Agaknya sebagian orang Indonesia keberatan jika orang lain tidak beragama. Hal ini dapat kita lihat dari reaksi netizen yang menanggapi gugatan sejumlah orang terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Dalam gugatan tersebut, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga tidak menganut agama. Sebagian netizen mendukung, namun tidak sedikit juga yang menentang.
Secara konstitusional, negara sebetulnya menjamin perlindungan hak beragama warga negara. Hak artinya boleh, tetapi tidak harus. Namun, pada kenyataannya orang kerap kali tidak dapat secara terbuka mengaku bahwa ia tidak beragama, lantaran ada kelompok-kelompok masyarakat yang keberatan dengan hal tersebut. Mengapa ada orang yang keberatan dengan ketakberagamaan orang lain?
Ada asumsi umum yang kerap kali saya temukan dalam setiap perbincangan mengenai kebebasan beragama. Menurut asumsi tersebut, jika orang tidak beragama, maka ia akan menjadi tidak bermoral, sebab ia tidak terikat oleh aturan-aturan sakral dari kitab suci mana pun. Asumsi inilah barangkali yang membuat sebagian orang Indonesia resah jika mereka hidup berdampingan dengan orang yang tidak beragama. Tapi, apa sih artinya menjadi bermoral?
Bermoral dapat kita definisikan secara sederhana saja sebagai bersikap, bertindak, atau berperilaku yang baik, dalam artian tidak menyusahkan orang lain. Menjadi bermoral sangat penting karena pada dasarnya kita punya kebutuhan sosial untuk diterima dalam komunitas di mana kita hidup. Untuk itu, kita perlu membangun relasi sosial yang baik dengan orang lain. Dan sikap, tindakan, atau perilaku yang menyusahkan orang lain tentu bertentangan dengan tujuan tersebut.
Agama memang merupakan salah satu sumber moral. Agama mengajarkan orang untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan tercela. Namun, agama bukan satu-satunya sumber moral, dan sebetulnya afiliasi agama tidak bersifat prerequisite alias bukan syarat untuk seseorang menjadi bermoral.
Baca juga:
Kita dapat membandingkan misalnya masyarakat di negara-negara Skandinavia yang pada umumnya tidak hidup dengan nilai-nilai yang diadopsi dari kitab suci, dengan masyarakat di negara-negara yang hidup dengan nilai-nilai agama, seperti Indonesia. Secara makro, negara-negara Skandinavia lebih minim kasus korupsi. Sementara itu, kasus korupsi di Indonesia tinggi sekali, itu pun penegakannya tebang pilih atas nama kepentingan politik. Ini mencerminkan bagaimana sebuah bangsa menyikapi kejujuran dan ketakjujuran.
Pada level individu, orang-orang di negara-negara Skandinavia lebih jujur, mereka bahkan tidak mengambil dompet yang jatuh atau barang orang lain yang ketinggalan. Sedangkan di Indonesia, belum lama ini ada kabar orang menguras ATM dari dompet yang katanya ia temukan di jalan. Artinya bukan afiliasi agama per se yang membuat orang menjadi bermoral, melainkan hal lain. Apa itu? Menurut saya, kemampuan bernalar dengan benar dan berempati dengan akurat.
Kemampuan bernalar dengan benar berhubungan langsung dengan bagaimana kita bisa memahami konsekuensi logis dari sikap, tindakan, dan perilaku kita. Ini juga penting untuk memahami teks-teks dalam kitab suci yang menjadi sumber moral sebagian orang. Pemahaman yang keliru akan makna suatu teks dalam kitab suci maupun akan konsekuensi logis dari tindakan-tindakan kita, dapat membuat kita justru melakukan hal-hal yang kontraproduktif dengan niat baik kita.
Ada cerita yang anekdotal dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami (2013) tentang bagaimana kesalahpahaman akan suatu konsep moral itu bisa menimbulkan efek-efek yang konyol. Ada bagian yang menceritakan seorang anak SD yang mendengarkan dan menyimak teman-temannya membicarakan hal-hal jorok. Lalu, pada suatu waktu ia membaca daftar dosa yang dilaknat Tuhan dalam kitab sucinya. Ia bertemu dengan satu istilah yang tidak ia pahami, yakni berbuat cabul. Oleh karena ketidakpahamannya tentang istilah tersebut, ia menghubungkan dengan pengalamannya mendengarkan teman-temannya membicarakan yang cabul-cabul, lalu di bilik pengakuan dosa ia mengaku dirinya telah berbuat cabul, yang tentu saja membuat pastor terkejut bukan main.
Di realitas, kerancuan berpikir dalam memahami konsep sering menimbulkan kejadian-kejadian yang lebih parah dan tidak lucu. Misalnya, belum lama ini ada kabar memilukan tentang dua remaja kakak-beradik di Purworejo yang diperkosa oleh tiga belas orang laki-laki. Alih-alih mendapat pertolongan, ia malah dipaksa menikah siri dengan pelaku oleh warga desa. Mengapa? Karena warga desa menganggap pemerkosaan sama halnya dengan zina, yang dalam pemahaman mereka artinya persetubuhan di luar nikah, sehingga pernikahan dianggap sebagai jalan untuk mempertanggungjawabkan persetubuhan yang “tidak sah” tersebut. Padahal, berbeda dengan persetubuhan konsensual yang dilakukan di luar institusi pernikahan, pemerkosaan adalah sebuah kejahatan.
Baca juga:
- Perempuan dalam Siklus Kekerasan Seksual
- Pekerjaan Rumah Menyediakan Aborsi Legal bagi Korban Perkosaan
Lebih jauh, kerancuan berpikir juga lebih sering menghalangi orang dari berempati atau memahami kondisi orang lain dengan akurat. Pada contoh kasus yang telah disebutkan, kita bisa melihat bagaimana kesalahpahaman akan konsep zina membuat warga desa gagal menyadari bahwa ada korban di sana yang membutuhkan pertolongan, bukan pernikahan. Implikasinya, mereka memaksa korban menikah dengan pelaku tanpa mereka menyadari betapa yang mereka lakukan terhadap dua remaja tersebut sangatlah kejam dan jauh dari kata bermoral.
Jadi sebetulnya, baik dengan atau tanpa agama, orang dapat menjadi bermoral jika ia memiliki kapasitas yang cukup untuk memahami konsekuensi-konsekuensi logis dari sikap dan tindakan-tindakannya, atau setidaknya memahami konsep-konsep moral dalam agamanya dengan benar sehingga betul-betul dapat membawa rahmat dan bukan malapetaka. Sebaliknya, tanpa penalaran yang benar dan empati yang akurat, orang berhati baik pun dapat melakukan hal-hal keji dan tidak bermoral. Oleh sebab itu, alih-alih mempersoalkan ketakberagamaan orang lain, yang sebetulnya adalah wilayah pribadi, alangkah lebih baik jika kita mengerahkan energi untuk memerangi kebodohan agar ia tak menjelma kekuasaan yang melanggengkan penindasan dan ketidakadilan. (*)
Editor: Kukuh Basuki