i. untuk Adinda, dari Saijah:
aku melihat kamu memuntahkan takut, sayangku
menanti-nanti kebangkitan mesias pada hari ketiga,
tapi batal karena pengajuan formulir cuti sang mesias ditolak kepala ruangan
aku melihat kamu memuntahkan luka, sayangku
meski, aku akan mati dipeluk bayonet,
mencipta luka baru yang persis seperti milik Marsinah
aku melihat kamu memuntahkan nyawa, sayangku
adindaku, sayangku, apakah kematian kita selalu terulang lagi pada abad-abad yang berlari?
adindaku, sayangku, ternyata sejarah tak bergerak!
putar balik dari Batavia,
memutar sebentar di Lebak,
kembali lagi di desa kita, Badur,
putar balik di Sidoarjo,
memutar sebentar di Kendeng,
kembali lagi di Cipondoh
adindaku, sayangku, Bupati Lebak ternyata belum lengser dari 1856,
rampas merampas kerbau-kerbau milik tetangga desa
adindaku, sayangku, apakah kematian kita selalu terulang lagi pada abad-abad yang (((masih akan terus))) berlari?
–
ii. menyaksikan butter dance
skena seni kontemporer selalu mengejutkan,
tadinya aku mau lihat pameran dan performans Melati Suryodarmo
aku kaget setengah mati
ternyata itu bukan Melati Suryodarmo,
melainkan Ontosoroh
menari pada tumpukan butter,
jatuh, bangun, jatuh, bangun, jatuh, sampai 70 dikali 7 kali:
“Kita sudah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”
–
iii. memunggungi ontologi kini dan di sini
hobi baruku membaca judul-judul disertasi, dan kutemukan banyak istilah aneh yang menurutku tak masuk akal:
pasca-kolonial,
pasca-agama,
pasca-otoritarianisme,
pasca-modern,
pasca-orde baru
setelah kupikir-pikir, kita nyatanya tak bakal bisa sampai pada “pasca”,
embel-embel “pasca” ini hanya impian siang bolong yang tak akan pernah tercapai
pasalnya, kita tak akan bisa melampaui dunia kini dan di sini,
kita tak mampu memunggungi hari ini untuk berpaling pada esok, lusa, atau Sorga
“pasca” apa? “pasca” hari ini apakah besok?
pedahal besok adalah nama lain, dari hari ini dengan segala penderitaannya,
yang itu-itu lagi, masih gini-gini saja:
hidup itu hanya muter-muter
dalam tong setan pasar malam!
–
iv. efek puisi-puisi kanon
aku harus mengaku dosa, pada misa sore di gereja sastra,
dulunya gereja itu milik Belanda:
Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur
Paus Sastra masuk, ekaristi dimulai:
“Ya Tuhan aku berdosa kepada Engkau, restui aku kembali meniti jalan kesusastraan”
amin, amin, amin, amin, amin amin, amin, amin
setelah misa sastra,
Aku ngasong depan Stasiun Kalideres:
“misi kak mau nawarin ini bait-bait puisi, baru banget kak dibikin tadi malem”
“misi kak mau nawarin ini, oh nggak ya, oke deh makasih kak”
“misi kak mau beli puisi-puisi? 10 ribu tiga lembar A4 gapapa deh, mau?”
“misi kak, minta waktunya sebentar aja, boleh?”
“misi kak …..”
–
v. cultuurstelsel dalam sekilas berita
pagi ini kulihat sekilas berita pada garis kecil di bagian bawah layar televisi:
[SEKILAS BERITA] “12 orang perempuan tewas saat menambang emas di Mandailing Natal, Sumatera Utara”
sementara reporter tetap memberitakan arus mudik, kemacetan-kemacetan yang dirindukan semua orang.
April-Mei 2022 adalah perayaan dan penebusan bagi katastrofi kesepian dan pandemi kedukaan:
[SEKILAS BERITA] “Arus kendaraan di gerbang Tol Cikarang ramai dan mati gaya”
tapi teringat 12 almarhumah yang tewas dalam sekilas berita, tambang emas Mandailing Natal itu menambah panjang aspal Jalan Raya Daendels, menambah tinta merah pada arsip-arsip van den Bosch.
aku matikan siaran langsung arus mudik, tapi reporter terus mengoceh dalam gendang telinga, ia melaporkan arus mudik yang macet sepanjang 1.000 kilometer dari Panarukan hingga Anyer.
mobil, truk, bus pariwisata, dan kereta api berbaris rapi pada foto van den Bosch, luka-luka REPELITA 1969-1994, hingga laporan akhir tahun Kementerian Koordinator Investasi.
para pembaca, untuk 12 almarhumah di Mandailing Natal dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
***
Aufklarung tak hanya terkeping-keping di Auschwitz, tapi dalam kebun-kebun meneer di Deli, pulau Banda, Jalan Daendels, dan Mandailing Natal pagi ini.
Adorno, bagaimana menulis puisi pasca-Auschwitz, pasca-Daendels, pasca-Cultuurstelsel, pasca-REPELITA?
: “pasca-pasca-pasca-pasca” yang tak pernah bisa kita lampaui.
***
1) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
2) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
3) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
4) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
5) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
6) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
7) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
8) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
9) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
10) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
11) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah
12) para pembaca, untuk 12 almarhumah dan ratusan korban pembangunan, Al-Fatihah.
*****
Editor: Moch Aldy MA