Dunia digital telah menciptakan realitas baru. Mimpi-mimpi besar terkadang kalah dengan hiburan kecil di layar. Hari ini, kita melihat generasi yang lebih memilih mencapai level tinggi dalam permainan daripada tujuan hidup yang nyata. Apa yang terjadi pada dunia kita? Apakah kita kehilangan arah, ataukah ini cara baru menikmati hidup?
Dalam era ini, banyak orang lebih memilih mencapai level tinggi di media sosial daripada tujuan hidup yang nyata. Generasi yang lahir di tengah pesatnya perkembangan teknologi mengalami pergeseran pola pikir yang signifikan. Mereka lebih sering mencari kepuasan instan yang ditawarkan oleh media sosial, permainan daring, dan hiburan digital lainnya daripada menetapkan dan mengejar ambisi jangka panjang.
Kebiasaan scrolling tanpa tujuan telah menjadi bagian yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Menurut laporan dari Kompas.com, pengguna internet di Indonesia tercatat sebagai salah satu kelompok yang paling sering menggunakan smartphone pada 2023. Rata-rata setiap orang di Indonesia menghabiskan waktu sekitar 6 jam per hari dengan ponsel mereka. Tanpa disadari, waktu yang berharga ini sering terbuang hanya untuk menonton berbagai konten tanpa arah yang jelas.
McLuhan, seorang pakar komunikasi, pernah mengatakan bahwa the medium is the message. Media tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk pola pikir dan persepsi manusia. Media sosial menciptakan standar baru dalam mendefinisikan kebahagiaan, kecantikan, dan kesuksesan. Hal-hal yang bersifat subjektif menjadi seolah-olah absolut, membuat banyak orang terjebak dalam ilusi kehidupan sempurna yang ditampilkan di layar.
Algoritma dan Ekspektasi Sosial
Melalui algoritma yang dirancang untuk menampilkan konten yang menarik perhatian, media sosial menciptakan ekosistem di mana tren, gaya hidup, dan standar sosial terus berubah secara cepat. Konten yang viral sering kali membentuk persepsi kolektif tentang apa yang dianggap ideal.
Baca juga:
Misalnya, dalam dunia kecantikan, filter digital dan aplikasi edit foto telah mengubah standar estetika, menciptakan gambaran yang sering kali tidak realistis tentang tubuh dan wajah manusia. Akibatnya, banyak orang merasa tertekan untuk memenuhi standar yang sebenarnya tidak alami dan sulit dicapai.
Fenomena ini berdampak pada kesehatan mental banyak individu, terutama generasi muda yang tumbuh dengan ekspektasi sosial yang dibentuk oleh media digital. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kecemasan, depresi, dan perasaan rendah diri akibat perbandingan sosial yang tidak sehat.
Di era digital ini, realitas sering kali dikaburkan oleh narasi yang dikendalikan oleh algoritma dan pencitraan, sehingga individu perlu lebih kritis dalam mengonsumsi informasi serta membangun kesadaran akan dampak psikologis yang ditimbulkan oleh media sosial.
Dalam perspektif filosofis, pertanyaan tentang arah kehidupan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga eksistensi manusia itu sendiri: Kita ini hidup untuk mencapai sesuatu yang lebih besar atau sekadar menikmati perjalanan tanpa tujuan?
Dunia digital telah mengaburkan batas antara kenyataan dan ilusi, tetapi pada akhirnya makna hidup tetap menjadi pilihan individu. Seperti kata filsuf Jean-Paul Sartre, manusia bebas menentukan arti keberadaannya sendiri. Di tengah dunia yang berubah, kita harus berani mendefinisikan ulang kebahagiaan, kesuksesan, dan arah hidup kita sendiri.
Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, manusia tidak lagi hidup secara monoton dan terbatas pada satu tempat atau lingkungan tertentu. Kini kita dapat berada di banyak ruang sekaligus, baik fisik maupun virtual, dan terlibat dalam berbagai aktivitas dengan sangat mudah.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah membuka akses seluas-luasnya untuk menjelajah, berkomunikasi, dan membentuk identitas, namun di sisi lain juga membawa dampak besar terhadap cara kita memaknai hidup, termasuk munculnya gejala degradasi moral.
Salah satu instrumen paling dominan dalam kehidupan modern adalah media sosial. Ia menjadi kendaraan utama dalam menyebarkan pesan dan pemahaman dengan kecepatan luar biasa, tanpa selalu memperhatikan kebenaran atau validitas informasi yang disampaikan. Media sosial berubah menjadi panggung sandiwara informasi, di mana batas antara fakta dan opini, antara realitas dan ilusi, semakin kabur.
Konten-konten yang dominan sering kali hanya berorientasi pada hiburan semata, yang tanpa sadar menjadikan kita malas berpikir dan kehilangan daya kritis. Akibatnya, masyarakat kita cenderung tidak lagi haus akan pengetahuan dan kebenaran, tetapi justru lebih tertarik pada hiburan singkat dan komentar-komentar yang dangkal.
Kita pun mulai menyadari bahwa hampir seluruh aspek kehidupan sehari-hari tidak lepas dari media sosial: mulai dari bangun tidur, makan, mandi, belajar, hingga sebelum tidur kembali. Pertanyaannya, jika keterlibatan ini begitu mendalam, apakah kita masih memiliki kebebasan sejati? Atau justru telah menjadi terikat, bahkan dikendalikan oleh sistem digital yang kita anggap netral?
Baca juga:
Di Mana Batas Kebebasan?
Dalam perspektif Jean-Paul Sartre, manusia tidak hanya bebas, tetapi juga harus sadar akan kebebasannya. Kesadaran itu menjadi dasar bagi tanggung jawab. Manusia harus menyadari keberadaannya, dan menyadari keberadaan berarti menyadari cara ia bertindak dan apa dampak dari tindakannya. Dalam konteks ini, penggunaan media sosial mencerminkan realisasi kebebasan, namun jika tidak disertai kesadaran, kebebasan itu dapat berujung pada kekeliruan, termasuk dalam bentuk penyalahgunaan ruang digital.
Degradasi moral yang terjadi di media sosial bisa dipahami sebagai manifestasi dari kebebasan yang dijalankan tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu, individu yang sadar akan kebebasannya harus kembali menyadari bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi. Baik positif maupun negatif, dampak dari kebebasan itu adalah tanggung jawab yang harus diterima sepenuhnya.
Lebih jauh, Sartre menegaskan bahwa tanggung jawab manusia tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial. Kita tidak hidup sendiri. Pilihan-pilihan kita, termasuk dalam bermedia sosial, juga berdampak pada orang lain. Inilah inti dari pandangan Sartre yang humanistik: bahwa kebebasan tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab terhadap sesama.
Pandangan ini mendorong kita untuk menggunakan media sosial dengan kesadaran dan tanggung jawab yang utuh. Bukan hanya demi menjaga integritas diri sendiri, tetapi juga demi menciptakan ruang digital yang lebih etis, sehat, dan bermakna. Oleh karena itu, sebagai refleksi, ketika kita menyadari bahwa kebebasan kita juga membawa tanggung jawab terhadap orang lain, apa yang akan kita lakukan dengan kebebasan itu?
Editor: Prihandini N