Pedagang Martabak dari Mars

Transestetika: Perayaan Seni Sang Liyan

Alfian Bahri

2 min read

Dalam mencipta suatu karya, apalagi bagi pemula, selalu ada rasa minder, belum pantas, dan banyak kurangnya. Kesadaran itu terbentuk lantaran di sekitar kita masih berkelindan predikat hitam-putih (hirarki). Klasifikasi superior dan inferior masih menjadi tolok ukur aktivitas berkesenian. Mungkin buku Transestetika Yasraf Amil Piliang bisa menjadi pembela atas perasaan minor tersebut bagi siapapun yang baru ingin memulai sesuatu.

Dalam uraian setebal 344 halaman itu, Yasraf secara tidak langsung mengajak pembaca agar lebih berani hadir dalam belantara estetika. Bukan metode praktik yang ditawarkan Profesor Seni Rupa dan Desain ITB itu, melainkan dasar pikiran untuk berani hadir. Hirarki berkesenian yang selama ini membelenggu dan meminggirkan subjek tertentu, diuraikannya secara filosofis olehnya.

Kalau kita melihat beberapa karya kontemporer, bentuk-bentuk pastiche, parodi, kitsch, camp, atau skizofrenik, tentunya sudah hal lazim. Bahkan bentuk-bentuk tersebut seakan memiliki kekuatan untuk meleburkan batas hirarki yang dihasilkan seni selama ini.

Terbentuknya konsep dekonstruktif tersebut, menjadi angin segar bagi kalangan yang selama ini minor, takut, terpinggirkan, terkucilkan, dan terstratifikasi. Buku Transestetika Yasraf dalam hal ini lebih mirip pembelaan dalam segi pikiran ketimbang metode praktik.

Dengan hadirnya ruang transestetika, gelora berkesenian sudah seharusnya semakin riuh tanpa malu, minder, dan terkucil. Karena pengadilan nilai sudah tidak lagi berlaku. Yang tersisa kini adalah pertarungan intepretasi dalam disensus-konsensus selera. 

Transestetika secara langsung membawa pembaca ke dalam ruang kehadiran tanpa batas yang mengharuskan pesta pora terjadi. Sebuah ruang yang memberi jaminan bahwa siapa saja bisa eksis dan mendapatkan nilai. Jadi, bukan suatu yang aneh bila kucing rias di Tiktok mampu membuka penafsiran yang plural. Tentu ini surga bagi eksistensi itu sendiri.

Sederhananya, dalam kacamata pikiran dekonstruktif, Yasraf seperti hendak memberi tahu pada pembaca bahwa sekarang adalah momen narasi besar runtuh dan narasi kecil bangkit. Itu terlihat dalam aktivitas komunitas-komunitas seni pinggiran yang mulai berani hadir menampakkan diri. Mereka melakukan disensus dan konsensus secara bersamaan. Dari sinilah demokratisasi selera bekerja.

Jangan heran bila di media konten dan siaran hal yang tak terbayangkan sebelumnya bisa serta-merta hadir menawarkan intepretasi. Luar biasanya, hal semacam itu lebih bisa menarik penafsiran makna ketimbang sapuan kuas yang teknikal.

Lebih lanjut, Yasraf juga menjelaskan keberadaan seni sekarang antara teori dan praktik tidak lagi linear, melainkan dibentuk oleh dan dari disiplin-disiplin ilmu lain. Di sinilah momentum estetika hadir pada puncaknya. Sudah tidak ada alasan bagi kita untuk tidak urun rembuk penafsiran. Entah dalam bentuknya yang bagaimana, transestetika menerima, memfasilitasi, sekaligus memberi nilainya sendiri pada apa pun.

Perlu diingat, dalam buku jilid pertama ini, Yasraf tidak memberi metode untuk berkesenian. Melainkan, lebih ke arah dasar fundamental berkesenian. Yasraf mencoba menjelaskan dasar pikiran dan konsep berkesenian dalam dunia baru ini (kontemporer). Konsep dasar pikiran inilah yang bisa menjadi modal untuk kita melangkah berkarya. Tak perlu lagi  memperdalam pertimbangan. Sebab, segalanya menjadi mungkin memiliki makna dan intepretasinya masing-masing.

Dalam ruang itu, peran kita menjadi objek sekaligus subjek. Sebagai objek, kita bisa memberi sumbangsih pada disiplin lain. Sebagai subjek, kita menjadi penafsir kehadiran objek itu sendiri.

Kelebihan yang mencolok dalam buku ini ialah uraian mengenai pluralitas dan disensus selera. Dijelaskan di sana, bahwa selera tidak dapat dipisahkan dari zeitgeist (semangat zaman). Arah dan bentuk suatu karya seni ditentukan oleh hal itu. Dengan kata lain, apa yang terjadi di suatu zaman sangat menentukan kualitas selera. Jika memang demikian, lantas zeitgeist hari ini yang bagaimana? Seperti apa?

Tentu kita bisa sama-sama melihat, hadirnya media informasi mempermudah segalanya.  Inilah kendaraan transestetika. Untuk menawarkan suatu tafsiran realitas (seni), kita tidak lagi memerlukan ruang semacam galeri, museum, pameran, legalitas nilai, formalitas administrasi, atau seleksi kuratorial. Kita hanya memerlukan perluasan jaringan komunitas sebelum akhirnya sampai pada titik kejutan budaya (viralitas). Begitulah konsep estetika seni bekerja dalam transestetika.

Data Buku

Judul buku : Transestetika (Seni dan Simulasi Realitas)
Penulis : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Cantrik Pustaka
Tahun terbit : Cetakan 1, Mei 2022
Dimensi buku : 344 hlm; 14x20cm
Harga buku : Rp115.000

 

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

 

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email