“Namun kini, pada abad XXI, di tengah-tengah era globalisasi, bangsa Indonesia justru limbung kehilangan arah dan jati diri. Krisis identitas ini menyebabkan lumpuhnya daya hidup, daya tahan, daya kreasi, dan daya kearifan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan nilai-nilai dan tujuan hidup berbangsa-bernegara, Revitalisasi Kebudayaan Melayu adalah sebuah langkah besar dan penting yang harus disegera dilakukan…..”
Itulah gagasan yang keluar dari kepala Bagus Burhan, seorang wartawan sekaligus sastrawan terkenal yang menjadi tokoh utama dalam novel terbaru garapan Yudhistira ANM Massardi berjudul Penari dari Serdang. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019.
Baca juga:
Cerita diawali dengan peristiwa yang serba mendadak antara Bagus Burhan dan Putri Chaya, seorang penari yang memiliki fokus terhadap kesenian dan kebudayaan Melayu; termasuk jatuh cinta yang sangat mendadak di antara mereka berdua. Jenis jatuh cinta yang sangat sulit untuk dilakoni mengingat Bagus Burhan sudah memiliki istri dan dua anak. Tapi, pesona Putri Chaya, janda seorang pilot beranak satu, tak sanggup ditolaknya.
Gamang, tentu saja. Bagus Burhan mencoba mencerna apa yang terjadi. Sifat Putri Chaya yang tak terprediksi dan penuh misteri membuat gairah Bagus Burhan semakin membara dan tak bisa melepaskan Putri Chaya begitu saja.
Selain itu, Putri Chaya juga menjadi jembatan antara Bagus Burhan dan seorang konglomerat pemilik tanah ratusan ribu hektar yang tertarik dengan gagasan Bagus Burhan untuk membangkitkan kembali kebudayaan Melayu yang mulai dilupakan oleh Indonesia. Si konglomerat dan Bagus Burhan sepakat, revitalisasi kebudayaan Melayu menjadi sangat perlu karena selama ini stereotip yang melekat pada orang-orang Melayu adalah orang malas dan bodoh.
Novel yang bernuansa roman ini menyuguhkan data sejarah terkait kebudayaan Melayu. Bagus Burhan menulis Kerajaan Melayu dalam Ikatan Keluarga Serumpun sebagai mukadimah. Melalui Bagus Burhan, penulis berusaha untuk menjelaskan bahwa kebudayaan Melayu merupakan cikal bakal munculnya beberapa kerajaan di Nusantara, salah satunya adalah dinasti Syailendra.
Kebudayaan Melayu juga menjadi tempat penyebaran tiga agama besar, yaitu Hindu, Buddha, dan Islam. Kebudayaan Melayu telah berhasil menyerap dan meneruskan nilai-nilai luhur, konsep kehidupan spiritual, sosial, politik, serta ekonomi dalam ketiga agama besar tersebut, terutama agama Islam. Selain itu, bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa pemersatu bangsa, diadaptasi dari bahasa Melayu.
Di novel setebal 322 halaman ini juga bisa ditemukan teknis pelaksanaan Revitalisasi Kebudayaan Melayu yang terdiri dari enam fase. Fase-fase ini digunakan sebagai landasan operasional.
Fase pertama, pendataan semua warga Melayu, Karo, dan Simalungun yang tinggal di sekitar kawasan perkebunan hingga radius sepuluh kilometer. Dari data yang terkumpul, warga akan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Dari situ, akan dibentuk gugus-gugus tugas.
Fase kedua berupa pencarian tenaga ahli untuk penyuluhan pertanian, pelatihan teknis, penanaman etos kerja, seni-budaya, dan sosialsasi program. Fase ketiga simulasi untuk praktik kerja lapangan meliputi penanaman, panen, pengumpulan, pengangkutan, pengeringan, dan penjualan. Fase keempat pelatihan lanjutan untuk meningkatkan kinerja, spesialisasi, dan profesionalisme.
Fase kelima pembangunan karakter untuk memperkuat jati diri kemelayuan dan keindonesiaan yang melibatkan seluruh masyarakat dalam pembangunan kembali seni-budaya Melayu. Fase keenam atau terakhir adalah pesta seni tahunan untuk mempertunjukkan selusuh khasanah seni-budaya yang dimiliki masyarakat pendukung kebudayaan Melayu.
Novel ini memang sarat akan ide tentang upaya membangkitkan kembali kebudayaan Melayu. Setidaknya, itulah yang disampaikan oleh Yudhistira ANM Massardi dalam peluncuran novel Penari dari Serdang di kota Solo beberapa waktu lalu. Proposal Revitalisasi Kebudayaan Melayu menurutnya sangatlah kering. Maka, jalan yang ia tempuh selanjutnya adalah mengemas data-data yang termuat di dalam proposal itu menjadi sesuatu yang bisa dibaca oleh banyak orang sehingga lahirlah novel ini.
Alur romansa yang menjadi bumbu penyedap cerita adalah daya tarik novel yang ditulis setelah 25 tahun Yudhistira ANM Massardi vakum menulis novel. Kisah cinta segi empat dibangun dengan cara yang natural. Kebingungan seorang lelaki yang tak kunjung bisa memutuskan siapakah tiga perempuan yang akhirnya dipilihnya. Bahkan, sampai di bab-bab terakhir jawaban itu seperti tak hendak muncul.
“Aku jadi takut. Aku jadi takut untuk melanjutkan hubungan yang penuh ancaman itu. Aku harus segera mengakhirinya, sebelum terlanjur binasa. Binasa? Atau malah bahagia?”
Kesan sensual dan erotisme juga kental terasa. Adegan-adegan dewasa sekelebat dimunculkan di beberapa bab. Namun, keliaran imajinasi yang seolah sudah tertahan lama itu tetap dalam koridor estetika sastrawi.
Beberapa puisi juga terselip di sana. Yudhistira ANM Massardi juga dikenal sebagai penyair yang cukup produktif melahirkan kumpulan-kumpulan puisinya.
Baca juga:
Novel Penari dari Serdang ini cukup sukses menunjukkan kebudayaan Melayu kepada pembaca awam seperti saya. Mulai dari Revolusi Sosial 1946, bagaimana gambaran kerajaan-kerajaan Melayu di masa lalu, termasuk apa saja produk kesenian dan kebudayaannya yang sangat kaya.
Sebagaimana tagline yang tertulis di sampul belakang novel, “Kalau cinta, jangan dibunuh. Perjuangkan!” novel ini adalah bentuk cinta sekaligus perjuangan Yudhistira ANM Massardi untuk membangkitkan kembali kebudayaan Melayu. Perjuangkanlah!
Editor: Emma Amelia