Kehidupan modern sarat akan berbagai macam persoalan genting. Mulai dari masalah struktural seperti krisis iklim, wabah, kemiskinan, hingga masalah personal yang tidak kalah menggelisahkan seperti gengsi-gengsian antara kakak dan adik dalam keluarga batih.
Sebagaimana yang dikatakan Lord Rangga dari Sunda Empire, kita harus membangun tatanan dunia yang lebih baik. Kita harus segera menyusun rencana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Untuk itu, kita perlu pengetahuan yang lebih baik tentang situasi dunia. Dengan kata lain, kita butuh lebih banyak data. Tanpa data, tak akan ada teori dan tak mungkin muncul terobosan inovatif.
Baca juga:
Kebutuhan akan data menyiratkan pentingnya penelitian untuk menghimpun data-data itu. Masalahnya, mengadakan penelitian memerlukan biaya yang tidak murah. Alhasil, banyak peneliti dan komunitas sains yang sengaja mengesampingkan kritik terhadap sumber dana penelitian demi mengumpulkan dana untuk proyek penelitian mereka.
Menurut sosiolog asal Australia, Raewyn Connell, penelitian adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh setiap orang; setiap orang harus melakukan penelitian. Penelitian sejatinya hanya kegiatan mengumpulkan informasi dan memikirkannya secara sistematis. Saya sepakat dengan pendapat Connell ini. Setiap orang harus punya kemauan yang besar untuk tahu, kemudian tergerak mencari tahu apa yang belum mereka ketahui sebelumnya. Penelitian yang murni dituntun oleh keingintahuan merupakan napas bagi pengembangan diri dan perubahan sosial.
Namun, ada baiknya kita tidak memandang penelitian secara naif. Ada dua problem gawat dalam penelitian yang hingga kini belum terselesaikan, yakni persoalan seputar dukungan teknis penelitian dan responden penelitian.
Problem pertama dalam penelitian adalah dukungan teknis yang meliputi intervensi para donatur, bias kepentingan, insentif bagi para peneliti beserta asistennya, hak kepemilikan data, dan urusan-urusan sejenis.
Saya termasuk biang kerok problem penelitian yang kedua, yakni persoalan seputar responden penelitian. Saya sangat jarang melibatkan diri sebagai responden dalam survei-survei yang dilakukan oleh pihak lain. Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang di dunia ini yang enggan menjadi responden survei. Di Amerika Serikat, misalnya, persentase tingkat respons survei kurang dari 9%. Belum bisa dikatakan secara pasti apa faktor utama yang menyebabkan orang-orang enggan berpartisipasi dalam survei. Usaha meningkatkan partisipasi responden dengan cara membujuk dan memaksa pun kerap hanya berujung pada perolehan jawaban survei yang ala kadarnya.
Problem terkait responden penelitian inilah yang paling merisaukan para peneliti. Penelitian-penelitian penting bisa mandek semata-mata karena kuantitas dan kualitas respons yang diterima kian anjlok. Yang jadi soal, mengapa tingkat partisipasi masyarakat dalam survei kian menurun dari tahun ke tahun? Apakah orang-orang yang terlibat dalam survei menyampaikan secara jujur perasaan dan pikiran mereka yang sebenarnya? Bisakah persentase minimum dijadikan sebagai persentase?
Tugas utama peneliti adalah memotret fakta-fakta konkret. Sekurang-kurangnya, peneliti bisa membawa pulang buah pikiran jujur para warga yang bersedia meluangkan waktunya sebagai responden. Namun, pada praktiknya, ada juga peneliti yang puas dengan informasi yang tidak jujur-jujur amat, bahkan berani menggunakan informasi ini sebagai bahan dasar perumusan kebijakan.
Memperoleh banyak data yang berkualitas melalui survei nyaris tidak pernah menjadi perkara mudah bagi para peneliti. Untuk mengatasinya, peneliti kerap menggunakan jalan pintas, yakni menawarkan insentif guna membujuk calon responden supaya mau berpartisipasi dalam survei. Ini lantas memunculkan pertanyaan terkait integritas penelitian yang menggunakan data yang diperoleh menggunakan jalan pintas tersebut. Apakah penelitian tersebut keliru secara etis? Ataukah penelitian tersebut keliru hingga aspek metodologisnya?
Baca juga: Clickbait dan Perlindungan Data Pribadi
Ngeri membayangkan kemungkinan bahwa kita sedang bergerak menuju tatanan sosial yang rumusan-rumusan kebijakannya berbasis pada temuan-temuan survei ala kadarnya; sekadar asal ada data yang dapat digunakan untuk mendukung asumsi-asumsi setengah matang. Tidak kalah ngeri, tatanan sosial baru itu boleh jadi dibangun atas dasar survei tanpa responden konkret.
Editor: Emma Amelia