Dalam ranah kebudayaan kontemporer, acapkali kita menemukan berbagai istilah yang diberi label awalan the end of ataupun the death of. Semisal the end of history (berakhirnya sejarah), the end of art (matinya seni) ataupun the death of author (wafatnya sang pengarang). Dan masih banyak lainnya. Tak ayal beberapa pegiat budaya juga filsafat sering menyebut abad ini sebagai abad kematian dari segala sesuatu. Sekedar tambahan informasi, ketiga frasa seperti yang telah disebutkan tadi merupakan judul tulisan dari para pemikir filsafat kebudayaan. Secara berurutan, mulai dari Francis Fukuyama (1952-), Arthur C. Danto (1924-2013) serta Roland Barthes (1915-1980).
Ihwal awalan the end of dan atau the death of ini bisa mengundang gelak tawa maupun diskusi hangat di kalangan para pegiat maupun penikmat kebudayaan kontemporer. Tak jarang kernyitan dahi bagi mereka yang baru mulai berkecimpung didalamnya. Namun sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan the end of maupun the death of? Mengapa frasa tersebut seakan-akan perlu dan senantiasa patut dikenakan sebagai awalan pada setiap unsur budaya di era Pascamodern? Toh bukankah kebudayaan senantiasa hidup. Dalam arti proses produksi, distribusi dan konsumsinya terus berlangsung seperti biasa. Hari lepas hari. Waktu demi waktu.
Untuk bisa menolong dalam memahami label the end of maupun the death of, kita perlu kembali menengok Metafisika Tradisional dalam Sejarah Filsafat Barat. Sebagaimana kita ketahui, selama ribuan tahun, mulai dari Platon hingga Kristianisme, ada suatu ide/gagasan sentral yang membayangkan adanya esensi yang mendahului eksistensi. Artinya, saat kita berbicara tentang manusia secara otomatis kita selalu berpikir tentang Tuhan yang memiliki esensi (ide, tujuan, kodrat ) mengenai manusia, sebelum Ia menciptakan manusia, laki dan perempuan. Jean Paul Sartre melalui tulisan-tulisannya L’Être et le néant (Being and Nothingness) dan L’Existensialisme est un Humanisme (Existensialism is Humanism) mempersoalkan atau katakanlah menggugat perihal gagasan ini. Jika esensi mendahului eksistensi, maka Sang Khalik tak ubahnya dengan pengrajin pembuat coupe-papier (pisau kecil untuk memotong kertas). Sang pengrajin sebelum menciptakan coupe-papier, pertama-tama memiliki ide tentang coupe-papier itu di kepalanya. Termasuk soal tujuan serta cara penggunaannya.
Sebagai halnya dengan coupe-papier, manusia dalam perspektif Metafisika Tradisional Barat dicipta untuk suatu tujuan tertentu oleh Sang Pengrajin (Le Créatur). Istilah yang Sartre gunakan ketika mengandaikan Tuhan. Dan dalam seluruh perjalanan panjang hidupnya di dunia, manusia perlu menjawab tujuan dari Le Créatur. Esensialisme (Metafisika Tradisional) inilah yang kemudian digugat oleh Jean Paul Sartre. Juga termasuk oleh para filsuf di masa senjakala modernisme hingga para filsuf Postmodernis.
Anti Esensialisme dalam pandangan Sartre dan banyak pemikir Postmodernis lainnya memang cukup banyak dipengaruhi oleh pandangan Friedrich Nietzsche (1884-1900). Salah seorang dari tiga filsuf pencuriga disamping Karl Marx dan Sigmund Freud. Nietzsche melalui salah satu magnum opusnya: Die Fröhliche Wissenschaft (The Gay Science), berkata petah, “Kita telah membunuh Tuhan – kalian dan saya. Kita semua adalah pembunuh-Nya… Tuhan sudah mati. Tuhan terus mati…” Kematian Tuhan yang diproklamasikan oleh Nietzsche adalah pernyataan kematian Sang Pencipta esensi, Dia yang Tunggal, Pusat (sentral), Mutlak, Absolut dan Benar. Bagi para filsuf anti esensialisme, peristiwa tersebut terlalu cepat dan terlampau besar sehingga menjadi suatu kunci yang mengimplikasikan terbukanya horizon seluas-luasnya bagi energi kreatif untuk berkembang penuh.
Pasca kematian Tuhan, tidak ada lagi esensi apapun yang mendahului (membelenggu) eksistensi manusia. Tidak ada sebab awal serta tujuan akhir yang absolut (finalitas ultimat) yang bisa dilekatkan pada ada-nya manusia di muka bumi ini. Meminjam kata-kata tokoh Ivan dalam The Brother of Karamazov, karangan Fyodor Dostoevsky, “Jika Tuhan tidak ada, maka semuanya diizinkan.” Manusia dikutuk untuk bebas. Manusia harus menciptakan tujuan bagi hidupnya sendiri. Atau dengan kata lain mengambil tanggung jawab penuh atas tindakannya sendiri tanpa panduan moral obyektif. Sartre meringkasnya dengan kalimat, “Eksistensi mendahului esensi.”
Dalam eksistensialisme atau pasca kematian Tuhan, tidak ada lagi sesuatu yang besar/meta yang dapat dijadikan pusat, acuan juga esensi. Tidak ada lagi Kebenaran (dengan ‘K’ besar) yang mutlak benar, obyektif, absolut yang menjadi pusat, acuan umat manusia. Kebenaran dengan K besar sudah mati. The death of Truth. Termasuk entitas kebudayaan lainnya seperti filsafat, seni, sastra, sejarah dan lain-lain. Tiada ada lagi diskursus Seni (dengan ‘S’ besar) yang otonom, universal yang menjadi pusat, acuan bagi pertumbuhan seni rupa sedunia. Sebagaimana digadang-gadang oleh Seni Rupa Modern Barat. Seni dengan S besar sudah selesai. The death of Art. Enggak ada lagi narasi Sejarah (dengan ‘S’ besar) yang linear, tunggal atau bahkan deterministik yang menjadi babon acuan bagi perkembangan sejarah umat manusia. Sejarah sudah berakhir, The End of History, bersamaan dengan berakhirnya perang dingin juga runtuhnya Tembok Berlin. Tak ada lagi pertentangan antara Kapitalisme dan Komunisme. Inilah yang dirayakan dalam Era Postmodernisme. Masa yang sering disebut-sebut sebagai era matinya narasi-narasi besar. Meminjam ubah kata-kata Jeanette Winterson dalam Sexing The Cherry, “Saya tidak mencari Kebenaran dalam narasi-narasi besar, hanya mencari eksistensi dri saya sendiri. Dan itu perkara yang jauh lebih rumit. Tentang Kebenaran dalam narasi-narasi besar (entah dalam wujud ideologi, kepercayaan dan lain sebagainya), sudah banyak yang ditulis; (namun) tidak ada yang ditulis tentang saya. Kebenaran dengan K besar…lebih mudah ditemukan. Bahkan dalam kegelapan.”
Sebagai penutup dan untuk lebih memperjelas apa yang ditulis, saya akan meminjam konsep dan istilah yang digunakan oleh Gilles Deleuze (1925-1995) dan Felix Guattari (1930-1992) dalam buku A thousand Plateaus: Capitalism and Schizophernia, yaitu Rhizomatic. Dalam Bahasa Indonesia diistilahkan sebagai rhizoma dan atau rimpang. Dalam pengandaian Deleuze dan Guattari, rhizome atau rimpang merupakan sistem yang merayakan ketiadaan pusat atau kekosongan hierarki pada konektivitas. Hal ini disebabkan karena model rhizoma lebih menjunjung inklusifitas, desentralisasi, kejamakan, fleksibilitas juga keberagaman. Rhizomatic merupakan lawan dari sistem arborescent yang lebih mengutamakan atau bersifat serba struktur, hierarkis universal (seragam) dan linear. Disinilah kita bisa melihat sekaligus menarik benang merah antara pemikiran Sartre, Nietzsche dan Deleuze-Guattari dalam memandang awalan The Death Of dan The End Of pada dinamika Kebudayaan Kontemporer. The Death Of dan The End Of sudah membuka ruang bagi pentingnya untuk mengakui serta menghargai keragaman kebudayaan dalam berbagai wujudnya. Tinggal kita mengisinya relasi kemanusiaan yang rhizomatik.