Perkara menulis memanglah sederhana sekaligus kompleks. Sederhana karena kita tinggal menuangkan yang ingin kita sampaikan dalam bentuk kata-kata, mulai dari pendapat, opini, gugatan, kritik, ulasan, dan lain-lain. Tapi, laku itu pun menuntut kompleksitas. Sebab, semua itu tidak serta-merta tertuang begitu saja. Untuk bisa menuang, kita perlu bahan untuk dituang; entah itu riset, hasil wawancara, atau proses pembacaan yang komprehensif.
Menulis juga menuntut ketekunan lantaran prosesnya tidak lantas selesai kala kita usai menuliskannya. Masih ada fase penyuntingan yang tidak jarang menuntut perbaikan—atau malah perombakan total.
Perkara kesederhanaan dan kompleksitas menulis itu kemudian juga beririsan dengan kualitas dan jumlah karya yang kita hasilkan. Tapi, pertanyaannya, apakah keduanya dapat berjalan beriringan?
Baca juga:
Berpacu dengan Kuantitas
Saya punya cerita. Berbulan-bulan yang lalu, saya aktif menulis esai, serta ulasan buku dan film di salah satu media online. Saya menargetkan dua tulisan dibuat dalam satu hari, masing-masing sepanjang 700 kata. Topiknya pun beragam, tapi topik mengenai kesusastraan, terutama kesusastraan Jepang, menjadi topik yang sering saya eksekusi. Hampir 10 hari saya rutin menulis di media tersebut. Rutinitas ini tetap berjalan di sela jam kuliah, rapat organisasi, dan sekian tanggungan lain sebagai seorang mahasiswa.
Laku itu kemudian membuat saya tersadar akan hal lain, yakni saya menulis justru seperti hanya mengejar target dan menyelesaikannya. Tentu, dalam situasi tertentu, hal ini bukanlah masalah. Seorang penulis memerlukan target dan menyelesaikan karyanya memang menjadi keharusan yang mesti dipenuhi. Masalahnya, sering kali apa yang saya kerjakan semata menyelesaikan sebuah karya, tanpa menyimpan terlebih dahulu karya-karya tersebut.
Saya sepakat dengan ucapan Dee Lestari bahwa tulisan perlu diendapkan terlebih dahulu setelah ditulis supaya ketahuan belangnya. Belang di sini bermacam-macam rupanya, mulai dari salah tik, logika data yang aneh, data yang tak terkonfirmasi, kalimat yang tak koheren, sampai paragraf yang tak nyambung. Intinya, belangnya adalah beragam kekurangan atau kecacatan dalam tulisan yang kita buat.
Apabila proses mengendapkan itu dilewatkan, tulisan yang dibuat hampir pasti tampak seperti karya mentah. Memang, dalam kasus menulis untuk media online, ada editor yang bakal mengecek karya kita. Namun, untuk perkara salah tik fatal, saya beberapa kali mendapati editor di media itu luput untuk memperbaikinya.
Perkara editor lalai atau tidak tentu bukan poin yang mesti saya bahas. Sebaliknya, kepengrajinan itu mestinya terlebih dahulu harus dirampungkan oleh si penulis. Tugas mereka, termasuk saya, tidak hanya menyelesaikan tulisan, lalu mengirimkannya. Saya yakin, proses penyuntingan penting untuk dikerjakan seserius penulisan karya.
Namun, dalam kasus saya, proses penyuntingan saya lakukan begitu karya itu jadi, sekira beberapa jam setelah karya itu ditulis. Alhasil, masih ada beberapa kecacatan dalam karya itu. Sialnya, saya kerap menyadari kesalahan itu setelah karya tersebut terbit.
Memang, saya lemah soal ketelitian, termasuk dalam menulis. Bisa dalam satu karya, salah tik yang saya buat muncul dalam rupa yang sungguh tak disangka-sangka. Misalnya, keliru mengetik “dalam” menjadi “ladam”. Saya selalu berupaya menangani ketidaktelitian itu melalui proses swasunting. Ketika proses swasunting saya lewatkan demi mengejar target sekian tulisan, saya merasa kualitas tulisan yang saya buat turun.
Namun, itu tidak lantas membuat perkara kuantitas dan kualitas tidak bisa berjalan beriringan. Di luar kasus saya tadi, keduanya bisa saling melengkapi, tapi dengan beberapa catatan.
Kualitas mesti dikedepankan ketimbang mengejar jumlah atau kuantitas semata. Sebagaimana masakan, bila ia tidak dimasak dengan persiapan yang matang, juga diolah dengan ketekunan yang tinggi, maka akan sulit mencapai kualitas rasa yang diinginkan. Mungkin bakat memainkan peran dalam hal ini. Sebab, bisa saja ada seorang koki yang memasak berbagai menu dalam satu hari di restorannya. Tapi, toh, untuk mencapai kepiawaian semacam itu, ia tidak serta-merta mendapatkannya.
Kepiawaian mengolah masakan dalam kuantitas yang tak sedikit tanpa mengurangi kualitas rasa itu dipengaruhi oleh ketekunan, jam terbang, dan pengalaman bertahun-tahun. Posisi penulis sama seperti si koki ini. Untuk membuat satu tulisan yang berkualitas, penulis perlu melakukan riset mendalam atas topik tertentu sebelum mulai menjahit tulisan kata demi kata, lalu menyuntingnya sendiri—tanpa terlewat satu tahap pun dengan tetap mementingkan pemenuhan target.
Baca juga:
Kita boleh mengejar kualitas, bahkan, kalau bisa, lebih mengutamakannya ketimbang kuantitas. Kalaupun untuk mencapai kualitas tertentu kita memerlukan lebih banyak waktu, mestinya tak jadi masalah. Kita tinggal meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk menulis.
Lagi pula, bukankah hakikat menulis adalah pengorbanan? Kita mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hingga uang. Seorang penulis bisa saja pergi ke suatu tempat, bahkan luar negeri, demi riset untuk tulisan mereka. Penulis lain rela tidak tidur berhari-hari demi menyelesaikan proyek menulis mereka. Ada juga penulis yang menghabiskan ribuan jam di perpustakaan demi mencari bahan tulisan mereka. Semua itu demi memastikan apa yang ditulis memiliki kualitas terbaik—setidaknya menurut penulisnya sendiri.
Editor: Emma Amelia