“Jejak”, pameran solo FX Harsono di Cans Gallery, membuat saya kagum. Sebagai seorang mahasiswa sejarah yang dididik menyikapi sejarah secara kronologis, faktual, dan saintifik, karya-karya FX Harsono memprovokasi alam pikir “sejarawan akademik” bentukan universitas. Impresi awal saya dalam pameran solo “Jejak” ini memantik saya untuk berpikir bagaimana sejarah disikapi melampaui fakta-fakta soal tanggal, tokoh, dan peristiwa saja.
Pola pikir “sejarawan akademik” didikan universitas itu membentuk saya untuk membatasi diri pada pemaknaan sejarah secara tunggal, di mana produksi pengetahuan tentang masa lalu dimaknai sebatas pembuatan jurnal atau buku-buku ilmiah. Dampaknya, cara bertutur tentang kisah-kisah masa lalu dipersempit sebagai penulisan teks akademik. Sementara karya seni justru adalah cara menuturkan sejarah yang lebih hidup dan empatik, hal itu terlihat dalam karya-karya FX Harsono.
Lasem dan Komunitas Tionghoa
Sejarah panjang komunitas Tionghoa di Indonesia menjadi premis yang selalu ditawarkan FX Harsono, karya-karya terdahulu seperti “Writing in The Rain” (2010) dan “Erased Time” (2009) menyuarakan hal yang sama secara konsisten. Dalam pameran “Jejak” ini terdapat premis karya yang sangat kuat, yaitu kisah hidup dan perjuangan para perempuan Tionghoa di Lasem, Jawa Tengah. Kawasan Lasem sendiri sejak abad 10-15 sudah menjadi lokasi komunitas Tionghoa untuk berdagang, tinggal, dan menetap.
Dengan memilih Lasem sebagai lokus penciptaan karya, FX Harsono seakan berjalan pada lintasan panjang sejarah masyarakat Tionghoa Lasem, sejak pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC tahun 1740, politik rasial pemerintah Hindia Belanda, kekerasan politik pada 1965, hingga kejahatan kemanusiaan pada 1998. Lasem sendiri sebagai ruang memiliki peranan besar dalam sejarah komunitas Tionghoa di Jawa.
Dalam “Jejak Perempuan Tangguh”, “Jejak Nenek Moyang”, FX Harsono mengisahkan para perempuan yang mempersiapkan perlengkapan sembahyang, menjaga rumah, menjahit pakaian, dan praktik keseharian lainnya. Benda, citra, dan berbagai upaya pengisahan secara visual dilakukan untuk menggambarkan bagaimana para perempuan Tionghoa Lasem hidup dalam ruang keseharian dengan segala beban domestiknya.
Hal itu kemudian dibahas secara mendalam oleh Melani Budianta dalam pemaparannya pada pembukaan pameran, bahwa praktik keseharian para perempuan Tionghoa Lasem bukanlah kegiatan domestik semata, melainkan juga upaya memelihara pengetahuan dan tradisi lokal masyarakat Tionghoa Lasem. Selama ini, wacana dominan melihat praktik keseharian dalam ruang domestik sebagai hal sepele yang tak penting. Karya-karya Harsono bagi Melani Budianta memiliki posisi politik yang jelas dalam memaknai relasi kuasa yang timpang dalam kehidupan masyarakat Tionghoa Indonesia, baik dalam ruang publik hingga ruang domestik.
Selain karya-karya tersebut, ada sebuah karya yang begitu menarik, judulnya adalah “Jejak Perjalanan“. Karya ini merupakan lukisan pada kanvas yang merekonstruksi arsip imigrasi keluaran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Arsip itu berisi data sebuah keluarga Tionghoa yang bermigrasi ke wilayah Lasem. Rupanya arsip tersebut adalah arsip keluarga dari salah satu keluarga perempuan Tionghoa Lasem yang menjadi lokus penceritaan dan penciptaan karya Harsono.
Dalam “Jejak Perjalanan”, FX Harsono “mengalihtubuhkan” arsip tekstual dan dokumen sejarah menjadi sebuah karya dalam kanvas, ia membuktikan bahwa kanvas bisa menjadi jembatan terhadap masa lalu, seakan-akan sejarah menemukan ruang untuk bertutur, bercerita, yang lepas dari konvensionalitas paragraf-paragraf rapi yang disusun sejarawan profesional.
Kritik terhadap Sejarah Konvensional
Proyek kesenian FX Harsono mengingatkan saya pada kritik Keith Jenkins terhadap kajian sejarah konvensional. Jenkins melihat penulisan sejarah konvensional sebagai bentuk institusionalisasi pengetahuan terhadap masa lalu, bahwa masa lalu itu sendiri direduksi menjadi sekedar data, statistik, dan fakta kuantitatif berbasis dokumen.
Pola produksi pengetahuan sejarah itu berakar pada cara pandang linier soal waktu, bahwa masa lalu telah selesai dan perlu dibekukan pada teks bernama buku sejarah, tanpa teks itu kita tak akan bisa berhubung pada masa lalu yang akurat dan faktual, bahwa sejarawan dengan segala dokumen historisnya menjadi satu-satunya “juru kunci” yang mengantarkan kita pada masa lalu. Cara berpikir ini kemudian mengeksklusi memori kolektif, ingatan sebuah keluarga, album foto keluarga, keterangan lisan, atau tradisi lokal seperti folklore dan tari-tarian. Dampaknya terciptalah hierarki kebenaran yang melihat dokumen dan pendapat sejarawan lebih akurat ketimbang monumen ingatan yang tersebar dalam berbagai bentuk.
Apa yang FX Harsono kerjakan saya pikir melampaui karya seni semata, ada upaya untuk melihat masa lalu sebagai hal yang hidup. Arsip keluarga, gaun, album foto, rumah, dan artefak milik pendahulu bisa menjadi jembatan untuk sampai pada masa lalu, bahkan tanpa harus melalui “juru kunci” tunggal nan otoritatif bernama sejarawan akademik.
Proyek kesenian FX Harsono bisa disebut sebagai puitika sejarah yang baru (a new poetics of history), seperti yang Keith Jenkins pikirkan. Bahwa perlu cara bertutur baru untuk mengisahkan hal-hal yang tak bisa ditulis dalam buku-buku sejarah, terutama terkait ingatan kolektif, peristiwa traumatis yang terjadi pada lingkup keluarga, atau cerita-cerita kecil dari orangtua yang dianggap terlalu sepele untuk dikisahkan kembali.
Dalam upaya memahami karya FX Harsono, kita dituntut untuk memahami kembali apa yang dimaksud dengan “pengetahuan historis”. Apakah hal-hal keseharian yang dituturkan keluarga, cerita masa lalu, album foto bukanlah pengetahuan historis? Memberi ruang pada arsip dan memori milik keluarga juga merupakan pemeliharaan pengetahuan historis itu sendiri. Hanya saja penulisan sejarah arus utama mengabaikannya dan menganggapnya terlalu sepele untuk disebut sebagai “sejarah”.
Mungkin, kita sebagai pembaca karya FX Harsono perlu melampau karyai seni FX Harsono itu sendiri, dengan cara membongkar ulang album foto milik nenek atau kakek kita sendiri, barang kesayangan buyut, atau sekedar mengobrol dengan orang tua kita. Dengan itu, kita bisa belajar memelihara ingatan, mengolah warisan pengetahuan, dan terhubung kembali dengan masa lalu. Terutama, sebagai bekal bagi masa yang akan datang, sebagai bekal bagi hari-hari ini.
Editor: Prihandini N