Apakah karya seni bernilai karena ia indah atau karena ia bisa dijual alias menghasilkan uang? Pertanyaan ini boleh jadi mengundang gelak tawa ironis, tapi tidak lantas membuatnya layak diabaikan.
Lukisan di pameran dibanderol dengan berbagai varian harga. Seringnya, lukisan yang dinilai paling estetis jugalah menjadi lukisan yang diberi harga tinggi. Hal ini memicu perdebatan sengit di kalangan penggiat seni.
Baca juga:
Perdebatan itu terangkum pada, salah satunya, buku Estetika Hitam: Adorno, Seni, Emansipasi (2021) karya Goenawan Mohamad. Isinya mencakup ulasan dan juga kritik terhadap pemikiran Theodor W. Adorno, filsuf asal Jerman, mengenai teori estetika. Sederhananya, istilah estetika di sini boleh kita anggap dekat secara artian dengan keindahan atau seni.
Dalam bagian pengantar buku ini, saya menemukan pertanyaan retorik, “…dipersoalkan juga apa ‘arti’—kurang-lebih sama dengan ‘sumbangan’—karya seni, khususnya bagi masyarakat.” Pertanyaan ini telah melampaui ruang dan waktu, katakanlah, sejak zaman Plato.
Sejak dulu, seni memang dilematis. Dalam pandangan tertentu, ia memiliki nilai estetis dan, dalam pandangan lain, ia kemudian termungkinkan menjadi suatu komoditas karena diprakarsai oleh media material.
Karya seni dijual dan dibeli. Betapa banyak orang kaya raya yang membeli lukisan dengan harga selangit itu untuk koleksi pribadinya? Terlebih, hal itu mereka lakukan semata-mata untuk menunjukkan suatu prestise—mereka yang kaya memiliki selera seni yang tinggi pula. Kepemilikan benda seni tersebut kemudian melahirkan imej yang terkesan elegan berikut dengan pengakuan sosial akan betapa si orang kaya adalah orang yang berbudaya.
Karya seni, sebagaimana lukisan tadi, dapat menjadi simbol status sosial seseorang. Karya seni tidak berhenti dan tidak menetap sebagai suatu artefak kebudayaan; hasil kerja keras antara intelektual, emosi, dan tenaga fisik manusia. Karya seni kemudian berangkat menjadi sekadar penanda bahwa pemiliknya—orang yang membelinya—adalah orang yang layak untuk mendapatkan nilai keberbudayaan itu terlepas dari kapasitasnya untuk bisa menghayati lukisan yang ia beli.
Ada hubungan antara karya seni yang harganya selangit, orang kaya, dan ideologi kapitalis. Kesannya, hanya orang yang dikaruniai limpahan kapital yang berhak untuk mengklaim suatu benda estetis. Di waktu yang sama, benda-benda estetis yang “murah” lantas jadi dianggap rendah pula nilai estetisnya oleh konstruksi kebudayaan berbasis kapital tersebut. Perlahan-lahan, paradigma kolektif mengenai konsep “keindahan” digembala oleh uang.
Dalam Estetika Hitam, dijelaskan bahwa, “dalam permikiran Adorno, desakan ke-ber-arti-an (karya) seni berkaitan dengan dinamika kapitalisme dan kekuasaan yang hendak serba-mengatur. Ia melanjutkan, melawan itu, sama artinya dengan menempuh jalan emansipasi: menuju seni yang tidak dijadikan komoditi dan alat semata-mata dan masyarakat yang tidak eksploitatif.” Artinya, Adorno bermaksud untuk “memurnikan” karya seni dari cengkeraman kapitalisme sebagai paradigma kolektif yang mengatur penggunaan kekayaan.
Tulisan lain oleh Candrika Adhiyasa:
Dari situ, saya menemukan konsep keindahan yang ternyata bergerak sebagai konstruksi sosial. Alhasil, secara tidak langsung, keindahan digerakkan pula oleh kekuasaan berbasis kapitalisme—suatu kolektivitas kekayaan yang menopang kekuasaan.
Dengan begitu, makna keindahan sebenarnya perlu kembali dikritisi. Bahkan, jika memungkinkan,makna keindahan mesti dikembalikan pada sifatnya yang sublim, substantif, dan bahkan progresif dalam mendorong kemajuan umat manusia, alih-alih menghamba kepada kapital yang bergerak atas nafsu berkuasa pemiliknya yang sebagian besar tidak memiliki jiwa estetis di dalam diri mereka.
Editor: Emma Amelia