukan tradisi yang ada perlahan-lahan menjadi ajaran normatif agama. Namun, terbuka juga kemungkinan penggunaan jilbab di sekolah negeri tidaklah memaksa semua anak untuk mengenakan, baik untuk siswa muslim maupun nonmuslim.

Berbagai aspek tanpa kita sadari menjadikan jilbab semacam komoditi yang menguntungkan karena membawa nilai keteguhan agama. Mereka berlomba-lomba mengubah tradisi yang mereka anggap lebih baik dari tradisi asal karena telah dipengaruhi oleh nilai agama yang kuat. Barangkali banyak orang yang lupa bahwa ada hal yang memengaruhi kuatnya konflik sosial jilbab itu. Konteks dan historis sangatlah penting. Melupakan konteks dan historis dalam memahami agama akhirnya melahirkan tuntutan dari berbagai kalangan agar ajaran agama (termasuk Islam) harus dilaksanakan secara tuntas.

Evaluasi Peraturan

Perdebatan penggunaan jilbab menjadi atribut menjadi PR sekaligus momentum Kemendikbud untuk membereskan persoalan intoleransi di sekolah. Pengawasan oleh dinas maupun Kemendikbud sendiri hanya bersifat administratif tanpa membahas lebih dalam aspek keberagaman dan kebhinekaan di sekolah. Kapasitas pendidik pun dirasa masih kurang mumpuni, sebab bekal teori dan praktik dirasa masih kurang.

Kapasitas berperspektif pluralisme dan kebhinekaan bagi pendidik maupun perserta didik sangat penting untuk dipupuk dan dievaluasi supaya tumbuh pemahaman bersama. Aturan atau UU yang memberi kebebasan dan menghormati hak pilihan masing-masing individu tanpa diskriminasi akan membuat pendidikan di negeri ini menjadi lebih baik.

 

Editor: Prihandini N

Ni'am Khurotul Asna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email