Jalan Sunyi Menulis Puisi

Ahmad Fatoni

2 min read

Jamak dimaklumi, bentuk karya sastra yang paling menonjol jumlahnya sepanjang masa adalah puisi. Puisi dengan mudah ditemui di mana-mana. Dari kota besar hingga kota kecil. Dari secuil kolom koran, tabloid remaja, hingga majalah sastra bulanan. Dari cetakan fotokopian yang buram sampai cetakan buku dengan kertas tebal dan mewah.

Kenyataannya, nasib puisi (dan penyairnya) bisa dibilang rawan dari sisi ekonomi, dibandingkan rekan-rekan sejawatnya bernama prosa fiksi. Demikian ungkap penyair Toto ST Radik beberapa tahun silam pada acara diskusi buku puisi karya Johannes Sugianto, Di Lengkung Alis Matamu, yang diselenggarakan di Rumah Dunia Serang. Apa yang dikeluhkan Toto, waktu itu, tentu bukan tanpa alasan. Ketimbang buku kumpulan cerpen dan novel, buku kumpulan puisi memang tergolong sepi pembeli.

Baca juga: God is Not Dead, Poetry Save Him

Bahkan, jika diurut menggunakan skala prioritas, buku kumpulan puisi berada di nomor buncit dalam antrean penerbitan setelah novel dan kumpulan cerpen. Dalam perbincangan para penggiat bisnis penerbitan buku, nasib malang buku puisi terkait masalah untung rugi. Buku puisi, dari segi pemasaran, hampir dipastikan merugi.

Sekadar contoh, karya-karya tahun 90’an penyair sekelas Sitor Situmorang masih bertumpuk-tumpuk dan teronggok lesu di toko buku karena sudah berdiam selama belasan tahun lebih. Itu selevel Situmorang. Bagaimana halnya penyair pendatang baru yang tetap ‘nekad’ menerbitkan buku puisi? Buku kumpulan puisi penyair baru, sangat boleh jadi, tidak kalah tragis nasibnya.

Begitulah gambaran skeptis soal daya serap buku puisi. Dengan jumlah penduduk yang katanya 270-an juta jiwa, pangsa pasar buku puisi barangkali cuma nol koma nol nol nol sekian persen. Lantas, biasanya, penerbitan buku puisi rata-rata cuma 1.000 eksemplar. Di mata penerbit yang bermazhab 3.000 eksemplar, angka 1.000 jelas jauh dari kata untung. “Jangan pernah mengharap keuntungan dari sebuah buku puisi. Kalau pun kami menerbitkannya, alasannya lebih kepada idealisme,” ujar seorang sahabat penggelut sebuah penerbitan buku.

Dalam beberapa kasus, menurut pengakuan sebagian penyair, selain penerbitan bukunya tidak beranjak dari angka 1.000, royaltinya pun kadang dikonversi dalam bentuk buku. Sehingga menjadi pemandangan biasa, penyair mengasong bukunya kemana-mana untuk dijual sendiri.

Padahal, mengutip pernyataan Toto ST Radik (2007), puisi adalah dunia rekaan yang dilahirkan dengan kerja keras sepenuh tenaga, mengejan berkali-kali dalam rasa nyeri yang sangat. Tidak “cret” begitu saja. Bahkan menulis puisi-puisi humor pun dilakukan secara serius dengan konsentrasi penuh. Maka menulis puisi tentulah bukan pekerjaan sekadar atau dikerjakan secara tak sadar, tapi menyangkut pergumulan penciptaan individual yang harus ditemukan oleh setiap penyair di dalam karya-karyanya dengan disiplin kerja estetik pribadi.

Karena itu, yang namanya puisi tampak lebih sulit dipahami dibandingkan karya prosa. Tapi hal itu bukan alasan rasional untuk tidak menyenangi puisi lalu tidak mau membeli buku puisi. Ada pula yang beralasan, tidak lakunya buku puisi karena puisi belum begitu memasyarakat. Alasan tersebut juga tidak tepat. Terbukti setiap tahun kita bisa menyaksikan berpuluh pentas puisi, lomba baca puisi, atau pembacaan-pembacaan spontan di acara-acara sastra. Banyak pula pengamen di bus-bus antarkota turut ’memasyarakatkan’ puisi. Namun rupanya memasyarakatnya seni puisi tidak berbanding lurus dengan lakunya penjualan buku puisi.

Akibatnya, secara langsung maupun tidak langsung, nasib getir buku puisi akan berimbas pula kepada nasib para penyairnya. Meskipun tujuan penyair menulis puisi bisa beragam, ada yang cuma mencari status sosial, aktualitas diri, tambahan penghasilan, sarana curahan hati sampai yang benar-benar bertujuan kultural. Akan tetapi, jika pilihan hidup satu-satunya adalah ingin menjadi penyair, maka sama artinya ikut berbaris di antara orang-orang miskin di negeri ini yang jumlahnya dari tahun ke tahun terus membengkak.

Sementara kita lihat beberapa penyair besar kita, tidak satu pun di antara mereka yang mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia kepenyairan. Mereka menjadikan dunia kepenyairan bukan sebagai satu-satunya profesi. Misalnya, Goenawan Mohamad adalah seorang budayawan dan kolumnis, Emha Ainun Nadjib atau D. Zawawi Imron juga dikenal sebagai dai-budayawan selain sebagai penyair. Di sini hanya menyebut beberapa nama saja.

Pada zaman karut-marut seperti ini, adalah suatu keberanian bila ada orang terjun ke dunia kepenyairan sebagai satu-satunya lahan penghidupan. Sebab, kita sebenarnya memiliki beribu-ribu penyair di tanah air, tetapi kita tidak mempunyai cukup banyak orang yang suka membeli karya-karya mereka. Bandingkan dengan buku-buku how to, filsafat populer, keagamaan, atau karya sosial, buku puisi tampak kurang layak untuk dibisniskan.

Bagaimanapun, di tengah nasib malang buku-buku puisi, sikap profesionalisme para penyairnya (penulis buku puisi) tetap dibutuhkan. Tidak dalam kaitannya sebagai mata penghidupan, namun dalam hubungannya dengan kesungguhan melakukan kreativitas seni. Penciptaan puisi lebih merupakan cermin sikap objektif-empatik seorang penyair terhadap realitas hidup sebagai wujud gerakan nilai tentang kebahasaan dan keindahan.

*Penulis adalah penggiat sastra, penulis buku ’Kembara Cinta’

Ahmad Fatoni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email