“Akhirnya” menjadi kata yang keluar dari para pegiat seni rupa Bandung setelah beberapa dekade kota ini selalu lengket dengan label “nanti” dan “tunggu”. Kali ini para kurator seni rupa bisa sejenak menggamit kata “nih”. Fotografi akhirnya dipilih sebagai medium pengawal dari rencana triennale–triennale selanjutnya. Apa kira-kira urgensi dari acara akbar internasional semacam ini?
Antara Lokasi dan Strategi
Entah mengapa, soal menyelenggarakan gelaran seni rupa, Bandung selalu hadir dengan yang baru-baru, bernas, dan cerdas tetapi selalu saja lupa untuk mengulang suksesnya. Padahal secara geokultural posisi Bandung selalu strategis. Kehadiran Institut Teknologi Bandung, misalnya, membuat perupa-perupa– terutama yang ada di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB–selalu punya akses tangan pertama terhadap kebaruan teknologi.
Tidak mengherankan bila kehadiran sentra tertentu, entah bisnis, teknologi, lembaga swadaya masyarakat, dan turisme selalu punya hubungan dengan seberapa strategis posisi geokulturalnya. Setidaknya kita bisa berandai-andai: kedekatan Jakarta dengan ruang lobi bisnis nasional dan internasional membuatnya sangat geostrategis dalam hal seni rupa yang sangat komersil–atau komersialisasi karya. Kedekatan Bandung dengan ITB membuatnya selalu segar dalam hal wacana-wacana terobosan baru.
Kedekatan Yogyakarta dengan wilayah kerja LSM menghidupkan gairah aktivisme yang cukup intens dalam seni rupanya. Biennale di kota ini–juga berbagai gelaran seni rupa lainnya–sangat kuat diwarnai gerakan-gerakan sosial yang cenderung partipatoris yang mengundang keterlibatan pihak-pihak lain. Kesatuan Bali sebagai destinasi wisata paling populer di Indonesia dengan hampir 5000 penginapan dari melati hingga bintang lima, membuatnya sangat tidak asing dengan seni tradisi. Hal ini akhirnya melahirkan langgam yang sangat kental dalam karya perupa-perupa Bali.
Pengkutub-kutuban ini memang tidak pernah mutlak, dan tidak perlu dimutlakkan. Semua ini hanya kecenderungan, dan kecenderungan bukan kepastian. Namun demikian, semua ini bukan tanpa pesan dan tawaran. Dengan mengembangkan kekuatan geostrategis menjadi geokultural, perkembangan sebuah kutub kebudayaan bisa menjadi lebih cepat, seperti doping yang bisa melesatkan performa seorang atlit. Namun demikian, keunggulan di satu titik bisa berarti kelemahan di titik lain.
Keunggulan komersil bisa membuat sebuah sentrum tumpul dalam hal ketajaman wacana; keunggulan pergerakan bisa membuat narasi menjadi terlalu dekat dengan agenda organisasi masyarakat, yang pada akhirnya membelokkan fokus dari wacana itu sendiri. Keunggulan tradisi bisa membuatnya menjadi anakronik dan akhirnya membeku menjadi kerajinan tanpa pesan. Keunggulan dan ketajaman wacana, seperti Bandung, akhirnya membuatnya menjadi terlalu tajam bergerak menusuk secara acak dan lupa konsistensi memotong membedah dengan rapi dan terstruktur.
Antara Spontanitas dan Rutinitas
Masuk ke wilayah rupa yang lebih hype dan spesifik, fotografi di Bandung sebenarnya selalu menggeliat, hanya saja dalam skala terbatas dan ritme yang sporadik. Ini dibuktikan dengan puluhan pameran foto yang sudah berlangsung di Bandung. Namun demikian, sepanjang yang saya ikuti dari tahun 1998, setiap pameran yang berkaitan dengan fotografi punya dua persoalan, atau bermasalah salah satunya: tempat terbatas atau ruang lingkup bahasan terbatas. Persoalannya pun sederhana, sebagai ajang unjuk karya, kemahiran, dan sarana portofolio para fotografer.
Alhasil pameran bersifat spontan: menunggu kesiapan fotografer dan jumlah karya. Pameran berlangsung di mana saja dan kapan saja, dan diselenggarakan oleh siapa saja. Spontanitas itu pun menjadi rutinitas, pameran foto menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dan itu-itu saja. Kalau kita menempatkan diri di posisi pengunjung pameran, seolah yang diminta dari kita oleh fotografer adalah kata “wow” atau pertanyaan “itu cara membuatnya bagaimana ya?”. Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua ini, dengan spontanitas yang telah menjadi rutinitas. Tentu kita semua membutuhkan itu.
Baca juga:
Namun demikian, melakukan sesuatu secara spontan dan rutin tentu saja ada harganya. Fotografer memang bisa unjuk kemampuan dan kebolehan yang akhirnya akan menaikkan harga jual baik jasa maupun karya mereka. Namun, dari sisi desain besar wacana, sebenarnya spontanitas yang rutin-rutin saja akan membuat diskusi intens dan diskursus budaya yang berlangsung menjadi mandul. Ketajaman konten pameran dan sumbangannya terhadap pewacanaan seni dan dampaknya pada kehidupan nyata menuntut sikap yang jauh dari spontan dan biasa-biasa saja. “Business as usual” sebenarnya memiskinkan sumbangan fotografi terhadap apapun. Sebuah foto akhirnya tidak pernah beranjak dari sekadar piksel di atas kertas atau layar.
Antara Keelokan dan Harga Selangit
Merancang sebuah pameran foto di Bandung yang sudah masuk ruang lingkup diskursus seni rupa memang tidak mudah. Setidaknya ada dua masalah. Pertama, fotografi punya citra cantik, dan kedua, pernak-pernik instrumennya adalah persoalan mahal-mahalan karya. Keduanya sudah melekat pada, misalnya, organisasi PAF (Perkumpulan Amatir Foto) yang sudah melembaga dengan rutinitas pameran-pameran yang sifatnya spontan. Titik berat gaya memotret seperti ini pun tidak jauh-jauh dari foto iklan dan kalender. Fotografi akhirnya menjadi ilustrasi komersial yang sulit berdiri sendiri.
Isu lainnya yang tidak pernah surut adalah ajang gengsi peralatan. Sebelum munculnya telepon seluler, fotografi pada dasarnya berbicara tentang kasta penghasilan. Kamera dan lensa pun bervariasi, mulai dari yang seharga sepeda motor hingga yang sama harganya dengan sebuah mobil. Fotografer pun dikategorikan berdasarkan apa yang ia genggam. Saat ia menggenggam garis merah di lensanya, maka naiklah gengsinya. Apalagi saat lensa dan kameranya semakin besar dan berat, profesionalitas pun akan tergerek ke atas.
Dua titik ini sebenarnya tidak memberikan sumbangan apa pun bagi perkembangan narasi budaya kontemporer. Singkatnya, fotografer hanya mendapatkan uang dan yang melihat hanya berdecak kagum. Fotografi tidak punya dampak, selain sebagai pelengkap sebuah industri. Akibat lainnya, fotografi akan selalu menjadi “seni kelas dua” yang tidak punya nilai kultural apa pun.
Antara Desain Wacana dan Peta Besar
Persis titik inilah yang disasar oleh triennale yang diadakan di Bandung kali ini, yang bertema The Future is Now, Dystopian Diffraction. Ini bukan pameran spontan yang biasa-biasa dan itu-itu saja. Dasarnya adalah tema, pelakunya bukan lagi disebut fotografer, tetapi seniman, dan tempatnya pun di galeri-galeri yang sudah punya riwayat panjang, seperti Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) dan NuArt Sculpture Park. Waktu total pelaksanaannya pun panjang, sekitar dua tahun lebih, mulai dari embrio sampai ke diskusi akademik yang berujung pada prosiding seminar internasional.
Titik awalnya adalah Bandung Photo Showcase bertema Invasion of the Lens yang dibuka tanggal 25 November 2020 dengan 11 seniman dari Jepang, Polandia, Taiwan, Amerika, Korea, dan Vietnam, dan satu seniman Indonesia. Gelaran mula ini berlangsung di SSAS dan Galeri Sumardja ITB. Tahap selanjutnya adalah Road to Bandung Photography Triennale yang dimulai tanggal 10 September 2021 yang bertema Welcome to the Machine, yang dilangsungkan di tiga venue, yakni SSAS, Orbital Galeri, Ruang Dini dengan melibatkan 20 orang seniman. Di tahap final, Bandung Photography Triennale, berlangsung di lima venue utama dengan 35 orang seniman dalam dan luar negeri selama hampir dua bulan penuh, dari 8 September hingga 31 Oktober 2022.
Desain pameran dalam skala ini bukan latah, bukan pula rutin. Tema yang dipikirkan berkembang dengan rapi, dan pameran spontan dan kecil Bandung Photo Showcase tumbuh dari pameran kecil di satu venue tahun 2015 dan 2017 menjadi bagian dari peta besar–grand design–dari sebuah pewacanaan fotografi yang matang dan punya dampak pada perenungan mendalam tentang kebudayaan yang berpengaruh pada kehidupan nyata. Fotografi tidak lagi terkunci sebagai ilustrasi elok dan tanpa makna dari mata rantai komersial.
Antara Komitmen dan Urgensi
Saat wacana menjadi penting, kompetisi bergeser dari alat ke kedalaman pesan. Fotografi menjadi tidak perlu ragu lagi untuk berbicara sebagai agen peradaban; bukan sebagai atau sekadar ajang pamer business as usual. Inilah urgensi dari triennale kali ini: memadukan ketajaman wacana dengan sebuah konsistensi desain pameran yang matang dan terstruktur.
Namun demikian, kembali ke ruang yang lebih umum triennale kali ini bukan pula hanya pembuktian sesaat bahwa “kota segudang kurator” ini akhirnya bisa benar-benar punya pameran tiga tahunan dalam skala masif. Namun selain urgensi desain dan eksistensi, penyelenggaraan gelaran ini juga menuntut desakan komitmen yang tidak ringan dan butuh kerja super keras untuk pelaksanaan selanjutnya di tahun 2025.
Editor: Prihandini N
Maria Marsiana (C)
Dalam artikel “Urgensi Triennale Fotografi Bandung 2022”, penulis menyampaikan gagasannya dengan baik dan merangkai artikel dengan kata-kata yang baik. Namun, artikel ini belum sepenuhnya menggunakan bahasa baku. Hal ini dapat kita lihat dalam penggunaan kata “atlit”. Di samping itu, saya sebagai pembaca kurang memahami beberapa frasa yang digunakan penulis. Melalui artikel ini, kita dapat melihat bahwa penulis menyampaikan pemikirannya melalui bahasa verbal. Oleh karena itu, kejelasan bahasa dapat menggambarkan kejelasan pemikiran penulis. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan sarana mengungkapkan hasil pemikiran seseorang. Jika bahasa yang digunakan jelas, pembaca dapat memahami apa yang dimaksud oleh penulis tersebut.
Shafa Abellya Zhahira (C)
Artikel ini menyediakan informasi yang cukup komprehensif tentang Triennale Fotografi Bandung 2022, termasuk tujuan, manfaat, dan dampaknya. Tetapi artikel ini hanya menyajikan satu sudut pandang saja, yaitu sudut pandang penyelenggara.