Biennale Jogja dikenal sebagai penyelenggara pameran-pameran seni kontemporer yang tiket pamerannya sering kali ludes habis diserbu publik. Saya teringat sulitnya mendapat tiket pameran “Biennale Jogja XVI Equator #6 2021: Indonesia with Oceania” dengan judul “Roots<>Routes”.
Meskipun begitu, Biennale Jogja bukan sekadar event organizer pameran, melainkan sebuah ekosistem seni yang secara aktif mereka memproduksi wacana kesenian, melakukan riset, mengelola program residensi, hingga mengupayakan berbagai peristiwa seni dalam lingkup lokal atau global (yang bekerjasama dengan seniman global). Pada tahun 2022, Biennale Jogja merayakan 10 tahun terselenggaranya seri Equator atau Khatulistiwa yang mencakup pameran seni, simposium, dan berbagai aktivitas lainnya.
Refleksi perjalanan 10 tahun Biennale Jogja menyelenggarakan rangkaian peristiwa seni berbasis gagasan khatulistiwa dirangkum dalam buku berjudul 10 Tahun Biennale Jogja: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi. Khatulistiwa, dalam gagasan Biennale Jogja, bukan sekadar lokasi geografis di mana Indonesia terletak. Khatulistiwa adalah locus berkesenian, sumber gagasan, dan tawaran alternatif untuk menyuarakan bentuk baru internasionalisme seni.
Seperti yang dituliskan Alia Swastika dalam pengantarnya, selama ini upaya seniman Indonesia untuk masuk dalam ritme global dipahami sebatas “mengejar proyek” pada pusat-pusat seni di Eropa atau Amerika Serikat saja. Terutama melalui bantuan lembaga internasional dengan pengajuan proposal proyek kesenian, ekshibisi, dan residensi, para seniman Indonesia berupaya menjadi global dengan bertandang ke pusat imperium seni. Padahal, Indonesia sebagai bangsa memiliki sejarah panjang saling-silang budaya dengan dunia. Untuk itu, Biennale Jogja melihat khatulistiwa sebagai locus kerja kesenian dalam ruang yang lokal sekaligus global.
St. Sunardi membahas dalam satu tulisannya bahwa Biennale Jogja Equator memperlihatkan upaya untuk keluar dari dirinya sendiri dan mencapai suatu point of no return. Dalam berbagai upaya kritis itulah buku ini penting untuk dibahas dan diperbincangkan, terutama untuk merefleksikan hal mendasar pada ekosistem kesenian kita yang dianggap terberi, mapan, dan jarang digugat.
Bahasan dalam buku berformat kumpulan tulisan ini mencakup wacana kesenian alternatif, dekolonisasi pengetahuan, pemetaan situasi ekosistem seni global, dan kemungkinan produksi kesenian yang melibatkan warga dalam konteks lokal maupun translokal. Lebih lanjut, refleksi kritis tentang kesenian dalam buku ini juga menyoal seperti apa imajinasi seni global yang setara dalam dinamika geopolitik kontemporer.
Baca juga:
Karya seni tak pernah sesederhana ekspresi atau eksplorasi estetik semata. Ia akan selalu terhubung pada denyut nadi masyarakat tempat proses penciptaan itu berlangsung. Persinggungan seni dan konteks di sekitarnya selalu menarik untuk diperbincangkan. Hal ini terlihat dalam beberapa tulisan yang membahas wacana alternatif yang disuarakan sepanjang Biennale Jogja Equator.
Pembacaan kritis melalui pendekatan poskolonial dalam karya-karya seni di Biennale digambarkan dalam tulisan Siapakah yang (Bisa) Berbicara: Perempuan dan Wacana Subaltern dalam Biennale Jogja Equator karya Saraswati N. Saraswati membahas karya seni dari perupa Ampanee Satoh dari Thailand, Sheba Chhachhi dari India, dan Citra Sasmita dari Indonesia yang menyuarakan shared-histories dan penindasan berlapis para perempuan dari India, Thailand, dan Indonesia dalam kerangka teori subaltern milik Gayatri Spivak.
Selanjutnya, tulisan Sabrina Citra yang berjudul Materialitas & Materialisasinya: Refleksi atas Eksotisasi Lokalitas dalam Biennale Jogja Seri Equator menganalisis lokalitas dalam karya-karya pameran Biennale Jogja. Menurutnya, lokalitas yang disajikan melalui berbagai instalasi seni dan karya lainnya adalah upaya terhubung kembali dengan pengetahuan lokal, terutama jika melihat sejarah panjang kolonialisme di Dunia Selatan.
Selain pembacaan wacana alternatif, ada juga tulisan yang merangkum percakapan dengan para kurator seniman dan sosok yang terlibat dalam rangkaian Biennale Jogja Equator. Percakapan dengan kurator Suman Gopinath dari India, Jude Anogwih dari Nigeria, dan Arham Rahman dari Indonesia memberi pandangan kritis tentang ekosistem seni dan upaya melampaui relasi timpang antara “pusat” kesenian di Eropa atau Amerika dan kawasan “pinggiran” di Dunia Selatan.
Relasi timpang dalam ekosistem seni global dan upaya melampauinya menjadi bahasan yang penting dalam menjawab tantangan dunia pascakolonial. Tulisan Biennale Kawasan Selatan dalam Konteks Tepian Global karya Charles Green dan Anthony Gaardner juga turut menyuarakan dan memetakan permasalahan ketimpangan ekosistem seni global itu. Poinnya adalah bagaimana mengupayakan pemaknaan ulang pada berbagai isu pascakolonial yang terjadi di Dunia Selatan, terlebih untuk ditempatkan pada tatanan dunia hari ini.
Selanjutnya, ada pembahasan menarik soal relasi warga dan aktivitas seni, yang dalam konteks seni kontemporer ada upaya melampaui jurang pemisah antara warga dan aktivitas kesenian. Ada dua tulisan yang membahas hal itu secara mendalam, yaitu Seperti Luka di Bawah Kulit: Menelusuri Pengalaman Seniman ketika Menciptakan Praktik Performatif bersama Warga yang ditulis Arlingga. H. N dan Tomi Firdaus, lalu Publik, Seni, Biennale Jogja. Kedua tulisan ini membahas bagaimana partisipasi warga—yang selama ini dianggap audiens dan penonton saja, tidak memiliki kapasitas untuk terlibat pada peristiwa seni—sebagai bagian sentral dari sebuah peristiwa seni.
Baca juga:
Ulasan ini memang terlalu singkat untuk menggambarkan kompleksitas tawaran kewacanaan dalam buku 10 Tahun Biennale Jogja. Akan tetapi, keberadaannya perlu untuk merangkum refleksi kritis yang relevan untuk para pegiat seni di Indonesia.
Sederhananya, buku itu bisa dilihat sebagai upaya memetakan masalah-masalah global dalam ekosistem seni dan bagaimana para pegiat seni di Dunia Selatan menyikapinya. Tawaran yang diajukan di situ bisa menjadi bahan refleksi bersama bagi kolektif seni, seniman, hingga peneliti yang bergulat dalam kajian seni di Indonesia. Boleh dikatakan, 10 Tahun Biennale Jogja melampaui apa yang terjadi dalam perjalanan Biennale Jogja saja. Sebab, ia juga memantik refleksi atas perjalanan panjang ekosistem seni di Indonesia.
Selama ini, Indonesia mungkin hanya dianggap sebagai lokasi residensi atau produksi seni global dilakukan. Mudah membayangkan sosok seniman dari berbagai negara di Dunia Utara menjadi ekspatriat dadakan di Bali untuk mencari ilham bagi karya-karyanya. Mudah juga melihat berbagai film dari Amerika Serikat atau Eropa menjadikan Indonesia sebagai lokasi shooting. Hal ini banyak diglorifikasi dan dibangga-banggakan; bahwa Indonesia memang seindah slogan Wonderful Indonesia sehingga para seniman Dunia Utara jauh-jauh datang untuk memproduksi karya di Bali dan lokasi eksotis lainnya.
Kemudian, ada berbagai masalah yang muncul. Apakah Indonesia sebatas menjadi objek dari produksi seni global? Apakah Indonesia hanya laboratorium tempat eksperimen kesenian dilakukan? Atau, apakah kita hanya “tambang” dari sebuah siklus pasar seni global? Buku ini ingin mematahkan asumsi-asumsi itu. Tak ada lagi pusat-pusat seni di mana kawasan pinggiran perlu mengemis validasi kepada pusat-pusat itu atau memohon-mohon seniman adiluhung dari Dunia Utara mencipta karya di Indonesia.
Tawaran soal khatulistiwa sebagai locus memberi cara pandang bahwa peristiwa seni tak selalu harus berpusat di Paris, London, Venesia, Berlin, dan kota besar di Eropa saja, tetapi juga kawasan lain di Dunia Selatan. Produksi pengetahuan melalui kesenian tak perlu menghamba kepada pusat-pusat itu juga. Justru, gugatan terhadap dominasi apa yang selama ini dianggap pusat perlu diupayakan supaya berbagai isu yang dihadapi warga Dunia Selatan bisa terdengar gaungnya ke seluruh penjuru dunia.
Kesenian menjadi medium resistensi pada tatanan dunia yang mapan, terutama dalam konteks Dunia Selatan yang selama ini dianggap hanya kumpulan “negara-negara berkembang” dan tak maju. Dalam hal ini, kesenian adalah ruang yang memungkinkan suara-suara subjek yang selama ini diabaikan dan dibungkam mendapat ruang bersuara. Seperti yang disampaikan Jacques Ranciere, kesetaraan adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan dalam proses, di mana subjek yang tak masuk dalam hitungan kemudian perlu memverifikasi kesetaraannya, menggugat apa yang selama ini dianggap normal dan mapan.
Kerja-kerja kesenian bisa menjadi upaya mewujudkan perubahan sosial, terutama ketika kesenian hadir untuk melakukan disrupsi pada tatanan dominan. Peristiwa seni kemudian menempati posisi penting dalam cita-cita bersama untuk tata dunia baru yang setara dan adil. Merayakan khatulistiwa adalah merayakan keberagaman, kesetaraan, dan saling-silang yang dinamis antarkawasan di dunia ini.
Editor: Emma Amelia