“Ternyata begitu banyak sudut yang bisa muncul kembali dalam kata. Ternyata sangat mengasyikkan menyusun dunia kata sedemikian rupa, hanya agar segi-segi yang ‘tak masuk akal’ bisa terbaca lagi.” — Sapardi Djoko Damono
Apa yang ‘tak masuk akal’ bagi Sapardi adalah pengalaman masa kecilnya, atau seperti itulah bayangannya tentang masa kanak-kanak itu. Ini bermula ketika ia mengirimkan sebuah karangan cerita yang terinspirasi dari kisah masa kecilnya untuk sebuah media, namun tulisannya ditolak dan dikembalikan, dengan alasan bahwa ceritanya ‘tak masuk akal’.
Hal ini tertuang dalam esainya yang berjudul Permainan Makna. Sapardi merasa pengalaman biasa saja itu ternyata sebuah ‘ketidakmasukakalan’ bagi orang lain, dan ia sadar betapa sulitnya mengemukakan pengalaman tersebut dengan baik lewat media cerita pendek, sampai akhirnya ia mengenal sajak dan puisi.
Baca juga: Abbas Kiarostami dan Kemungkinan-Kemungkinan
Melalui sajak dan puisi akhirnya ia bisa mengemukakan apa yang ‘tak masuk akal’ tersebut dengan bebas. Dan ia merasa berbahagia karena menulis puisi.
Lain Sapardi, lain pula kisah seorang Oscar Wilde. Penulis novel terkenal The Picture of Dorian Grey tersebut justru menemukan sebuah media menulis yang sederhana dan mampu membuatnya terus mengasah kemampuannya — yakni melalui diary. Mungkin sebuah diary bagi orang sekarang tampak begitu sentimentil dan terkesan kekanak-kanakan, namun nyatanya beberapa penulis besar mengasah dan memperluas kepenulisannya dengan rutin menulis diary. Oscar Wilde mengatakan dalam tulisannya The Importance of Being Earnest: “aku takkan berpergian tanpa diary-ku”.
Hal sederhana ini tak bisa dianggap remeh dalam melatih kemampuan menulis. Bahkan seorang Virginia Woolf berpendapat bahwa diary berguna untuk “mengendurkan ligamen. Tidak peduli meleset dan tersandung.”
Dalam kata lain — bahkan sekadar menulis diary bagus untuk mengeksplorasi bentuk kepenulisan kita dan keluasan cara kita menuliskan kata-kata tanpa harus takut dikekang aturan baku seperti pada kepenulisan di media massa.
Tentu saja pada akhirnya setiap orang punya banyak media menulis yang nyaman untuk dirinya masing-masing. Entah sajak, puisi, cerpen, atau bahkan haiku — kita semua akan selalu bergulat dengan diri sendiri untuk menemukan apa sebetulnya yang kita cari lewat menulis. Seperti Sapardi, kita mencari kebahagiaan dalam menulis.
Bagi saya menulis adalah sebuah media untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Menulis adalah sebuah pertemuan, antara diri kita yang sedang menulis dengan diri kita “yang lain” — yang telah banyak menerima sumber kehidupan. Menulis menciptakan sebuah ruang kosong yang dijadikan jembatan komunikasi untuk menggali diri dan pemikiran. Di sinilah pertemuan yang saya sebutkan terjadi —ada sebuah proses pencarian data dan juga makna dari hal-hal yang terlewat, sedang terjadi, dan mungkin akan terjadi.
Berjumpa dan Menemukan
Tentu saja hal ini ada kalanya mudah, dan tak jarang menimbulkan kesulitan. Menulis menuntut kita untuk menyelam ke dalam ‘tempat kata-kata yang tak terkata’ (abode of unspoken words). Istilah yang saya buat ini adalah tempat di mana pada kehidupan banyak kata-kata dan pemikiran kita yang sulit dikemukakan atau dilontarkan untuk disimak.
Maka, mereka harus terkubur dalam kuburan kata-kata, dan menulis adalah media untuk mengoreknya keluar dan menjadikannya bentuk baru yang hidup — yang siap disampaikan.
Sebagaimana seorang Bertrand Russel dalam tulisannya Bagaimana Saya Menulis? mengatakan bahwa dalam proses menulisnya ia membutuhkan “suatu periode inkubasi sub-kesadaran yang tidak diburu-buru dan tidak diganggu oleh pikiran apa pun”.
Mungkin inilah proses penggalian kata-kata dalam versi beliau, dan tentu setiap penulis punya versinya masing-masing dalam setiap proses kreatifnya.
Menulis membantu kita dan orang lain untuk menemukan siapa sejatinya diri kita. Sebagaimana James Baldwin pernah mengatakan bahwa sebuah tulisan seorang penulis novel mampu “to make you realize the doom and glory of knowing who you are and what you are”.
Mungkin inilah kenapa hingga hari ini seorang penulis baru selalu lahir, dan tulisan terus ada. Sebab ia berbicara tentang diri kita — ia berbicara tentang manusia.
Baca juga: Kritik Sastra: Menilik Duet Arif Budiman dan Goenawan Mohamad
Pada akhirnya setiap proses menulis akan membawa kita pada sebuah pilihan untuk menjadi penulis yang asal menulis atau menjadi ‘betul-betul penulis’ — istilahnya Pak Budi Darma. Dan tentu saja proses menjadi penulis sungguhan itu panjang dan tak mudah sebagaimana beliau mengungkapkan “tidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa. Mereka kaya pengalaman batin, kepekaan, imajinasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bercerita, dan lain-lain kemampuan.”
Baca juga: Darma Seorang Budi
Namun, tak perlu merasa jauh dan khawatir dalam memulainya. Seperti yang saya katakan di atas — bahwa menulis adalah proses komunikasi, dan semua dari kita perlu berkomunikasi. Menulis bisa dimulai dengan yang sederhana, seperti diary atau tulisan-tulisan tentang pengalaman sehari-hari, bisa dalam bentuk cerita maupun puisi.
Hanya perlu ruang untuk proses komunikasi tersebut — ruang untuk masuk ke dalam diri sendiri. Bisa jadi menulis pada akhirnya adalah bentuk lain dari meditasi. Tentu saja kita ingin bahagia dalam menulis seperti Pak Sapardi. Dan seperti yang beliau katakan juga dalam sajaknya, mungkin kita bisa memulainya — “dengan sederhana”.
Maka — mulailah menghening dan menulis. Yang sederhana-sederhana saja.
Lanjut baca: Kefasihan pada Hening
Terutama untuk perempuan, menulis sebagai pembebasan diri, disaat dunia menyandera identitasnya.