Program pengembangan masyarakat yang baik adalah program pengembangan masyarakat yang berangkat dari keresahan yang ada di masyarakat, bukan keinginan penyelenggara program untuk menggurui masyarakat. Sering terjadi kesesatan pikir penyelenggara pada awal pencetusan program, yakni asumsi bahwa kondisi masyarakat yang menjadi sasaran program masih sangat tertinggal.
Asumsi itu jelas keliru. Dengan kian memasyarakatnya teknologi informasi, masyarakat secara umum sudah sadar akan adanya perubahan. Meskipun begitu, masyarakat belum sepenuhnya mengerti bagaimana mendefinisikan perubahan. Padahal, pendefinisian perubahan ini penting sebagai titik awal munculnya ide yang kemudian dapat direalisasikan melalui program pengembangan masyarakat.
Baca juga:
Ironisnya, ide-ide unik pengembangan masyarakat muncul tidak dengan mengacu pada fakta-fakta di lapangan sehingga melulu menghasilkan program yang berakhir sia-sia. Pencetus program pembangunan masyarakat harus memiliki logika berpikir yang baik sehingga dapat menghasilkan ide terkait program pembangunan masyarakat yang berhasil. Akan tetapi, kenyataannya, logika berpikir sesat masih sering dijadikan basis program pembangunan masyarakat.
Sesat logika atau sesat pikir tersebut kerap menimbulkan salah tafsir, bahkan salah paham ketika pengusul mengomunikasikan idenya kepada pihak mitra. Sekurangnya, ada tiga karakteristik sesat pikir, yakni ada kesalahan logika berpikir, ada kekeliruan dalam penyusunan argumen, dan ada kesan menipu.
Dalam program kemasayarakatan, sesat pikir ini kerap digunakan oleh pihak penyelenggara guna menggait simpati masyarakat, misalnya dalam bentuk uraian capaian program yang tidak realistis. Di akhir program, tidak banyak indikator kesuksesan program yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Alhasil, masyarakat merasa kecewa dan tetap tidak terberdayakan oleh adanya program pengembangan masyarakat.
Kepentingan Politik Terselubung
Program kemasyarakatan membutuhkan kesepakatan antara pihak penyelenggara dengan pihak mitra atau masyarakat. Komunikasi publik sangat dibutuhkan untuk menjamin kejelasan kesepakatan tersebut. Idealnya, kedua belah pihak menghendaki program yang menghasilkan keuntungan bersama.
program kemasyarakatan merupakan suatu visi gerakan yang kuat untuk menyejahterakan dan mengembangkan masyarakat tanpa terkecuali. Beragam implementasi konsep-konsep kerap dijadikan patokan untuk strategi menyukseskan program kemasyarakatan.
Namun, pada praktiknya, program kemasyarakatan sering kali disusupi kepentingan politik para elit yang ingin mendapat panggung dan simpati dari masyarakat. Bahkan, tak sedikit program pengembangan masyarakat yang lebih terasa seperti pemenuhan hasrat politik penyelenggara ketimbang iktikad untuk benar-benar membersamai pengembangan masyarakat. Pada kasus seperti ini, ayng sering terjadi adalah pemotongan atau penggelapan dana yang semestinya digunakan untuk operasional program.
Sudah barang tentu, adanya penyelewengan dalam penyelenggaraan program kemasyarakatan akan memicu krisis kepercayaan penyelenggara program. Masyarakat akan sadar bahwa apa yang terlihat sebagai suatu niat baik itu sebenarnya tak lebih dari usaha mencari perhatian di panggung politik.
Sinisme terhadap program pengembangan masyarakat tumbuh dan berkembang dengan subur di masyarakat. Ketidakselarasan antara klaim-klaim kesuksesan program dengan kondisi asli di lapangan membuat masyarakat menjadi pembenci fanatik terhadap sembarang pihak yang (mereka kira) telah membohongi mereka. Ada kalanya kebencian masyarakat tepat sasaran ke pihak-pihak yang mengambil untung dari sesat pikir massal, tetapi ada pula kemungkinan bahwa kebencian masyarakat justru salah alamat.
Baca juga Polarisasi Politik dan Kekerasan
Contohnya, saat pandemi Covid-19 sedang gawat-gawatnya dua tahun belakangan, donasi dan bantuan sosial sedang gencar-gencarnya digelontorkan oleh berbagai pihak. Sepintas, tujuannya jelas untuk membantu meringankan pemenuhan kebutuhan pokok orang-orang yang penghidupannya terdampak pandemi. Akan tetapi, sering terjadi komunikasi publik yang blunder oleh pihak penyelenggara program sosial selama pandemi. Blunder komunikasi publik ini mengungkap adanya intensi politis untuk membangun citra politikus yang mendalangi kelangsungan program dengan mengharap imbal balik berupa dukungan suara.
Kampanye di tengah kegentingan masyarakat ini mencerminkan bahwa para elit politik tidak punya etika, serta tidak ikhlas membantu masyarakat. Hantaman pandemi yang mengacaukan penghidupan dan mengancam keselamatan nyawa masyarakat justru dijadikan panggung untuk para elit politik meraih kepentingan yang hanya menguntungkan mereka sendiri.
Bahan Konten Influencer
Elit politik bukan satu-satunya pihak yang punya niatan culas dalam tetek-bengek program pengembangan masyarakat. Selain mereka, ada pula para influencer atau selebriti media sosial. Mereka mengambil untung dengan cara menjadikan kesulitan masyarakat sebagai bahan konten yang lebih mirip penghinaan terselubung.
Para influencer tebar pesona sebagai orang “baik” dengan bagi-bagi sembako di depan kamera. Namun, dari tampilan kontennya saja akan terlihat jelas bahwa mereka melakukan itu semua hanya demi citra dan cuan, bukan kepedulian dan empati. Ini adalah bentuk sesat pikir para influencer bahwa asal memberi bantuan adalah gestur yang akan diterima dengan baik oleh masyarakat, alih-alih penghinaan dan pelanggaran privasi.
Baca juga:
Masyarakat sudah cerdas. Mereka paham benar mana pihak-pihak yang sungguhan peduli dan punya iktikad baik membersamai mereka untuk maju, serta mana pihak-pihak yang punya niatan culas.
Politikus, pejabat publik, dan influencer hendaknya mulai berkaca dan berbenah diri, berbenah logika agar tidak selamanya berkubang dengan pongah dalam kesesatan pikir. Kalau perlu, ambil kelas khusus untuk belajar empati dan etika sehingga masyarakat tidak perlu lagi melihat atau menjadi sasaran program pengembangan masyarakat yang penuh dengan omong kosong.
Editor: Emma Amelia