Sebagian besar orang menganggap bahwa dunia seni rupa merupakan dunia yang sulit dijangkau. Anggapan ini muncul karena banyak orang yang belum terbiasa melihat suatu objek yang kodratnya multitafsir.
Sebagai seseorang yang awam terhadap topik seni, saya iseng keluar dari zona nyaman dan mencoba membaca buku tentang seni. Buku Seni Kontemporer, Ingatan, dan Sejarah karya Alia Swastika merupakan buku kumpulan esai seni rupa pertama yang saya baca untuk mengenal seni dan segala hal tentangnya.
Buku kumpulan esai seni rupa ini diterbitkan oleh Pojok Cerpen dan Tanda Baca pada Oktober 2021 silam. Dalam kata pengantarnya, Alia Swastika mengutarakan ide menulis kumpulan esai ini berangkat dari pengalamannya sebagai kurator beragam pameran yang yang mengangkat tema sejarah Indonesia. Secara tersirat, ia berharap agar para pembaca mampu memantik pertanyaan dalam benak masing-masing terkait narasi-narasi yang coba dibangun seniman lewat karya seninya.
Mencari Benang Merah antara Seni Kontemporer dengan Sejarah Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari era kolonialisme dan imperialisme oleh Belanda dan Jepang, era kemerdekaan, pahitnya Orde Baru, hingga akhirnya kita sampai di era pasca reformasi. Dalam lingkup periodik tersebut kita bisa melihat bagaimana periodisasi sejarah membawa masyarakat Indonesia menyelami masa ke masa yang beragam dan penuh cerita. Masa lalu yang pernah terjadi pada Indonesia membentuk kenangan kolektif sekaligus budaya yang juga memengaruhi pola pikir seniman dalam membangun simbol serta narasi dalam karya-karya mereka.
Dalam buku kumpulan esainya, Alia mengajak para pembaca untuk menyambangi pameran-pameran seni kontemporer dunia yang kaya akan budaya dan sejarah. Dalam situasi pasca kolonial, beragam budaya terus berkembang dan menjadi medan pertarungan. Dengan adanya pameran seni rupa kontemporer, maka sangat memungkinkan bagi para seniman untuk mengadakan pertukaran gagasan. Dalam hal ini, seniman kontemporer Indonesia memiliki segudang cerita untuk disampaikan di kancah global. Contohnya adalah narasi sejarah kolonialisme Belanda yang diulik oleh Iswanto Hartono bersama Lifepatch.
Hadirnya seniman Indonesia dalam kancah global memungkinkan mereka untuk membangun kesempatan dalam mengungkapkan cerita-cerita kolektif yang selama ini bisu belaka. Tak hanya itu, Alia juga berkeyakinan jika upaya tersebut bertujuan sebagai konfrontasi keyakinan kita terhadap sejarah bangsa serta mengajak masyarakat global untuk melihat kita sebagai rekan setara.
Dalam proses membangun narasi seni yang bersinggungan dengan sejarah, seniman dituntut untuk cermat dalam memilih isu dan pendekatan seninya. Tak jarang, seniman juga bertindak layaknya seorang etnografer yang turun langsung ke wilayah-wilayah tertentu guna meningkatkan referensi terkait fakta yang terjadi di lapangan. Meski begitu, analisis tekstual juga lazim digunakan sebagai salah satu proses menciptakan sebuah karya. Beragam proses kreatif yang dipilih ini pada akhirnya turut mewarnai pameran-pameran seni kontemporer yang kaya akan sejarah serta mampu memantik diskusi dalam ruang pameran.
Alia juga menekankan jika akan selalu ada cerita untuk disebarkan dan fakta-fakta yang sulit untuk tidak kita percayai. Sehitam apa pun sejarah, luka-luka itu dapat diinterpretasikan ulang lewat seni untuk merawat ingatan dan menunjukkan siapa jati diri kita. Pada akhirnya, karya seni rupa kontemporer yang bercerita tentang sejarah mengharapkan adanya dialog dan penerimaan dari masyarakat secara umum sebagai bentuk rekonsiliasi dan membuka ruang-ruang diskusi yang dalam dan hangat.
Dari pemaparan Alia, saya menjadi yakin bahwa kegiatan seni profesional bukan hanya sekadar menggambar dan mewarnai. Lebih dari itu, kegiatan seni merupakan kegiatan kreatif yang penuh dengan misi. Apalagi dengan identitas Indonesia yang warna-warni dan masa lalunya cenderung abu-abu, para seniman memanifestasikannya dengan cara yang unik dan eksentrik. Sama halnya dengan para penulis, para seniman merupakan sosok storyteller yang mengagumkan.
Perempuan di Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia
Selama ini, buku ajar seni di jenjang SD dan SMP selalu menggembor-gemborkan Raden Saleh sebagai pelopor seni di Indonesia. Sama halnya dengan Soedjojono sebagai pendiri Persatuan Gambar Indonesia (Persagi). Nama-nama seniman yang muncul pun adalah nama-nama mainstream, seperti Affandi dan Basuki Abdullah. Lantas di mana posisi seniman perempuan Indonesia?
Tahun 60-an, ada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan yang dikenal sebagai lembaga yang pernah muncul di Indonesia namun memiliki tujuan berbeda. Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, Lekra ditumpas habis karena dianggap berafiliasi dengan gerakan kiri. Banyak dari para seniman Lekra yang dibunuh, dibuang, atau tidak bisa pulang ke Indonesia. Setelah peristiwa tersebut, kegiatan seni lebih cenderung mengungkap tema-tema yang bersifat artistik dan tidak konfrontatif.
Ketika menelusuri sejarah seniman kontemporer perempuan di Indonesia, Alia mengaku kesulitan dalam melacaknya. Dari beberapa sumber, hanya disebutkan nama Emeria Soenassa atau Trijoto Abdullah. Selebihnya, dapat dinilai jika dunia seni di Indonesia sangat didominasi oleh laki-laki. Alia juga mengungkapkan jika fenomena ini juga bukan hanya terjadi di dunia seni Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Hal ini menunjukkan jika dunia seni rupa pada awalnya memang terkesan maskulin. Meski begitu, setelah tahun 1990, mulai muncul beberapa seniman perempuan Indonesia yang eksis di kancah seni rupa. Nama-nama itu antara lain Maria Tjui, Dolorosa Sinaga, dan Hildawati Soemantri. Menurut Alia, problem bagi seniman perempuan lebih kepada soal kesempatan dan keterbukaan terhadap akses berkegiatan serta solusi-solusi bagi seniman perempuan dalam menghadapi beragam hambatan sosial yang didapatkannya.
Setelah 1998-an, para seniman perempuan ini kemudian lebih banyak mengeksplorasi tema-tema subjektivitas, identitas, tubuh, serta respon terhadap isu sosial dan politik.
Secara garis besar, buku kumpulan esai Seni Kontemporer, Ingatan, dan Sejarah milik Alia Swastika merupakan buku yang cukup mudah dipahami bagi awam seperti saya. Dalam tulisannya, Alia menuturkan beragam pengalaman dan opini pribadi terkait proyek-proyek pamerannya di Indonesia maupun di kancah global. Tak hanya itu, Alia juga menuturkan bagaimana proses kreatif di balik hadirnya sebuah pameran dan bagaimana seniman membangun narasi terhadap karya yang diciptakan. Saya cukup merasa puas setelah membacanya, karena kumpulan esai tersebut memberi banyak perspektif baru bagi saya yang awam.
Buku ini menolak anggapan jika seni merupakan dunia yang sulit disentuh. Pengalaman membaca yang baru ini seperti mengajak saya untuk lebih sering berkunjung ke pameran seni agar lebih mengapresiasi ide-ide seni serta seniman yang memiliki andil di balik karya tersebut. Tak mengherankan, pameran kolektif maupun pameran tunggal kini marak dijumpai di galeri kecil maupun galeri besar. Ada banyak ruang diskusi di dalamnya.
***
Editor: Ghufroni An’ars